Jakarta, Februari
2007
Mengenang
masa-masa sulit satu tahun silam adalah hal tersulit yang selalu menghantui
Rin. Kalender menunjukkan tanggal dimana seluruh anggota keluarganya tewas
akibat kecelakaan tragis yang hanya menyisakan dirinya seorang. Tanggal 8 Februari
2006. Hanya di bulan itu lah Rin bisa berubah dari gadis kuat menjadi gadis
melankolik. Ia selalu merasa diberi keberuntungan hidup di waktu yang salah.
Harusnya ia juga ikut tewas pada saat itu, tanpa harus membawa beban yang tidak pernah sanggup ia pikul sampai detik ini. Walaupun sejak kecelakaan itu, ia tidak pernah benar-benar sendiri. Ia masih memiliki Nisa dan keluarganya yang menjadi penopang terakhir untuk hidupnya.
Harusnya ia juga ikut tewas pada saat itu, tanpa harus membawa beban yang tidak pernah sanggup ia pikul sampai detik ini. Walaupun sejak kecelakaan itu, ia tidak pernah benar-benar sendiri. Ia masih memiliki Nisa dan keluarganya yang menjadi penopang terakhir untuk hidupnya.
Diusapnya
nisan yang ada dihadapannya sambil menunduk. Ayah aku ingin sekali menyusul kalian secepatnya, bantu aku
mengusulkannya pada Tuhan karena aku tahu, Ayah sekarang berada lebih dekat
denganNya. Bisiknya pelan.
“Ayolah
Rin…sudah tiga jam kita di sini!” bujuk Nisa sambil mengusap punggung
sahabatnya yang melemah seiring tangis yang membuatnya kelihatan semakin
menyedihkan. Rin kemudian berdiri dengan muka yang enggan menatap arah
terbitnya matahari dan berjalan beriringan dengan Nisa.
Nisa
adalah sahabat sekaligus saudara terakhir Rin setelah adik dan kakaknya tewas
dikecelakaan maut itu. Walaupun mereka berbeda di segala sudut pandang. Nisa
kelihatan jauh lebih cengeng dibanding Rin yang terkesan tomboy. Namun Nisa lah
satu-satunya orang yang mampu menguatkan Rin disaat Rin berubah menjadi
melankolik. Sebenarnya aku masih kesal
padaMu Tuhan, tapi untuk pertama kalinya setelah Kau mengambil semuanya dariku,
aku ingin berterimakasih karena telah mengirimkan seorang malaikat terbaik
untukku, Nisa. Itu adalah sepenggal kalimat yang ditulis Rin di buku saku
yang selalu dibawanya kemana-mana.
“Kamu tahu Rin, aku
merasa kehilangan dirimu yang sesungguhnya. Rin yang periang dan suka mengacau.
Ayolah…semua yang kamu alami itu adalah konsekuensi hidup. Menyambut yang
datang dan menerima kenyataan bahwa suatu saat akan ada yang pergi. Aku, kak Nindi,
Niko, Nita, Ayah, dan Ibu selalu ada kock di samping kamu. Peristiwa itu sudah
satu tahun yang lalu Rin”, bujuk Nisa sambil menatap nanar sahabatnya yang
berdiri kaku di depan jendela yang buram karena percikan hujan.
Rin
membalikkan badannya ke arah Nisa yang terduduk di atas ranjangnya. Seperti
mencerna baik-baik perkataan Nisa dan mencoba menyergahnya, “Kalau gitu gue lebih
milih nggak hidup Nis, February is bad month for me!”.
“Tapi
kenyataan yang kamu hadapi sekarang adalah kamu hidup Rin. Ini bukan transaksi
tawar menawar dengan Tuhan. Bahwa kamu hidup dan merasakan sakit atau kamu mati
dan semuanya selesai. Try to be realist Rin, Tuhan benci jika keputusanNya
terus disesali. Sekarang adalah bagaimana cara bertahan dan maju ke depan.
Semuanya belum berhenti ataupun berakhir”. Nisa bangun dari posisi duduknya dan
mendekat ke arah Rin.
Rin
menatap Nisa dengan mata yang berkaca-kaca namun air mata yang seperti
menyumbat bola mata itu tak kunjung menetes turun. Seperti tertahan dan sangat
menyakitkan. “Lu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan semua yang
menjadi sendi-sendi kehidupan lu, sebelum lu mengalaminya sendiri Nis. Tapi gue
berharap itu nggak akan pernah lu rasain, karena rasanya lebih sakit daripada
lu ditusuk belati”.
Nisa dengan pelan
mendekap Rin dan berbisik, “Kamu tahu Rin, Tuhan pasti sengaja tetap membuatmu
bernafas sampai detik ini. Karena Ia tahu, aku akan kesepian tanpa dirimu. I
love you my best friend”.
Rin
tenggelam dalam dekapan sahabatnya yang lembut itu. Menyandarkan sebahagian
beban di pundak Nisa. Berharap akan lebih terasa ringan dan akan cepat pulih
kembali, seperti di bulan-bulan sebelum dan setelah Februari di tahun-tahun
sebelumnya.
Rintik
hujan di luar jendela tempat mereka berdua saling mendekap perlahan mereda. Seolah mengerti ketegangan
dan pilu di kamar itu sudah berkurang dan lebih baik. Dekapan itu terlepas dan
Rin tersenyum seolah memberi isyarat pada sahabatnya bahwa ia sudah mulai
membaik. Rin kemudian meninggalkan tatapan lembut sahabatnya itu dan
memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela. Ia menggoreskan telunjuk kecilnya
pada kaca itu dan menghasilkan sebuah tulisan bermakna untuk mereka berdua. We are friendship forever and ever. Rin and
Nisa.
“Of course Rin”, bisik
Nisa dengan semburat keyakinan yang terpancar dari senyumannya. Bahwa
persahabatannya dengan Rin memang akan ada selamanya. Tidak peduli dalam
keadaan apapun, sedih, susah, dan senang.
Tokyo, Februari 2007
Jarum jam di
pergelangan tangan kiri Kai sudah menunjukkan pukul 5:15 pm. Ia harus segera
melaju dari rumah tempat Ayahnya menetap menuju bandara. Waktu penerbangan di
tiketnya jelas sekali tertera pukul 6:00 pm. Dengan tergesa ia menenteng koper
yang berisi baju-baju sambil menggendong ransel merek Export di punggungnya.
Sejenak ia berhenti di depan gerbang rumah itu, berdiri tegap, dan menarik
nafasnya dalam-dalam sambil memejamkan mata sipitnya. Ada momen yang seperti
tidak rela ditinggalkannya, bunga Sakura sedang indahnya berguguran dan
sebetulnya sayang bila ditinggalkan. Beberapa mahkota Sakura yang berwarna
merah jambu sempat membelai lengannya yang telanjang sebagai tanda perpisahan.
Jepang adalah negara yang indah, namun hidup di Indonesia bersama Ibunya adalah
pilihan yang harus ia penuhi sebab Ibunya lah yang memenangkan hak asuhnya.
Kai adalah anak dengan
gen campuran antara Ayahnya yang berdarah Jepang dan Ibunya yang berdarah
Indonesia asli. Sejak mereka menikah, Tokyo adalah kota yang dipilihnya untuk
menetap. Sampai akhirnya bercerai pertengahan tahun 2006 dan Ibu Kai memilih
pulang dan menetap di tanah kelahirannya, Jakarta.
Tersadar detakan jam,
detik demi detik semakin mengantar jarum pendeknya tepat di angka enam, ia
berlari-lari kecil menuju mobil yang sedari tadi terparkir di hadapannya. Kai
pun masuk, duduk di sebelah Ayahnya di jok depan dan menghela nafas panjang. Pertanda
sudah ikhlas meninggalkan rumah dan pohon Sakura yang sedang bersuka ria
menggugurkan bunganya yang indah itu.
Mobil itu melaju kencang.
Jendelanya dibiarkan terbuka untuk merasakan udara yang mungkin akan lama tidak
dihirupnya. Pikirannya melayang berbalik ke hari-hari saat semuanya masih
normal tanpa ada perselisihan antara Ibu dan Ayahnya. Hari-hari dimana lentera
hati masih hidup dan nyanyian angin masih syahdu dimusim gugur, mengiringi
canda dan langkah kaki yang bebas bergerak tanpa beban. Bersama Ayah, ibu,
sahabatnya Takuma, Lu han, Kioko. Dan kekasihnya Yui yang terpaksa
ditinggalkannya diam-diam. Ada rasa sesak yang dibawanya dan entah kapan akan
hilang.
Pesawat yang akan
ditumpanginya sebentar lagi akan terbang, ditatapnya lekat-lekat sang Ayah yang
seperti tak rela anak semata wayangnya pergi meninggalkannya. Hidup sebatang
kara di Tokyo bukanlah hal yang mudah. Sendiri, dan kosong. Ada air mata yang
seperti siap meloncat turun dari dua bola mata itu. Suasana seketika menjadi
hening, hanya ada saling tatap yang menjadi isyarat bagi mereka berdua betapa
perihnya perpisahan itu.
Kai luruh di dekapan
Ayahnya yang tinggal hitungan menit lagi akan ditinggalkannya seorang diri. “Be
carefull Kai, I believe that U are my strong boy!”, bisik Ayah Kai dengan nada
tegas yang dipaksakan, ada isak tangis yang tertahan di tenggorokannya. Ia
hanya tidak ingin nampak menyedihkan di hadapan anak lelakinya itu. Kai
buru-buru meyakinkan Ayahnya diikuti dengan tetesan air mata yang sudah tak
dapat ditahannya lagi, “I will always back to you, I promise dad !”
Pesawat itupun terbang
melesat, semakin menjauh, mengecil, dan hilang tertutupi awan. Tokyo hanya akan
menjadi kota kenangan untuk Kai yang mungkin akan dikunjunginya sesekali jika
ada hari libur dan atas seizin Ibunya. Di sepanjang perjalanan hanya ada wajah
Ayahnya seorang yang sudah mulai menua. Ia benar-benar sendiri sekarang,
kecuali jika ia berani melangkah lebih maju untuk meninggalkan masa lalu dengan
jalan menikah lagi. Tentu saja dengan wanita yang bisa membuka hatinya kembali.
*TO BE CONTINUE*
*TO BE CONTINUE*
keren, tetap semangat menulis
BalasHapus:) makasih sdh follow dan mw baca tulisanku k'...:)ok, fighting !!!
Hapuswuih.. nyentuh banget tulisannya.. keep spirit yak..!! :)
BalasHapus:) wookeyyy....:)
Hapussubhanallah.... allahhuakbar
BalasHapus*_#
BalasHapusbagus :)
BalasHapus