Senin, 21 Januari 2013

SATU



            Malam semakin sepi, sorot lampu yang remang hanya menambah ketakutanku, bagiku itu lebih menakutkan dibanding gelap sama sekali. Aku takut dengan kesendirian, terlebih lagi angin semilir terasa membuat dunia di sekitarku menjadi semakin melambat, seperti slow motion. Seolah-olah masa ingin meninggalkanku lebih cepat dari yang seharusnya. Seolah-olah diriku akan terlunta sendiri di tepian malam yang tidak akan pernah menyambut mentari. Malam ini, aku benar-benar berada disatu ruang yang sunyi, ruang yang serasa terpisah dari kehidupan, ruang yang nyaris terasa mati.
            Dia juga berada di rumah ini, namun sama sekali di ruang yang berbeda, serasa jauh, tak bisa kumasuki. Rumah ini hening, hanya itu yang kutahu saat ini.  Aku merindukannya, merindukan dirinya yang tengah berkutat dengan sejuta alasan yang menderanya dan juga diriku.
 Sudah lama, aku tahu ini semua sudah lama tersembunyi namun kami berpura-pura tidak mengetahui keberadaannya. Lantas kami menyimpannya rapi di tepian hati. Entah untuk siapa kami menyembunyikannya dan entah pada siapa kami takut membongkarnya. Padahal aku tahu bahwa dia tahu dan dia pun tahu bahwa aku tahu.

            Pagi pun menjelang, aku berjalan pelan menuju dapur, aku ingin meminum seteguk air putih untuk pemulihku dan membuatkannya teh manis seperti biasanya. Aku ingin menjadi wajar.
Pintu ruang kerjanya berderik, ia keluar dari tempat persembunyiannya dengan kaki yang seolah lebih berat dari biasanya. Dia pun duduk sewajarnya di meja makan, tepat di hadapanku, menyeruput teh hangat buatanku.
Aku menatapnya lamat-lamat, ada ketidakrelaan di sana, entah ketidakrelaan untuk tetap ada atau ketidakrelaan meninggalkan. Kami sama, hanya saja...mungkin dia lebih tegar dari aku yang rapuh.
“Kau ke kantor hari ini?” dia bertanya seperti di hari-hari sebelumnya. Kalimat yang sama dengan nada tanya yang sama, namun tetap saja terasa berbeda.
“Entahlah..., aku lelah” hanya itu, cukup menjawabnya seperti itu dan aku tak perlu balik bertanya
            Meja makan itu kembali hening, hanya ada bunyi gelas yang bergesekan dengan meja yang juga terbuat dari kaca. Aku tahu dia juga sedang bertanya-tanya dalam hati, sama seperti diriku. Kami sedang berkontemplasi dengan diri kami masing-masing. Mencari-cari cinta yang yang telah kami mahkotai, yang kudapati tetap sama, semuanya masih seperti yang dulu, tak ada yang kurang. Aku mencintainya sama seperti dulu. Cinta itu tidak pernah hilang ataupun berkurang.  Namun ada satu keyakinan yang tak bisa disatukan, kami tetap saja berbeda. Keyakinan kami dalam berTuhan.
“Kurasa aku ingin ke Gereja pagi ini..” bisiknya pelan tapi aku bisa mencernanya dengan baik.
“Maaf, aku tak bisa menemanimu untuk kesekian kalinya..” balasku berbisik.
“Aku tahu..”
“Kau baik-baik saja kan?”
Aku mengangguk ragu, aku sama sekali tidak baik-baik saja
“Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang, kalau kau merasa sakit, istirahat saja di kamar”
Hatiku hanya berbisik, Aku sakit mas, di sini di hati yang serasa sakit bukan main...aku ingin kita selamanya, tapi aku juga tidak ingin berdosa seumur hidupku...
Dia pergi dengan memegang kitabnya yang berukuran kecil dan sebuah senyuman yang membuatku semakin sakit.
            Selepasnya pergi, aku bersimpuh di lantai kamar, aku menangis dan mengerang sekeras-kerasnya. Aku ingin lari, meninggalkan rumah, meninggalkan dunia, meninggalkan masa kini. Aku hampir kehilangan akal sehat, berencana meninggalkan Tuhanku untuk kebahagiaan rumah tanggaku.
 Aku ingin mencari hujan, aku ingin bersembunyi di dalamnya, menyembunyikan derasnya air mata yang sekejap telah membasahi wajahku yang mengkerut karena terlalu lelah. Aku ingin merobohkan benteng penghalang antara kami. Aku dan mas Wildi. Kami ingin menjadi satu.
Kukira cinta adalah penyatu kami yang terlampau berbeda. Kukira cinta bisa merengkuh kami dalam ruang yang benar-benar sama. Tapi semua dugaan kami tentang kedahsyatan cinta kasih itu luruh begitu saja tanpa kami bisa cegah.
            Malam pun kembali bersambut, meskipun terasa lebih lambat dari biasanya. Kami duduk bersama di kursi kayu di taman samping rumah. Memperhatikan langit yang sedang bertaburan bintang. Memperhatikan tetesan air sisa hujan tadi sore dari daun pohon yang cukup rindang. Meresapi belaian angin yang bertiup mesra. Semuanya mengantar kami ke momen-momen indah yang pernah kami lewati. Tak perlu satu jam untuk meresapi semuanya, hanya dengan hitugan menit, aku sudah bisa menyusun kenangan-kenangan itu menjadi slide yang teratur. Kami sedang asyik bernostalgia.
“Rinda..., rasanya aku ingin menikmati momen seperti ini tanpa jeda dan tanpa garis batas”
Aku berbalik menatapnya dan tersenyum hangat, Aku pun demikian..
“Aku ingin membuang, aku ingin mengutuki semua alasan yang membuat kita beda”
“Jangan...”
“Kenapa?”
“Karena kita yang buat alasan itu menjadi ada, terlepas dari kita sengaja atau tidak sengaja..”
“Kau tidak berencana untuk menyerah kan?”
“Aku tidak menyerah mas, aku cuma ingin belajar menerima kenyataan. Kadang... hidup hanya menyiapkan kita satu pilihan yaitu menerima”
“Kalau begitu bisakah kita lain? Bisakah kita tidak memilih pilihan itu? Bisakah kita menyatu saja?”
“Menurut mas, perspektif beragama kita bisa jadi satu?”
“Entahlah..., aku tidak peduli lagi”
“Tapi aku peduli mas. Aku sudah menyerah sejak beberapa hari yang lalu, aku ingin pergi saja mas..”
“Rin...”
“Aku tahu mas ingin bilang apa aku tidak mencintaimu lagi, jawabannya tentu saja aku masih terlalu mencintai mas. Tidak pernah berubah. Tapi aku tidak menuruti kemauan mas kali ini. Maafkan saya, aku tetap percaya dengan keyakinanku”
“Kalau begitu tetap saja seperti ini, tidak usah pergi”
“Lalu aku akan selamanya mengkhianati keyakinanku sendiri? Apakah bisa mas saja yang mengikutiku?”
“Menjadi muslim? Maaf, saya pun tidak bisa”
“Itu masalahnya, dua kenyakinan yang berbeda dan tidak bisa disatukan akan membuat kita akan hidup dalam kepura-puraan selamanya. Sudah cukup kita hidup dengan perdebatan yang tidak ada titik ujungnya. Bagaimanapun kita membandingkan keyakinan mas dan keyakinanku, semuanya akan tetap sama. Kita terlanjur berbeda. Aku sudah cukup risih melihat mas membaca kitab mas dan melihat salib di samping ranjang kita dan saya yakin mas juga sangat risih melihat saya beribadah sesuai dengan ajaran agama saya setiap hari”
“Rinda...”
“Mas, seuatu yang tidak cocok, kalau terus dipaksa untuk menjadi cocok nanti buntutnya akan berefek tidak baik”
            Dia tidak berkomentar lagi, begitupun dengan diriku. Kami tertunduk dan mengikhlaskan kami diseret oleh takdir perlahan. Aku tidak menangis, sama sekali tidak. Entah kenapa ada kekuatan yang tiba-tiba merasukiku untuk kuat menatapnya. Aku tau itu dari Tuhan. Aku menyadari, betapa jauhNya pun aku meninggalkanNya, Dia selalu memberikan suatu cara untukku kembali, seperti hari ini, didetik dimana aku merasa akan hancur dan tidak ada pegangan, Dia membuatku menyadari kalau tidak ada tempat lain untukku memohon kekuatan selain diriNya.
Kami tahu, ada satu cinta yang tidak akan pernah bisa kami lepaskan. Kami pun tahu ada sejuta kenangan yang akan selalu kami ingat dan tidak akan pernah bisa terlupakan. Tapi kami pun tahu kalau hari ini Tuhan kami yang dalam perspektif berbeda telah menggariskan kami takdir untuk mencukupkan segalanya.
            Kami merenung.. lantas di penghujungnya...kami bertemu dengan suatu kesadaran yg tanpa disengaja, bahwa kami seolah-olah adalah sebuah robot yg mesin kendalinya di kuasai oleh satu pemilik yaitu Tuhan. Kami pun tahu sebenarnya Tuhan yang hati kami maksud sama persis, terlepas dari logika kami menggambarkannya. Saya sendiri merasa kecil sekali, dan saya tahu, Tuhan kami adalah satu, yang menggenggam kehidupan sementara kami sendiri tidaklah  lebih dari secuil debu yang tak ada artinya.
            Di penghujung malam itu, dia memelukku erat. Aku pun balas merengkuhnya. Aku meresapinya, karena aku tahu itu adalah yang terakhir dan momen itu tidak akan pernah kembali ataupun terulang.
 Kami mungkin tidak akan pernah bisa jadi S A T U. Perpisahan ini adalah jalan terbaik yang diberikan oleh Tuhanku dan juga Tuhannya. Tuhan yang dibedakan oleh kami sendiri, walaupun pada hakikatnya Tuhan kami adalah
S A T U.
Nur mustaqimah (Teman Langit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com