Malam semakin sepi, sorot lampu yang remang hanya menambah ketakutanku, bagiku itu lebih menakutkan dibanding gelap sama sekali. Aku takut dengan kesendirian, terlebih lagi angin semilir terasa membuat dunia di sekitarku menjadi semakin melambat, seperti slow motion. Seolah-olah masa ingin meninggalkanku lebih cepat dari yang seharusnya. Seolah-olah diriku akan terlunta sendiri di tepian malam yang tidak akan pernah menyambut mentari. Malam ini, aku benar-benar berada disatu ruang yang sunyi, ruang yang serasa terpisah dari kehidupan, ruang yang nyaris terasa mati.
Dia juga berada di rumah ini, namun
sama sekali di ruang yang berbeda, serasa jauh, tak bisa kumasuki. Rumah ini
hening, hanya itu yang kutahu saat ini.
Aku merindukannya, merindukan dirinya yang tengah berkutat dengan sejuta
alasan yang menderanya dan juga diriku.
Sudah lama, aku tahu ini semua sudah lama
tersembunyi namun kami berpura-pura tidak mengetahui keberadaannya. Lantas kami
menyimpannya rapi di tepian hati. Entah untuk siapa kami menyembunyikannya dan
entah pada siapa kami takut membongkarnya. Padahal aku tahu bahwa dia tahu dan
dia pun tahu bahwa aku tahu.
Pagi pun menjelang, aku berjalan
pelan menuju dapur, aku ingin meminum seteguk air putih untuk pemulihku dan
membuatkannya teh manis seperti biasanya. Aku ingin menjadi wajar.
Pintu ruang kerjanya berderik, ia keluar
dari tempat persembunyiannya dengan kaki yang seolah lebih berat dari biasanya.
Dia pun duduk sewajarnya di meja makan, tepat di hadapanku, menyeruput teh
hangat buatanku.
Aku menatapnya lamat-lamat, ada
ketidakrelaan di sana, entah ketidakrelaan untuk tetap ada atau ketidakrelaan
meninggalkan. Kami sama, hanya saja...mungkin dia lebih tegar dari aku yang
rapuh.
“Kau
ke kantor hari ini?” dia bertanya seperti di hari-hari sebelumnya. Kalimat yang
sama dengan nada tanya yang sama, namun tetap saja terasa berbeda.
“Entahlah...,
aku lelah” hanya itu, cukup menjawabnya seperti itu dan aku tak perlu balik
bertanya
Meja makan itu kembali hening, hanya
ada bunyi gelas yang bergesekan dengan meja yang juga terbuat dari kaca. Aku
tahu dia juga sedang bertanya-tanya dalam hati, sama seperti diriku. Kami
sedang berkontemplasi dengan diri kami masing-masing. Mencari-cari cinta yang
yang telah kami mahkotai, yang kudapati tetap sama, semuanya masih seperti yang
dulu, tak ada yang kurang. Aku mencintainya sama seperti dulu. Cinta itu tidak
pernah hilang ataupun berkurang. Namun
ada satu keyakinan yang tak bisa disatukan, kami tetap saja berbeda. Keyakinan
kami dalam berTuhan.
“Kurasa
aku ingin ke Gereja pagi ini..” bisiknya pelan tapi aku bisa mencernanya dengan
baik.
“Maaf,
aku tak bisa menemanimu untuk kesekian kalinya..” balasku berbisik.
“Aku
tahu..”
“Kau
baik-baik saja kan?”
Aku
mengangguk ragu, aku sama sekali tidak baik-baik saja
“Baiklah,
kalau begitu aku pergi sekarang, kalau kau merasa sakit, istirahat saja di
kamar”
Hatiku
hanya berbisik, Aku sakit mas, di sini di
hati yang serasa sakit bukan main...aku ingin kita selamanya, tapi aku juga
tidak ingin berdosa seumur hidupku...
Dia
pergi dengan memegang kitabnya yang berukuran kecil dan sebuah senyuman yang
membuatku semakin sakit.
Selepasnya pergi, aku bersimpuh di
lantai kamar, aku menangis dan mengerang sekeras-kerasnya. Aku ingin lari, meninggalkan rumah, meninggalkan dunia,
meninggalkan masa kini. Aku hampir kehilangan akal sehat, berencana
meninggalkan Tuhanku untuk kebahagiaan rumah tanggaku.
Aku ingin mencari hujan, aku ingin bersembunyi
di dalamnya, menyembunyikan derasnya air mata yang sekejap telah membasahi
wajahku yang mengkerut karena terlalu lelah. Aku ingin merobohkan benteng
penghalang antara kami. Aku dan mas Wildi. Kami ingin menjadi satu.
Kukira cinta adalah penyatu kami yang
terlampau berbeda. Kukira cinta bisa merengkuh kami dalam ruang yang
benar-benar sama. Tapi semua dugaan kami tentang kedahsyatan cinta kasih itu
luruh begitu saja tanpa kami bisa cegah.
Malam pun kembali bersambut,
meskipun terasa lebih lambat dari biasanya. Kami duduk bersama di kursi kayu di
taman samping rumah. Memperhatikan langit yang sedang bertaburan bintang.
Memperhatikan tetesan air sisa hujan tadi sore dari daun pohon yang cukup
rindang. Meresapi belaian angin yang bertiup mesra. Semuanya mengantar kami ke
momen-momen indah yang pernah kami lewati. Tak perlu satu jam untuk meresapi
semuanya, hanya dengan hitugan menit, aku sudah bisa menyusun kenangan-kenangan
itu menjadi slide yang teratur. Kami sedang
asyik bernostalgia.
“Rinda...,
rasanya aku ingin menikmati momen seperti ini tanpa jeda dan tanpa garis batas”
Aku
berbalik menatapnya dan tersenyum hangat, Aku
pun demikian..
“Aku
ingin membuang, aku ingin mengutuki semua alasan yang membuat kita beda”
“Jangan...”
“Kenapa?”
“Karena
kita yang buat alasan itu menjadi ada, terlepas dari kita sengaja atau tidak
sengaja..”
“Kau
tidak berencana untuk menyerah kan?”
“Aku
tidak menyerah mas, aku cuma ingin belajar menerima kenyataan. Kadang... hidup
hanya menyiapkan kita satu pilihan yaitu menerima”
“Kalau
begitu bisakah kita lain? Bisakah kita tidak memilih pilihan itu? Bisakah kita
menyatu saja?”
“Menurut
mas, perspektif beragama kita bisa jadi satu?”
“Entahlah...,
aku tidak peduli lagi”
“Tapi
aku peduli mas. Aku sudah menyerah sejak beberapa hari yang lalu, aku ingin
pergi saja mas..”
“Rin...”
“Aku
tahu mas ingin bilang apa aku tidak mencintaimu lagi, jawabannya tentu saja aku
masih terlalu mencintai mas. Tidak pernah berubah. Tapi aku tidak menuruti
kemauan mas kali ini. Maafkan saya, aku tetap percaya dengan keyakinanku”
“Kalau
begitu tetap saja seperti ini, tidak usah pergi”
“Lalu
aku akan selamanya mengkhianati keyakinanku sendiri? Apakah bisa mas saja yang
mengikutiku?”
“Menjadi
muslim? Maaf, saya pun tidak bisa”
“Itu
masalahnya, dua kenyakinan yang berbeda dan tidak bisa disatukan akan membuat
kita akan hidup dalam kepura-puraan selamanya. Sudah cukup kita hidup dengan
perdebatan yang tidak ada titik ujungnya. Bagaimanapun kita membandingkan
keyakinan mas dan keyakinanku, semuanya akan tetap sama. Kita terlanjur
berbeda. Aku sudah cukup risih melihat mas membaca kitab mas dan melihat salib
di samping ranjang kita dan saya yakin mas juga sangat risih melihat saya
beribadah sesuai dengan ajaran agama saya setiap hari”
“Rinda...”
“Mas,
seuatu yang tidak cocok, kalau terus dipaksa untuk menjadi cocok nanti buntutnya
akan berefek tidak baik”
Dia tidak berkomentar lagi,
begitupun dengan diriku. Kami tertunduk dan mengikhlaskan kami diseret oleh
takdir perlahan. Aku tidak menangis, sama sekali tidak. Entah kenapa ada
kekuatan yang tiba-tiba merasukiku untuk kuat menatapnya. Aku tau itu dari
Tuhan. Aku menyadari, betapa jauhNya pun aku meninggalkanNya, Dia selalu
memberikan suatu cara untukku kembali, seperti hari ini, didetik dimana aku
merasa akan hancur dan tidak ada pegangan, Dia membuatku menyadari kalau tidak
ada tempat lain untukku memohon kekuatan selain diriNya.
Kami tahu, ada satu cinta yang tidak
akan pernah bisa kami lepaskan. Kami pun tahu ada sejuta kenangan yang akan
selalu kami ingat dan tidak akan pernah bisa terlupakan. Tapi kami pun tahu
kalau hari ini Tuhan kami yang dalam perspektif berbeda telah menggariskan kami
takdir untuk mencukupkan segalanya.
Kami merenung..
lantas di penghujungnya...kami bertemu dengan suatu kesadaran yg tanpa
disengaja, bahwa kami seolah-olah adalah sebuah robot yg mesin kendalinya di
kuasai oleh satu pemilik yaitu Tuhan. Kami pun tahu sebenarnya Tuhan yang hati
kami maksud sama persis, terlepas dari logika kami menggambarkannya. Saya
sendiri merasa kecil sekali, dan saya tahu, Tuhan kami adalah satu, yang
menggenggam kehidupan sementara kami sendiri tidaklah lebih dari secuil debu yang tak ada artinya.
Di penghujung malam itu, dia
memelukku erat. Aku pun balas merengkuhnya. Aku meresapinya, karena aku tahu
itu adalah yang terakhir dan momen itu tidak akan pernah kembali ataupun
terulang.
Kami
mungkin tidak akan pernah bisa jadi S A T U.
Perpisahan ini adalah jalan terbaik yang diberikan oleh Tuhanku dan juga
Tuhannya. Tuhan yang dibedakan oleh kami sendiri, walaupun pada hakikatnya
Tuhan kami adalah
S A T U.
Nur mustaqimah (Teman Langit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar