Semuanya telah
begitu berbeda hari ini. Hanya langit yang tak berubah. Jalan-jalan sudah
diaspal, rumah-rumah kayu yang dulu berjejeran kini sudah tidak ada lagi, yang
ada justru adalah rumah-rumah dengan pondasi batu yang kokoh. Hutan-hutan yang
dulu dipenuhi pohon-pohon besar telah berganti menjadi kebun yang tanamannya
ditata rapi.
Aku lelah menempuh
perjalanan jauh dari Sulawesi Tengah, Palu, tempatku menetap selama dua puluh satu
tahun bersama suamiku. Naik pesawat selama kurang lebih satu jam dan kini aku
harus tahan duduk di kursi tengah sebuah mobil sewa. Mobil dari terminal ibu
kota provinsi dengan tujuan Sinjai, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan
tempatku menghabiskan masa kecilku dahulu.
Kini masa itu
seperti bisa kusentuh dengan ujung jariku, rasanya bisa kutelan dengan sekali
tegukan. Seperti dejavu, berada
ditengah-tengah sejarah yang telah lama ku abadikan dalam kotak kenangan yang
tergembok rapat. Tapi kali ini telah kubuka pelan-pelan dan kenangan itu
berloncatan satu per satu seperti tampilan slide
di layar yang tak ada tombol on-off
nya yang bisa kupencet kapan saja untuk mematikannya.
“Pak…, inilah
tempatku seharusnya berada”, bisikku pelan pada suamiku sambil membelai rambut
Yuni kecil yang tertidur pulas di pangkuanku. Anak kedua ku yang kusertakan dalam
perjalananku mengais-ngais masa lalu.
“Nikmati,
teguklah baik-baik kelegaanmu hari ini”, kata suamiku sambil diiringi sebuah
senyuman
Aku
mengangguk. Bagiku segala kekata yang bisa diucap sudah tidak penting lagi
sebab rasa rinduku sudah mengunci setiap kekata itu. Aku merasakan rasa rindu
ini seperti dikebiri, harus buru-buru disampaikan pada sebentuk hati yang
mungkin telah menunggu selama bepuluh tahun. Ibu…, aku tahu ia selalu menyebut
namaku di tiap do’anya. Meskipun aku telah berbuat kesalahan yang tak
termaafkan.
Masa
itu, aku tidak ingin berpura-pura lupa sebab tak ada yang lebih mengingatnya
melebihi diriku. Aku dan suamiku adalah pasangan yang terkungkung dalam rasa
bersalah selama berpuluh tahun.
Dua puluh satu
tahun yang lalu, aku lari dari rumah. Fuad yang belum menjadi suamiku waktu itu
juga meninggalkan segala kepunyaannya bersamaku. Cinta datang pada orang yang
salah. Tak ada yang bisa membenarkannya. Bahkan kami sekalipun. Tapi rasaku
kala itu begitu memaksa. Aku tidak tahu kami diseret oleh takdir atau kami
telah memaksa takdir berubah.
Aku adalah adik
dari kak Murni, istri dari kakak kandung Fuad. Pernikahan mereka mempertemukan
kami dua puluh tahun silam. Tapi adat istiadat tidak boleh dilanggar, Bapak
marah besar sewaktu Fuad bicara baik-baik dengan Bapak. Sementara kakakku
sendiri lebih banyak diam dan kulihat dia bersembunyi di bawah kelambu sambil
terisak.
Kami berada di tempat dan masa yang salah.
Tiba-tiba saja aku ingin menjadi bagian dari keluarga orang lain agar aku bisa
menikah dengan Fuad. Kami memutuskan tidak akan mengalah dan dua puluh satu
tahun yang lalu___kami lari, kami pergi jauh. Sampai hari ini, aku tidak tahu
harus menyesali siapa selain adat itu. Tak ada yang ingin kukutuki selain adat
istiadat itu.
Kabar
terakhir yang kudapatkan dari saudara sepupu yang juga menetap di Palu, Bapak
makin sering sakit-sakitan dan berkali-kali dirawat di rumah sakit. Aku ingin
sekali pulang mendengar berita itu, tapi butuh sekian hari, sekian minggu, dan
sekian bulan untuk menguatkan hati dan merelakan harga diri terlepas dan egoku
meluruh. Hingga hari ini aku telah sampai sejauh ini, membiarkan rasa rinduku
berlari menuju Ibu dan Bapak.
Di pagi hari
seperti ini, desa ini makin kelihatan menakjubkan. Daun-daun terlihat menghijau
di pepohonan. Air bekas hujan di helaiannya jatuh setetes demi setetes ke
tanah. Ditambah lagi pohon-pohon rambutan di halaman rumah warga tengah berbuah
dan sudah mulai memerah merona. Memang benar pohon-pohon rindang di hutan dulu
sudah banyak ditebang, tapi ketentramannya masih sejuk terasa. Embun dari kabut
membuat kaca mobil menjadi buram, aku melapnya perlahan dengan ujung jari
telunjukku hingga dinginnya merasuk sampai ke tulang-tulangku.
“Pak supir…,
tolong diperlambat.” Aku mulai ragu. Kalau tidak salah dari sini hanya tinggal
satu kilometer lagi dari rumah. Aku butuh kekuatan yang besar melebihi dari
kapanpun selama hidupku. Suamiku hanya diam dan ikut menatapku ragu.
Aku tersenyum
kecut, detakan jantungku makin jelas kudengar berdentum-dentum. Kepengecutanku
tumbuh lagi sedikit demi sedikit. Tapi kali ini aku memaksanya untuk pergi.
Kulihat suamiku pun demikian, urat-urat di punggung telapak tangannya tertarik
kaku. Bola matanya gelisah. Dan beberapa kali menelan ludahnya untuk
mengimbangi ketegangannya sehingga jakung di lehernya tampak naik turun. Kami
tak saling bicara. Lantas kami memilih berkontemplasi dengan pikiran kami
masing-masing.
Aku melirik jam
tangan di pergelanganku, tepat pukul sepuluh pagi, aku telah duduk selama lima
jam di dalam mobil. Panggulku sudah mulai keram dan mataku juga sudah lelah
tidak tidur sedetikpun selama dalam perjalanan. Yuni kecil dengan kuncirnya
yang mulai berantakan sudah mulai bergerak-gerak gelisah. Mungkin dia mulai
merasa tak nyaman dengan pangkuanku yang sedikit-sedikit kugerakkan untuk
memperbaiki posisi dudukku. Kelopak matanya perlahan membuka.
“Ibu…, rumah
nenek sudah dekat belum?” tanyanya sedikit loyo
“Iya, sedikit
lagi”
“Kado buat nenek
yang aku bikin di rumah kemarin mana bu?”
“Ada di tas,
nanti sampai baru di bongkar tasnya yah…”
Bola mata anakku
berbinar-binar setelah aku bilang sedikit lagi sampai. Ia tidak pernah tahu
kejadian di masa lalu itu. Ia hanya sibuk berkhayal tentang nenek yang hanya bisa
kugambarkan dengan kata-kata selama ini. Dan ia tahu, sebentar lagi khayalannya
akan berganti menjadi sebuah realita.
Rumah itu sudah
nampak. Rumah yang dulu berdiri dengan tiang-tiang kayu yang kuat sudah
berganti dengan rumah batu seperti rumah-rumah lain yang juga telah berubah.
Rumah itu berada di sudut sebuah pertigaan. Dulu menghadap ke selatan, tapi
kini berganti menghadap ke timur. Benar-benar bukan khayalan. Semuanya nyata
tepat di depan mataku. Pohon ketapang di pertigaan itu masih ada, kurasa hanya
itu satu-satunya yang tidak berubah sedikitpun selama dua puluh satu tahun.
Pak supir
memelankan mobilnya sedikit demi sedikit dan mengeremnya perlahan. Mobil pun
berhenti tepat di depan rumah itu, rumah kenanganku. Aku tak langsung turun, ku
atur nafas dan meregangkan otot-otot ku. Suamiku menepuk pundakku dan mengusap
ubun-ubunku. Aku merasa lebih tenang dengan usapan itu. Anakku tiba-tiba
berhenti mengoceh dan juga ikut terdiam, menatap takzim ke arah rumah neneknya
yang nyata.
Satu orang
keluar terbirit-birit dari dalam rumah. Berselang beberapa detik menyusul satu
orang lagi. Dan entah dalam hitungan detik keberapa, teras rumah sudah dipenuhi
orang. Bukan dari luar rumah, melainkan dari dalam rumah. Tiba-tiba kakiku tak
mampu digerakkan, tertahan oleh rasa takut yang menghantam hebat. Darahku pun
terasa berhenti mengalir. Seketika aku tak peduli anakku yang ada di sampingku,
pun suamiku. Satu-satunya yang ingin kulihat adalah Ibu dan Bapak. Ada apa di
dalam rumah kenanganku ini?
Suamiku memutuskan
membuka pintu mobil, kemudian menggendong anakku turun. Sementara aku? Aku tak bisa
apa-apa, bahkan untuk mengubah posisi dudukku.
Tiba-tiba ku
lihat seorang laki-laki dewasa berlari dari dalam rumah sambil berteriak,
“Siapa?” Aku langsung mengenalinya, itu adikku yang dulu masih berusia sebelas
tahun waktu aku meninggalkan rumah ini. Wajahnya telah mendewasa dengan rahang
yang kokoh tapi matanya sama sekali tidak berubah. Rasa sesakku semakin terasa
parah, tulang rusukku serasa menghimpit dan aku sulit bernafas. Ingin rasanya
melompat dan memeluknya sambil berkata, “Ini aku Eda…, kakakmu”
“Turunlah.., ini
tujuan kita”, suamiku berkata pelan, membujukku seperti membujuk anak kecil
yang merasa takut luar bisaa.
Aku pun perlahan
bergeser ke ujung kursi, ku pegang erat gagang pintu yang sudah membuka sejak
tadi, mengumpulkan tenaga. Kubiarkan kaki kananku perlahan menyentuh tanah
hingga beberapa detik kemudian aku sudah berdiri dengan dua kaki di atas tanah
kelahiranku, tanah yang menyimpan jejak sejarahku. Ku beranikan diri menatap ke
depan dan melangkah ke rumah kenanganku. Aku merasakan tangan kananku digapai
oleh suamiku. Ia menggenggamnya erat, kutahu sesuatu…dia kembali mentransfer sejuta kekuatan untukku.
Semua orang
tampak kebingungan dan mencoba menelanjangiku dengan tatapan tajam mereka.
“Bukankah itu
Eda? Kakakmu Mail”. Seorang wanita paruh baya nampaknya telah berhasil
mengenaliku, lantas adikku hanya menatapku dengan seribu tanda tanya, lalu
segera beranjak ke dalam rumah. Tidak sampai satu menit, seorang laki-laki tua
dengan sarung yang diselempang menutupi dadanya yang telanjang, berjalan cepat
dari dalam rumah. Aku mengenalinya, dia adalah saudara bapak. Pamanku tepatnya.
“Mau apa kau ke
sini? Berani-beraninya kau menginjak tanah ini lagi!” bentaknya sambil
mengarahkan telunjuknya ke arahku.
Aku kaget dan
nampaknya belum begitu siap dengan gempuran ini. Suamiku makin mencengkram
tanganku erat. Sementara putri kecilku yang ada digendongan Ayahnya tampak ketakutan.
“Kenapa kau
kembali, tidak ada lagi orang yang menunggumu di sini!” Lagi, serangan itu
berlanjut.
Aku hanya
berdiri dan diam terpaku di pijakanku. Hanya ada sekitar dua meter lagi dari
teras rumah.
Dan seperti yang
sudah kuduga sebelumnya, orang-orang sekampung telah memenuhi sekitar rumah
kenanganku. Ingin menyaksikan pulangnya seorang pengecut yang sembunyi selama
berpuluh tahun dengan membawa lari dosa-dosa dan meninggalkan duka di rumah
ini.
Putriku pun
mulai mengerang, ketakutannya pecah menjadi sebuah tangisan yang membuatku
semakin shock. Aku menghancurkan
rangkaian harapan putriku. Harusnya aku tak membawanya sekarang. Harusnya ia
tidak perlu tahu tentang kepengecutan Ibunya sekarang. Lagi-lagi, semuanya
berada di waktu yang salah seperti dua puluh satu tahun yang lalu.
Pamanku terus
membentak tanpa ampun, sementara aku dan suamiku terus membatu di hadapannya.
Seorang wanita tua berlari dari dalam rumah lagi. Kulitnya berkeriput kasar.
Tubuhnya pendek hanya sedadaku. Rambutnya hampir putih seluruhnya. Aku hampir
tidak percaya, aku melihat Ibu ku di detik ini. Ia tak ragu terus berlari
terseok dan___ Pelukan ini sangat
kurindukan Tuhan…. Momen itu terasa seperti slow motion, perlahan, dan bisa ku nikmati setiap inci
kenikmatannya. Sungguh, ini nyata, aku menyentuh pundaknya yang sudah rapuh.
Aku merasakan nafasnya yang berat dan tidak beraturan. Aku membaui aromanya
yang tidak pernah kulupakan selama kepergianku. Aku merasakan air matanya yang tumpah
membasahi dadaku. Aku merasakan tubuhnya yang lembek menyusup di rangkulanku
dan tenggelam di dalamnya.
Wahai Ibu…, tak ada yang lebih kuinginkan di dunia
ini selain bertemu denganmu. Aku mengingatimu setiap aku makan, sebelum aku
tertidur, dan di segala momen dan tempat yang bisa memberiku stimulant untuk
itu. Aku merindumu Ibu, rasaku telah berlari melalui segala keindahan di
sepanjang jalan, tanpa jeda dan tanpa pedulikan semua itu, sebab kutahu, tak
ada yang lebih indah jika rasa itu sampai tepat waktu….
Entah berapa
menit aku menikmatinya sampai Ibu melepaskan diri dan menatapku lamat-lamat.
Penuh hikmat. Ujung jariku mengusap air matanya yang bening. Tidak ada
percakapan. Kami saling merasuki satu sama lain. Ibu dan anak yang terpisah
selama dua puluh satu tahun mencoba mengurai kata yang tak terucap. Namun aku
mengerti semua kata itu. Aku mengerti bahasa hatinya. Begitu pun dirinya. Aku
dan Ibu sedang menikmati kesempurnaan pertemuan rasa rindu kami, hingga rasanya
hanya kami berdua saat ini.
Tangisan putriku telah terhenti dan neneknya
menyentuh pipinya. Aku merasakan kedamaian yang dirasa oleh putriku, kerinduan
pada nenek yang sebelumnya tak pernah ditemuinya. Rasanya juga akhirnya telah
sampai tepat waktu, nikmatilah putriku sayang__
Aku tidak peduli
lagi dengan orang-orang di sekitar. Juga termasuk paman tuaku yang telah
menghentikan serangannya. Mungkin karena ia takjub melihat adegan yang baru
saja terjadi di depan matanya.
Ibu masih
terisak sesekali dan meraih tanganku, menarikku ke dalam rumah. “Masuklah nak…,
Bapakmu menunggumu di dalam” ia berkatah lirih dengan suara yang bergetar.
Ibu berhenti di
depan sebuah kamar. Samar-samar dari balik gorden tipis tampak beberapa orang
yang membaca Yasin. Ada rasa was-was untuk masuk ke sana, aku tahu apa yang
terjadi di dalam sana. Bapakku…, ujung mataku kembali basah dan seketika tumpah
seperti air bah. Ibu menarikku masuk. Dan di depan mataku terbaring seorang
lelaki tua yang renta. Bukan lagi Bapak seperti dua puluh satu tahun yang lalu.
Bukan lagi Bapak yang penuh wibawa. Pundak yang dulu tegap kini tampak kurus
hingga persendiannya tampak menonjol. Harus kuterima kenyataan, Bapakku sedang
sekarat. Suami kak Murni yang tak lain adalah kakak kandung suamiku terus
membaca syahadat dan mengusap ubun-ubun Bapak yang di tidurkan di atas pahanya.
Bapak terlihat lelah menarik nafasnya hembusan demi hembusan.
Aku terisak
sampai tersengal tidak keruan. Ku tekan dadaku. Aku tertelungkup di bawah kaki
Bapak. Aku meraih kakinya. Dingin. Aku membaca “La…Ilaha Illallah…” tak
henti-hentinya. Beberapa menit kemudian Bapak pun menghembuskan nafas
terakhirnya. Aku memeluknya yang terbaring tak bernyawa. Kak Murni mengusap
punggungku dan menarikku. Ia memelukku. Kami sama-sama kehilangan hari ini.
Hari dimana aku kembali untuk meluruskan yang bengkok. Hari dimana aku datang
dengan segala kepasrahanku.
Bapak…, maafkan atas segala kekecewaan yang
kutorehkan hingga berbekas di hatimu selama ini. Aku sangat merindukanmu.
Rasaku berlari sejauh ini untuk menggapaimu dan akhirnya aku bisa sampai tepat
waktu sebelum kau pergi. Tuhan…, terimakasih sudah memberi Bapak kesempatan
untuk menungguku dan terimakasih sudah memberi rasa rinduku kesempatan untuk
sampai tepat waktu.
Hari-hari
yang hening kulewati di rumah kenanganku setelah kepergian Bapak. Duka masih
menggelayut di langit-langit rumah dan masih menyisakan penyesalan bagiku
karena menunda kepulanganku selama bertahun-tahun. Tak ada yang banyak menanyaiku. Juga tak ada
yang berusaha mengorek-ngorek masa lalu itu. Bahkan kak Murni sekali pun. Entah
karena mereka masih belum sempat karena kedukaan mereka atau karena mereka
telah berkeputusan melupakan semuanya dan menerima si pengecut ini dengan
tangan terbuka. Tapi kulihat mata mereka masih menyimpan sejuta tanda tanya dan
mereka masih kaku memperlakukanku.
Kubiarkan
semuanya berjalan sealami mungkin. Aku tak ingin memaksakan tapi juga tak ingin
pergi begitu saja tanpa meluruskan semuanya. Kuputuskan untuk menunggu sampai
keadaan menjadi normal. Apalagi putriku terlihat sangat suka dimanjakan oleh
neneknya. Hanya Yuni kecil lah yang bisa menikmati semuanya tanpa beban. Putri
kecil yang bersih tanpa noda kepengecutan Ibunya.
Malam ini, menu
santap malam dihidangkan rapi dan sederhana di atas karpet di ruang tengah.
Sebakul nasi yang mengepul karena panas. Semangkuk sayur kangkung. Ikan bakar
dengan sambal terasi. Juga semangkuk petai yang sudah ditumis oleh kak Murni.
Kami berkumpul membentuk lingkaran, duduk bersila, dan siap menyantap menunya.
Anak gadis kak Murni menyiapkan semuanya dengan sempurna.
“Anakmu sudah
berapa Eda?” tanya kak Murni dengan nada ragu. Aku tahu ia ingin mencairkan
suasana yang beku berhari-hari sejak kedatanganku.
“Sudah tiga,
yang paling tua gadis dan sudah SMA kelas tiga dan yang ke dua laki-laki sudah
SMA kelas satu. Saya kira dulu sudah tidak bisa punya anak loh karena umur,
tapi Tuhan mengejutkan saya dengan adanya Yuni diperut. Hahahaha…”, jawabku
diselingi canda, aku menyeimbangi usaha kak Murni. Itu adalah segenap usahaku.
Semuanya ikut
tertawa. Ada yang tertawa sedikit memaksa. Ada juga yang sudah bisa tertawa
lepas.
“Kamu ini bisa
saja”, ibu menimpali dengan senyum tulusnya.
“Kak Fuad kerja
apa di Palu?” tanya Mail, adikku.
“Dagang bahan
bangunan, itu butuh bertahun-tahun mencari modal sampai bisa bikin toko. Tapi
si Eda ini jago mengkalkulasi. Istri yang hebat!” jawab suamiku tak ragu sedikitpun.
“Lain waktu, kau
bawalah anak-anakmu yang dua itu”, kata Ibu sambil menuang air minum ke dalam
gelas bening yang ada di sampingnya.
“Kalau si Mail
ini menikah baru aku bawa semuanya”, candaku kembali.
Mail tersipu
malu mendengar ocehan kakaknya yang cerewet ini. Ibu lalu cepat menimpali, “Dia
tidak mau tunjuk perempuan mana yang dia suka, padahal sudah Ibu suruh
berkali-kali. Umur adikmu ini sudah jalan tiga puluh tiga tahun tapi masih
bujang”
“Awas loh, nanti
kamu jadi bujang lapuk”, kataku bermaksud memancing. Memancingnya cepat-cepat
mencari jodohnya.
Tawa makin
bergemuruh malam itu dan aku cukup bahagia. Aku bahagia dengan penerimaan
mereka.
Ini sudah minggu
ke duaku di sini. Dan hari ini hari keberangkatanku pergi. Meninggalkan kembali
Ibu dan saudara-saudaraku. Meninggalkan rumah kenanganku. Meninggalkan tanah
kelahiranku. Tapi kali ini berbeda dengan dua puluh satu tahun silam. Kali ini
tak berbeban. Aku sudah jadi mantan pengecut sekarang. Tinggal mantan. Hanya
pernah jadi pengecut dan kini tak lagi. Meskipun dosaku mungkin tak tertebus
seluruhnya, tapi aku sudah cukup lega. Kini aku mencintai segala momen di tanah
kelahiranku dan tak lagi mengutuki segalanya.
follow sukses no. 141
BalasHapustolong folback