Sabtu, 06 April 2013

Aku Mantan Pengecut



Semuanya telah begitu berbeda hari ini. Hanya langit yang tak berubah. Jalan-jalan sudah diaspal, rumah-rumah kayu yang dulu berjejeran kini sudah tidak ada lagi, yang ada justru adalah rumah-rumah dengan pondasi batu yang kokoh. Hutan-hutan yang dulu dipenuhi pohon-pohon besar telah berganti menjadi kebun yang tanamannya ditata rapi.



Aku lelah menempuh perjalanan jauh dari Sulawesi Tengah, Palu, tempatku menetap selama dua puluh satu tahun bersama suamiku. Naik pesawat selama kurang lebih satu jam dan kini aku harus tahan duduk di kursi tengah sebuah mobil sewa. Mobil dari terminal ibu kota provinsi dengan tujuan Sinjai, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan tempatku menghabiskan masa kecilku dahulu.
Kini masa itu seperti bisa kusentuh dengan ujung jariku, rasanya bisa kutelan dengan sekali tegukan. Seperti dejavu, berada ditengah-tengah sejarah yang telah lama ku abadikan dalam kotak kenangan yang tergembok rapat. Tapi kali ini telah kubuka pelan-pelan dan kenangan itu berloncatan satu per satu seperti tampilan slide di layar yang tak ada tombol on-off nya yang bisa kupencet kapan saja untuk mematikannya.
“Pak…, inilah tempatku seharusnya berada”, bisikku pelan pada suamiku sambil membelai rambut Yuni kecil yang tertidur pulas di pangkuanku. Anak kedua ku yang kusertakan dalam perjalananku mengais-ngais masa lalu.
“Nikmati, teguklah baik-baik kelegaanmu hari ini”, kata suamiku sambil diiringi sebuah senyuman
            Aku mengangguk. Bagiku segala kekata yang bisa diucap sudah tidak penting lagi sebab rasa rinduku sudah mengunci setiap kekata itu. Aku merasakan rasa rindu ini seperti dikebiri, harus buru-buru disampaikan pada sebentuk hati yang mungkin telah menunggu selama bepuluh tahun. Ibu…, aku tahu ia selalu menyebut namaku di tiap do’anya. Meskipun aku telah berbuat kesalahan yang tak termaafkan.
            Masa itu, aku tidak ingin berpura-pura lupa sebab tak ada yang lebih mengingatnya melebihi diriku. Aku dan suamiku adalah pasangan yang terkungkung dalam rasa bersalah selama berpuluh tahun.
Dua puluh satu tahun yang lalu, aku lari dari rumah. Fuad yang belum menjadi suamiku waktu itu juga meninggalkan segala kepunyaannya bersamaku. Cinta datang pada orang yang salah. Tak ada yang bisa membenarkannya. Bahkan kami sekalipun. Tapi rasaku kala itu begitu memaksa. Aku tidak tahu kami diseret oleh takdir atau kami telah memaksa takdir berubah.
Aku adalah adik dari kak Murni, istri dari kakak kandung Fuad. Pernikahan mereka mempertemukan kami dua puluh tahun silam. Tapi adat istiadat tidak boleh dilanggar, Bapak marah besar sewaktu Fuad bicara baik-baik dengan Bapak. Sementara kakakku sendiri lebih banyak diam dan kulihat dia bersembunyi di bawah kelambu sambil terisak.
Kami  berada di tempat dan masa yang salah. Tiba-tiba saja aku ingin menjadi bagian dari keluarga orang lain agar aku bisa menikah dengan Fuad. Kami memutuskan tidak akan mengalah dan dua puluh satu tahun yang lalu___kami lari, kami pergi jauh. Sampai hari ini, aku tidak tahu harus menyesali siapa selain adat itu. Tak ada yang ingin kukutuki selain adat istiadat itu.
            Kabar terakhir yang kudapatkan dari saudara sepupu yang juga menetap di Palu, Bapak makin sering sakit-sakitan dan berkali-kali dirawat di rumah sakit. Aku ingin sekali pulang mendengar berita itu, tapi butuh sekian hari, sekian minggu, dan sekian bulan untuk menguatkan hati dan merelakan harga diri terlepas dan egoku meluruh. Hingga hari ini aku telah sampai sejauh ini, membiarkan rasa rinduku berlari menuju Ibu dan Bapak.
Di pagi hari seperti ini, desa ini makin kelihatan menakjubkan. Daun-daun terlihat menghijau di pepohonan. Air bekas hujan di helaiannya jatuh setetes demi setetes ke tanah. Ditambah lagi pohon-pohon rambutan di halaman rumah warga tengah berbuah dan sudah mulai memerah merona. Memang benar pohon-pohon rindang di hutan dulu sudah banyak ditebang, tapi ketentramannya masih sejuk terasa. Embun dari kabut membuat kaca mobil menjadi buram, aku melapnya perlahan dengan ujung jari telunjukku hingga dinginnya merasuk sampai ke tulang-tulangku.
“Pak supir…, tolong diperlambat.” Aku mulai ragu. Kalau tidak salah dari sini hanya tinggal satu kilometer lagi dari rumah. Aku butuh kekuatan yang besar melebihi dari kapanpun selama hidupku. Suamiku hanya diam dan ikut menatapku ragu.
Aku tersenyum kecut, detakan jantungku makin jelas kudengar berdentum-dentum. Kepengecutanku tumbuh lagi sedikit demi sedikit. Tapi kali ini aku memaksanya untuk pergi. Kulihat suamiku pun demikian, urat-urat di punggung telapak tangannya tertarik kaku. Bola matanya gelisah. Dan beberapa kali menelan ludahnya untuk mengimbangi ketegangannya sehingga jakung di lehernya tampak naik turun. Kami tak saling bicara. Lantas kami memilih berkontemplasi dengan pikiran kami masing-masing.
Aku melirik jam tangan di pergelanganku, tepat pukul sepuluh pagi, aku telah duduk selama lima jam di dalam mobil. Panggulku sudah mulai keram dan mataku juga sudah lelah tidak tidur sedetikpun selama dalam perjalanan. Yuni kecil dengan kuncirnya yang mulai berantakan sudah mulai bergerak-gerak gelisah. Mungkin dia mulai merasa tak nyaman dengan pangkuanku yang sedikit-sedikit kugerakkan untuk memperbaiki posisi dudukku. Kelopak matanya perlahan membuka.
“Ibu…, rumah nenek sudah dekat belum?” tanyanya sedikit loyo
“Iya, sedikit lagi”
“Kado buat nenek yang aku bikin di rumah kemarin mana bu?”
“Ada di tas, nanti sampai baru di bongkar tasnya yah…”
Bola mata anakku berbinar-binar setelah aku bilang sedikit lagi sampai. Ia tidak pernah tahu kejadian di masa lalu itu. Ia hanya sibuk berkhayal tentang nenek yang hanya bisa kugambarkan dengan kata-kata selama ini. Dan ia tahu, sebentar lagi khayalannya akan berganti menjadi sebuah realita.
Rumah itu sudah nampak. Rumah yang dulu berdiri dengan tiang-tiang kayu yang kuat sudah berganti dengan rumah batu seperti rumah-rumah lain yang juga telah berubah. Rumah itu berada di sudut sebuah pertigaan. Dulu menghadap ke selatan, tapi kini berganti menghadap ke timur. Benar-benar bukan khayalan. Semuanya nyata tepat di depan mataku. Pohon ketapang di pertigaan itu masih ada, kurasa hanya itu satu-satunya yang tidak berubah sedikitpun selama dua puluh satu tahun.
Pak supir memelankan mobilnya sedikit demi sedikit dan mengeremnya perlahan. Mobil pun berhenti tepat di depan rumah itu, rumah kenanganku. Aku tak langsung turun, ku atur nafas dan meregangkan otot-otot ku. Suamiku menepuk pundakku dan mengusap ubun-ubunku. Aku merasa lebih tenang dengan usapan itu. Anakku tiba-tiba berhenti mengoceh dan juga ikut terdiam, menatap takzim ke arah rumah neneknya yang nyata.
Satu orang keluar terbirit-birit dari dalam rumah. Berselang beberapa detik menyusul satu orang lagi. Dan entah dalam hitungan detik keberapa, teras rumah sudah dipenuhi orang. Bukan dari luar rumah, melainkan dari dalam rumah. Tiba-tiba kakiku tak mampu digerakkan, tertahan oleh rasa takut yang menghantam hebat. Darahku pun terasa berhenti mengalir. Seketika aku tak peduli anakku yang ada di sampingku, pun suamiku. Satu-satunya yang ingin kulihat adalah Ibu dan Bapak. Ada apa di dalam rumah kenanganku ini?
Suamiku memutuskan membuka pintu mobil, kemudian menggendong anakku turun. Sementara aku? Aku tak bisa apa-apa, bahkan untuk mengubah posisi dudukku.
Tiba-tiba ku lihat seorang laki-laki dewasa berlari dari dalam rumah sambil berteriak, “Siapa?” Aku langsung mengenalinya, itu adikku yang dulu masih berusia sebelas tahun waktu aku meninggalkan rumah ini. Wajahnya telah mendewasa dengan rahang yang kokoh tapi matanya sama sekali tidak berubah. Rasa sesakku semakin terasa parah, tulang rusukku serasa menghimpit dan aku sulit bernafas. Ingin rasanya melompat dan memeluknya sambil berkata, “Ini aku Eda…, kakakmu”
“Turunlah.., ini tujuan kita”, suamiku berkata pelan, membujukku seperti membujuk anak kecil yang merasa takut luar bisaa.
Aku pun perlahan bergeser ke ujung kursi, ku pegang erat gagang pintu yang sudah membuka sejak tadi, mengumpulkan tenaga. Kubiarkan kaki kananku perlahan menyentuh tanah hingga beberapa detik kemudian aku sudah berdiri dengan dua kaki di atas tanah kelahiranku, tanah yang menyimpan jejak sejarahku. Ku beranikan diri menatap ke depan dan melangkah ke rumah kenanganku. Aku merasakan tangan kananku digapai oleh suamiku. Ia menggenggamnya erat, kutahu sesuatu…dia kembali mentransfer sejuta kekuatan untukku.
Semua orang tampak kebingungan dan mencoba menelanjangiku dengan tatapan tajam mereka.
“Bukankah itu Eda? Kakakmu Mail”. Seorang wanita paruh baya nampaknya telah berhasil mengenaliku, lantas adikku hanya menatapku dengan seribu tanda tanya, lalu segera beranjak ke dalam rumah. Tidak sampai satu menit, seorang laki-laki tua dengan sarung yang diselempang menutupi dadanya yang telanjang, berjalan cepat dari dalam rumah. Aku mengenalinya, dia adalah saudara bapak. Pamanku tepatnya.
“Mau apa kau ke sini? Berani-beraninya kau menginjak tanah ini lagi!” bentaknya sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku.
Aku kaget dan nampaknya belum begitu siap dengan gempuran ini. Suamiku makin mencengkram tanganku erat. Sementara putri kecilku yang ada digendongan Ayahnya tampak ketakutan.
“Kenapa kau kembali, tidak ada lagi orang yang menunggumu di sini!” Lagi, serangan itu berlanjut.
Aku hanya berdiri dan diam terpaku di pijakanku. Hanya ada sekitar dua meter lagi dari teras rumah.
Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, orang-orang sekampung telah memenuhi sekitar rumah kenanganku. Ingin menyaksikan pulangnya seorang pengecut yang sembunyi selama berpuluh tahun dengan membawa lari dosa-dosa dan meninggalkan duka di rumah ini.
Putriku pun mulai mengerang, ketakutannya pecah menjadi sebuah tangisan yang membuatku semakin shock. Aku menghancurkan rangkaian harapan putriku. Harusnya aku tak membawanya sekarang. Harusnya ia tidak perlu tahu tentang kepengecutan Ibunya sekarang. Lagi-lagi, semuanya berada di waktu yang salah seperti dua puluh satu tahun yang lalu.
Pamanku terus membentak tanpa ampun, sementara aku dan suamiku terus membatu di hadapannya. Seorang wanita tua berlari dari dalam rumah lagi. Kulitnya berkeriput kasar. Tubuhnya pendek hanya sedadaku. Rambutnya hampir putih seluruhnya. Aku hampir tidak percaya, aku melihat Ibu ku di detik ini. Ia tak ragu terus berlari terseok dan___ Pelukan ini sangat kurindukan Tuhan…. Momen itu terasa seperti slow motion, perlahan, dan bisa ku nikmati setiap inci kenikmatannya. Sungguh, ini nyata, aku menyentuh pundaknya yang sudah rapuh. Aku merasakan nafasnya yang berat dan tidak beraturan. Aku membaui aromanya yang tidak pernah kulupakan selama kepergianku. Aku merasakan air matanya yang tumpah membasahi dadaku. Aku merasakan tubuhnya yang lembek menyusup di rangkulanku dan tenggelam di dalamnya.
Wahai Ibu…, tak ada yang lebih kuinginkan di dunia ini selain bertemu denganmu. Aku mengingatimu setiap aku makan, sebelum aku tertidur, dan di segala momen dan tempat yang bisa memberiku stimulant untuk itu. Aku merindumu Ibu, rasaku telah berlari melalui segala keindahan di sepanjang jalan, tanpa jeda dan tanpa pedulikan semua itu, sebab kutahu, tak ada yang lebih indah jika rasa itu sampai tepat waktu….
Entah berapa menit aku menikmatinya sampai Ibu melepaskan diri dan menatapku lamat-lamat. Penuh hikmat. Ujung jariku mengusap air matanya yang bening. Tidak ada percakapan. Kami saling merasuki satu sama lain. Ibu dan anak yang terpisah selama dua puluh satu tahun mencoba mengurai kata yang tak terucap. Namun aku mengerti semua kata itu. Aku mengerti bahasa hatinya. Begitu pun dirinya. Aku dan Ibu sedang menikmati kesempurnaan pertemuan rasa rindu kami, hingga rasanya hanya kami berdua saat ini.
 Tangisan putriku telah terhenti dan neneknya menyentuh pipinya. Aku merasakan kedamaian yang dirasa oleh putriku, kerinduan pada nenek yang sebelumnya tak pernah ditemuinya. Rasanya juga akhirnya telah sampai tepat waktu, nikmatilah putriku sayang__
Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitar. Juga termasuk paman tuaku yang telah menghentikan serangannya. Mungkin karena ia takjub melihat adegan yang baru saja terjadi di depan matanya.
Ibu masih terisak sesekali dan meraih tanganku, menarikku ke dalam rumah. “Masuklah nak…, Bapakmu menunggumu di dalam” ia berkatah lirih dengan suara yang bergetar.
Ibu berhenti di depan sebuah kamar. Samar-samar dari balik gorden tipis tampak beberapa orang yang membaca Yasin. Ada rasa was-was untuk masuk ke sana, aku tahu apa yang terjadi di dalam sana. Bapakku…, ujung mataku kembali basah dan seketika tumpah seperti air bah. Ibu menarikku masuk. Dan di depan mataku terbaring seorang lelaki tua yang renta. Bukan lagi Bapak seperti dua puluh satu tahun yang lalu. Bukan lagi Bapak yang penuh wibawa. Pundak yang dulu tegap kini tampak kurus hingga persendiannya tampak menonjol. Harus kuterima kenyataan, Bapakku sedang sekarat. Suami kak Murni yang tak lain adalah kakak kandung suamiku terus membaca syahadat dan mengusap ubun-ubun Bapak yang di tidurkan di atas pahanya. Bapak terlihat lelah menarik nafasnya hembusan demi hembusan.
Aku terisak sampai tersengal tidak keruan. Ku tekan dadaku. Aku tertelungkup di bawah kaki Bapak. Aku meraih kakinya. Dingin. Aku membaca “La…Ilaha Illallah…” tak henti-hentinya. Beberapa menit kemudian Bapak pun menghembuskan nafas terakhirnya. Aku memeluknya yang terbaring tak bernyawa. Kak Murni mengusap punggungku dan menarikku. Ia memelukku. Kami sama-sama kehilangan hari ini. Hari dimana aku kembali untuk meluruskan yang bengkok. Hari dimana aku datang dengan segala kepasrahanku.
Bapak…, maafkan atas segala kekecewaan yang kutorehkan hingga berbekas di hatimu selama ini. Aku sangat merindukanmu. Rasaku berlari sejauh ini untuk menggapaimu dan akhirnya aku bisa sampai tepat waktu sebelum kau pergi. Tuhan…, terimakasih sudah memberi Bapak kesempatan untuk menungguku dan terimakasih sudah memberi rasa rinduku kesempatan untuk sampai tepat waktu.
            Hari-hari yang hening kulewati di rumah kenanganku setelah kepergian Bapak. Duka masih menggelayut di langit-langit rumah dan masih menyisakan penyesalan bagiku karena menunda kepulanganku selama bertahun-tahun.  Tak ada yang banyak menanyaiku. Juga tak ada yang berusaha mengorek-ngorek masa lalu itu. Bahkan kak Murni sekali pun. Entah karena mereka masih belum sempat karena kedukaan mereka atau karena mereka telah berkeputusan melupakan semuanya dan menerima si pengecut ini dengan tangan terbuka. Tapi kulihat mata mereka masih menyimpan sejuta tanda tanya dan mereka masih kaku memperlakukanku.
Kubiarkan semuanya berjalan sealami mungkin. Aku tak ingin memaksakan tapi juga tak ingin pergi begitu saja tanpa meluruskan semuanya. Kuputuskan untuk menunggu sampai keadaan menjadi normal. Apalagi putriku terlihat sangat suka dimanjakan oleh neneknya. Hanya Yuni kecil lah yang bisa menikmati semuanya tanpa beban. Putri kecil yang bersih tanpa noda kepengecutan Ibunya.
Malam ini, menu santap malam dihidangkan rapi dan sederhana di atas karpet di ruang tengah. Sebakul nasi yang mengepul karena panas. Semangkuk sayur kangkung. Ikan bakar dengan sambal terasi. Juga semangkuk petai yang sudah ditumis oleh kak Murni. Kami berkumpul membentuk lingkaran, duduk bersila, dan siap menyantap menunya. Anak gadis kak Murni menyiapkan semuanya dengan sempurna.
“Anakmu sudah berapa Eda?” tanya kak Murni dengan nada ragu. Aku tahu ia ingin mencairkan suasana yang beku berhari-hari sejak kedatanganku.
“Sudah tiga, yang paling tua gadis dan sudah SMA kelas tiga dan yang ke dua laki-laki sudah SMA kelas satu. Saya kira dulu sudah tidak bisa punya anak loh karena umur, tapi Tuhan mengejutkan saya dengan adanya Yuni diperut. Hahahaha…”, jawabku diselingi canda, aku menyeimbangi usaha kak Murni. Itu adalah segenap usahaku.
Semuanya ikut tertawa. Ada yang tertawa sedikit memaksa. Ada juga yang sudah bisa tertawa lepas.
“Kamu ini bisa saja”, ibu menimpali dengan senyum tulusnya.
“Kak Fuad kerja apa di Palu?” tanya Mail, adikku.
“Dagang bahan bangunan, itu butuh bertahun-tahun mencari modal sampai bisa bikin toko. Tapi si Eda ini jago mengkalkulasi. Istri yang hebat!” jawab suamiku tak ragu sedikitpun.
“Lain waktu, kau bawalah anak-anakmu yang dua itu”, kata Ibu sambil menuang air minum ke dalam gelas bening yang ada di sampingnya.
“Kalau si Mail ini menikah baru aku bawa semuanya”, candaku kembali.
Mail tersipu malu mendengar ocehan kakaknya yang cerewet ini. Ibu lalu cepat menimpali, “Dia tidak mau tunjuk perempuan mana yang dia suka, padahal sudah Ibu suruh berkali-kali. Umur adikmu ini sudah jalan tiga puluh tiga tahun tapi masih bujang”
“Awas loh, nanti kamu jadi bujang lapuk”, kataku bermaksud memancing. Memancingnya cepat-cepat mencari jodohnya.
Tawa makin bergemuruh malam itu dan aku cukup bahagia. Aku bahagia dengan penerimaan mereka.
Ini sudah minggu ke duaku di sini. Dan hari ini hari keberangkatanku pergi. Meninggalkan kembali Ibu dan saudara-saudaraku. Meninggalkan rumah kenanganku. Meninggalkan tanah kelahiranku. Tapi kali ini berbeda dengan dua puluh satu tahun silam. Kali ini tak berbeban. Aku sudah jadi mantan pengecut sekarang. Tinggal mantan. Hanya pernah jadi pengecut dan kini tak lagi. Meskipun dosaku mungkin tak tertebus seluruhnya, tapi aku sudah cukup lega. Kini aku mencintai segala momen di tanah kelahiranku dan tak lagi mengutuki segalanya.

1 komentar:

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com