Jumat, 17 Agustus 2012

Tak Perlu Menggugat Tuhan

Ia memandangi ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Lihatlah mata itu, pandangan itu. Tercermin sebuah rasa gelisah yang menyelimuti sosok wanita yang berparas manis dengan rambut yang digerai begitu saja. Wajah yang terlihat semakin kusut dari hari ke hari. Ia lupa memakai bedak yang dulu selalu menempel dengan setia di wajahnya. Lipstik yang harusnya membuat bibirnya selalu terlihat indah, sekarang justru tak pernah tersentuh lagi, pucat. Sementara kantung mata itu, sama sekali tidak membuatnya tampak baik-baik saja. Lesu. Kuyuh. Seperti telah kehilangan gairah hidup. 

Rasa inikah yang sebenarnya dikatakan cinta? Merasa hancur ketika tahu seseorang yang kau harapkan telah jauh meninggalkanmu. Merasa terluka. Entahlah bagaimana tepatnya, siapa yang dilukai dan siapa yang melukai. Rasti ditinggalkan Eza setelah Eza merasa tak pernah dipandang Rasti dengan cara yang lain. Walaupun sebenarnya Eza tidak pernah benar-benar menghilang, ia tetap selalu ada untuk Rasti, selalu. Hanya saja Rasti merasa Eza-nya telah direbut oleh wanita itu yang tiba-tiba muncul begitu saja di hidup Eza.
Ponsel itu tak juga berdering, entah itu sebuah telepon atau hanya sebuah sms. Ia mengharapkan perhatian dari Eza. Ia benar-benar merasa sakit. Sakit yang disebabkan oleh Eza, dan hanya bisa disembuhkan oleh Eza juga. Sakit hati. Entahlah..,kurasa sakit hati itu sudah merembes ke sekujur tubuhnya yang juga ikut sakit. Kata dokter yang memeriksanya malam tadi, ia terkena typhoid atau biasa disebut tipus. 


Eza lari tergesa-gesa meninggalkan pekerjaan kantornya, meninggalkan berkas-berkas yang harusnya ia selesaikan siang itu juga. Mobilnya ditancap kencang, menerobos lalu lintas Jakarta yang sangat padat kendaraan setiap waktu. Kegelisahan itu lagi-lagi muncul, dan masih karena orang yang sama. Wanita yang sama. Yang sampai saat itu serasa mengikatnya erat-erat hingga tak bisa leluasa belajar mencintai wanita lain. Wanita lain yang harusnya akan segera dinikahinya. Pernikahan yang direncanakan oleh kedua orang tuanya.

“Dimana dia tante? Dia baik-baik saja?”
“Di kamarnya. Tante kasi tahu kamu karena dia tidak pernah makan selama dua hari. Kamarnya terus dikunci. Tante khawatir Eza..”
Eza berlari. Meniti anak tangga satu demi satu menuju ke lantai dua. Tepatnya menuju kamar Rasti.
“Rasti..,buka! Ini aku Eza!”
Rasti terperanjat dari lamunannya. Akhirnya pangerannya datang juga. Obat pemulih itu kini hanya dibatasi oleh pintu, ia hanya tinggal keluar dan menenggak energi yang dibawa pemulih itu untuk kembali jadi baik-baik saja.
“Rasti? Apa kau mendengarku? Kumohon bukalah!”

Rasti beranjak dari ranjangnya, menyingkap selimut yang sedari tadi menutupi kakinya. Menginjak lantai perlahan dan__oh tidak, sepertinya ada yang salah. Kakinya sungguh lemas tak bertenaga. Harusnya ini tidak terjadi jika ia mau memakan bubur buatan ibunya sejak kemarin. Ia tertatih-tatih menuju pintu kamar, mecoba membuka kunci dan mendorong pintu itu agar Eza-nya bisa masuk dengan leluasa. 

Pintu itu terbuka sempurna, ia melihat wajah Eza tepat di hadapannya. Tapi lama-lama makin buram, pijakannya pun terasa bergoyang dahsyat. Makin lama makin tak jelas, abu-abu dan___hitam.

Sudah empat jam sejak ia jatuh pingsan di pintu tadi. Hal pertama yang ia sadari adalah sebuah genggaman yang begitu hangat di tangan sebelah kirinya. Matanya menangkap sinar lampu yang bersinar terang di atasnya. Ia memilih berpura-pura tak juga sadarkan diri. Menikmati genggaman yang membuatnya merasa memiliki Eza seutuhnya dan tidak akan ada orang yang merebutnya. Eza membelai rambutnya perlahan. Kumohon jangan berhenti.., teruskan..aku tahu kau sangat mencintaiku Eza..

Eza terus memandangi wajah wanita yang terbaring lemah di hadapannya. Andai saja ia kuasa terhadap takdir, ia pasti akan selalu ada di samping wanita ini. Menjaganya hingga bisa memastikan wanita ini akan baik-baik saja, tak ada yang membuatnya sakit sedikitpun. Mendekapnya hingga tertidur pulas dimalam hari, dan menyuguhkan senyum semanis yang ia bisa dipagi hari saat wanita ini terbangun dari lelap tidurnya. Tapi ia tetap saja manusia biasa yang membiarkan skenario Tuhan berjalan seperti seharusnya. Andai saja Rasti menerima cintanya dan mengiyakan lamarannya setahun yang lalu, tentu tidak akan serumit ini. Hufff…ia menghembuskan nafasnya kencang. Jelas sekali ada beban berat di setiap desahan nafas itu. 

Ponsel di saku celananya berdering, itu panggilan masuk dari Yayu, wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya. Ada rasa enggan untuk meninggalkan Rasti-nya, tuan putrinya yang sedang terbujur lemah tak berdaya. Tapi ia terpaksa beranjak dari posisi duduknya dan melangkah agak menjauh dari Rasti.

“Ada apa Yu?”
“Kau lupa hari ini kita harus mecoba gaun pernikahan kita?”
“Ah..iya, tapi___”
“Datanglah di butik tempat kita memesan gaun itu. Aku menunggumu!”
Eza menelan ludahnya, lagi-lagi ada perang batin dalam dirinya. Memilih pergi menemui Yayu yang sudah terlanjur ada di butik itu atau__tetap menemani Rasti sampai ia bisa pastikan tuan putrinya baik-baik saja.
“Jangan pergi…” Rasti merajuk lemah dari ranjangnya.
“Rasti.., kau sudah sadar? Kau sangat kesakitan?”
“Tetaplah di sini, menemaniku__”
“Kau…”
“Kalau kau benar-benar peduli kau tidak akan pergi meninggalkanku”
“Tentu saja, aku akan tetap di sini.., menemanimu__”
“Eza.., kau akan menikah dan__”
“Kumohon jangan bahas masalah itu”
“Kau akan meninggalkanku bukan? Ah, tentu saja..wanita itu terlihat sangat cantik dan kurasa dia baik”
“Sudah kubilang jangan bahas masalah itu. Aku akan tetap ada di sisimu, jadi berhentilah berkata seolah-olah aku akan pergi jauh dan benar-benar meninggalkanmu!”
“Eza…”
“Ya? Kenapa? Kau kesakitan?”
“Aku bersalah padamu..”
“Kau tidak salah apa pun..”
“Aku membuatmu bingung.., aku bukan kekasihmu, harusnya aku tidak menahanmu, aku sama sekali bukan siapa-siapa!”
“Dari dulu sampai detik ini, kau adalah bagian dari diriku. Lebih dari kekasih..”
“Harusnya aku tidak melakukan kesalahan itu setahun yang lalu. Seharusnya aku sudah menikah denganmu dan semua tentunya akan lebih mudah dan tidak serumit ini!”
__________
“Eza.., aku tidak berhak menuntut apa-apa darimu…aku bukan kekasihmu”
“Tapi kau mencintaiku bukan?”
Rasti mengangguk sambil menyeka ujung matanya yang basah..
“Kalau begitu..sekarang aku bertanya sekali lagi padamu. Seperti setahun yang lalu, maukah kau jadi kekasihku dan menikah denganku?”
“Eza..”
“Anggaplah tidak ada penghalang apa-apa seperti setahun yang lalu.., kau harus menjawabnya!”
“Percuma saja, kalaupun aku berkata iya, semuanya tidak akan berubah.. pernikahanmu sudah beberapa minggu yang akan datang. Ibu mu pasti akan kecewa jika kau membatalkannya hanya demi aku yang sudah mengecewakannya setahun yang lalu…”
“Dengarkan aku__, aku mencintaimu Rasti! Andai saja aku punya daya yang dahsyat seperti Tuhan, maka sudah pasti aku akan mengatur takdir agar aku selalu ada di sampingmu.., tapi aku terlalu kecil, terlalu lemah untuk melawan kuasa Tuhan!”
Trilililit…………ponsel di saku celana Eza lagi-lagi berdering keras. Memecah keheningan ruangan itu.
“Ya mah…”
“Kau keterlaluan membiarkan Yayu melihat gaun pernikahan kalian sendiri!”
“Mah..Rasti sekarang sedang sakit dan aku tidak mungkin__”
“Rasti lagi ! Mama sudah tahu ini pasti gara-gara wanita itu lagi! Ke butik sekarang, di sana kan ada Ibunya yang mengurus! Yayu menunggumu!”
“Mah..aku___”
Telepon itu sudah keburu ditutup ibunya. Eza menatap Rasti lamat-lamat, untuk kesekian kalinya ia merasa terikat erat dan tak bisa jauh satu meter pun dari wanita itu. Lalu bagaimana ia harus pergi ? Ia yakin Rasti-nya benar-benar sangat membutuhkannya.
“Rasti, aku___”
“Pergilah.., itu ibu mu kan? Aku sudah merasa baikan”
“Maafkan aku…”
________
“Jaga dirimu baik-baik, jangan membuatku ketakutan seperti tadi! Kau tidak ingin aku kena serangan jantung bukan?” Eza tersenyum dan mengelus rambut Rasti dengan hikmat. “Minum obat dari dokter dan jangan terlalu berpikir yang berat-berat! Aku pergi dulu….”

Rasti memandangi punggung pangeran-nya hingga berlalu dan tak nampak lagi. Air mata itu seketika tumpah tak tertahankan. Seperti air yang ditahan mengalir oleh keran, tapi saat kerannya dibuka, air yang mengucur luar biasa deras. Ia meraih selimut dan meremasnya sekuat ia bisa. Betapa saat ini ia ingin berteriak kencang, menggunggat Tuhan yang membuat skenario kisahnya begitu tragis dan terlampau rumit.

Menggugat Tuhan? Kedengaran begitu membangkang, tapi sungguh itulah yang ia ingin lakukan sampai ia puas setelah Tuhan menjawab gugatannya. Kenapa ia tidak seperti wanita lain yang dengan mudahnya menikah dengan pangeran hatinya? Kenapa dia tidak berganti posisi dengan Yayu saja? walaupun Eza tidak mencintainya seperti Eza mencintai Rasti, tapi setidaknya ia sudah direstui oleh orang tua Eza dan sudah pasti akan menikah. Gugatan-gugatan itu sungguh melayang di angkasa, menyusuri ruang dan waktu menuju singgasana Tuhan. Jika manusia biasa bisa melihat malaikat, maka sudah pasti malaikat tidak tanggung-tanggung telah mencatat semua gugatan itu sebagai sebuah dosa. Menyesali takdir Tuhan sama saja menjadi makhluk pembangkang. Tuhan benci orang yang selalu berandai-andai. Itu sudah pasti. Tapi Rasti tidak berpikir waras lagi, akal sehatnya telah ditutupi oleh emosi yang membakar habis seluruh logikanya. Ia hanya ingin Eza ada untuknya saja…, bukan untuk wanita lain.

*****
Dua hari kemudian…
“Rasti…, Ibu Yayu meninggal”

Rasti berkali-kali melihat pesan yang abjadnya tersusun rapi di layar ponselnya. Ibu Yayu meninggal, berarti wanita itu tidak punya siapa-siapa lagi selain kakaknya satu-satunya. Ayahnya telah meninggal sejak ia kecil karena kecelakaan mobil. Itulah yang ia tahu tentang wanita itu…, cerita yang pernah ia dengar dari Eza-nya.

Setelah hari itu.., Eza tak lagi pernah menghubunginya. Panggilannya pun tak pernah digubris. Resah dan gelisah benar-benar menguasai jiwanya. Sama sekali tak bisa ia kontrol. Apa yang terjadi? Mungkinkah Eza tak lagi peduli padanya?

Sampai hari itu___
Sebuah pesan diterima,
“Rasti.., aku ingin bertemu denganmu. Kumohon datanglah…, di danau belakang kampus kita dulu. Aku yakin kau tidak akan melupakan tempat itu…”

Tak ada yang berubah dengan tempat itu.., pepohonan yang rindang di pinggirnya masih berdiri tegak untuk membuat tempat itu lebih sejuk. Daun-daun yang sudah kering berjatuhan satu per satu menerpa tubuh dua anak manusia yang tengah sibuk berkutat dengan perasaan hancurnya masing-masing. Terhanyut dengan kegusaran hati masing-masing. Suasana sore itu terasa pas sekali dengan suasana hati Eza dan Rasti yang sejak tadi hanya terdiam, menatap takzim ke arah danau. Air yang tenang tanpa pengganggu. Jika saja kisah mereka bisa setenang air di danau itu, maka sudah pasti akan lebih mudah mereka jalani.

“Hahaha…”, tawa hambar dari Rasti membuka percakapan mereka
“Kenapa kau tertawa?”
“Kau ingat waktu kau terjatuh bodoh ke dalam air itu?”
“Dan kau tampak tidak merasa kasihan saat itu!”
“Hahaha…tentu saja tidak, kau lebih terlihat lucu!”
“Baiklah, asal kau bisa tertawa selepas saat itu, jatuh berkali-kali ke dalam air itu pun tidak masalah!”
“Benarkah? Tapi aku sudah siap jika kau benar-benar pergi begitu saja dari hidupku. Aku tahu apa alasanmu mengajakku ke tempat ini…”
“Rasti___, aku tidak menyangka kita sudah sahabatan lebih dari tujuh tahun. Dan selama itu aku benar-benar menyukaimu, tidak peduli kau menanggapiku atau tidak. Tidak peduli kau berkali-kali jatuh cinta dengan laki-laki lain dan hanya menganggapku pendengar setiamu..aku tetap selalu menyukaimu !”
“Dan baru sekarang aku menyadari betapa bodohnya aku terus mencari orang yang bisa tulus mencintaiku, padahal nyatanya orang itu selalu ada di sampingku, selalu___sampai detik ini”
“Kau selalu menjadi cinta yang tidak pasti geraknya. Tidak pernah tetap bertahan di sampingku. Aku bahagia mencintaimu, hanya itu yang kutahu___”
“Aku minta maaf za’…”
“Selama tujuh tahun aku terus menuruti semua keinginanmu. Aku selalu setia menjadi penopangmu. Aku selalu bertahan di sampingmu… dan untuk kali ini saja Ras____”

Kalimat itu terpotong, Eza berbalik menatap Rasti dengan hikmat. Menyusuri lika-liku pikiran tuan putri-nya lewat mata bening itu. Sungguh, ia hanya ingin belajar lepas dari mata bening tuan putrinya yang indah itu. Betapa pun sulit. Betapa pun ia merasa lebih hancur dari siapa pun juga. Ia tetap harus melakukannya…

“Untuk kali ini saja Ras…, aku ingin kau belajar untuk tetap kuat walaupun aku tidak ada. Kali ini saja biarkan aku meniti pilihan hidupku sendiri. Untuk Kali ini saja kita berjalan sendiri-sendiri. Aku dengan hidupku dan kau dengan hidupmu…”
“Aku sudah tahu kau akan mengatakan itu hari ini, di tempat ini…”
“Ras…, Yayu butuh aku, kau pasti juga tahu keadaannya, dan kupikir aku harus melepaskan egoku sendiri…”
Rasti tersenyum dan meraih tangan Eza, “Lakukanlah…, aku sudah melepasmu…, sungguh!”

*****
Malam itu, bulan bersinar terang. Tampak agak kebiru-biruan. Sinarnya menerpa bumi hingga terlihat lebih terang dari malam-malam sebelumnya.  Tak ada sama sekali bintang yang menampakkan diri. Tentu saja…bulan sedang purnama, ia menjadi penguasa langit kali ini, tak butuh dayang-dayang seperti bintang, ia bisa menyinari dan memperindah langit dengan cahaya terangnya sendiri.

Rasti terduduk diam di taman belakang rumahnya, sambil belajar bernafas teratur lagi. Angin malam terasa membelainya lebih lembut dari biasanya. Terasa hikmat tapi tidak melankolik. Terasa mesra tapi tidak cengeng. Rasti menikmati ketenangan malam itu dengan senyum yang perlahan mengembang lepas di bibirnya. Menerima kenyataan ternyata tidak sesulit itu. Ia hanya butuh pelampiasan untuk menumpahkan seluruh kehancuran hatinya hingga bisa bernafas lega lagi seperti saat ini. Ia sudah menangis sejadi-jadinya selama berhari-hari. Ia sudah berteriak sekeras-kerasnya hingga seluruh isi bumi yang ada di sekitarnya terperanjat bukan main. Kini semuanya sudah lepas…, termasuk Eza-nya…, ia sudah membiarkan pangerannya berkelana menikmati hidup yang dulu tak pernah ia rasakan lantaran terus mengurung diri dirasa cinta pada dirinya.

Ia sudah belajar berdamai dengan masa lalu.., berjabat tangan dengan menggunakan keikhlasan menerima. Menerima skenario hidup yang telah disusun rapi oleh Tuhan tanpa perlu menggugat. Setidaknya ia masih hidup dan bisa melihat seisi dunia yang selalu setia dengan keindahannya.

Sementara Eza.., ia ingin belajar mencintai Yayu, belajar mencintai keadaan yang baru. Tersenyum lepas saat mengingat setiap kenangan indahnya bersama Rasti, tuan putrinya, sebagai memoar.

Suatu saat.., mungkin Tuhan akan mempertemukan mereka lagi, bukan untuk mencinta seperti waktu yang lalu. Tapi mempertemukan mereka sebagai individu-individu yang telah menemukan kebahagiaannya masing-masing. Sesuai dengan skenario Tuhan yang selalu menjadi rahasia besar bagi makhluknya. Mereka hanya tidak bejodoh saja…, memang benar kata orang bijak, tulang rusuk dan pemiliknya tidak akan pernah tertukar.

1 komentar:

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com