Ia memandangi ponsel yang tergeletak
di meja kerjanya. Lihatlah mata itu, pandangan itu. Tercermin sebuah rasa
gelisah yang menyelimuti sosok wanita yang berparas manis dengan rambut yang
digerai begitu saja. Wajah yang terlihat semakin kusut dari hari ke hari. Ia
lupa memakai bedak yang dulu selalu menempel dengan setia di wajahnya. Lipstik
yang harusnya membuat bibirnya selalu terlihat indah, sekarang justru tak
pernah tersentuh lagi, pucat. Sementara kantung mata itu, sama sekali tidak
membuatnya tampak baik-baik saja. Lesu. Kuyuh. Seperti telah kehilangan gairah
hidup.
Rasa inikah yang sebenarnya dikatakan
cinta? Merasa hancur ketika tahu seseorang yang kau harapkan telah jauh
meninggalkanmu. Merasa terluka. Entahlah bagaimana tepatnya, siapa yang dilukai
dan siapa yang melukai. Rasti ditinggalkan Eza setelah Eza merasa tak pernah
dipandang Rasti dengan cara yang lain. Walaupun sebenarnya Eza tidak pernah
benar-benar menghilang, ia tetap selalu ada untuk Rasti, selalu. Hanya saja
Rasti merasa Eza-nya telah direbut oleh wanita itu yang tiba-tiba muncul begitu
saja di hidup Eza.
Ponsel itu tak juga berdering, entah
itu sebuah telepon atau hanya sebuah sms. Ia mengharapkan perhatian dari Eza.
Ia benar-benar merasa sakit. Sakit yang disebabkan oleh Eza, dan hanya bisa
disembuhkan oleh Eza juga. Sakit hati. Entahlah..,kurasa sakit hati itu sudah
merembes ke sekujur tubuhnya yang juga ikut sakit. Kata dokter yang
memeriksanya malam tadi, ia terkena typhoid atau biasa disebut tipus.
Eza lari tergesa-gesa meninggalkan
pekerjaan kantornya, meninggalkan berkas-berkas yang harusnya ia selesaikan
siang itu juga. Mobilnya ditancap kencang, menerobos lalu lintas Jakarta yang
sangat padat kendaraan setiap waktu. Kegelisahan itu lagi-lagi muncul, dan
masih karena orang yang sama. Wanita yang sama. Yang sampai saat itu serasa
mengikatnya erat-erat hingga tak bisa leluasa belajar mencintai wanita lain.
Wanita lain yang harusnya akan segera dinikahinya. Pernikahan yang direncanakan
oleh kedua orang tuanya.
“Dimana dia tante? Dia baik-baik
saja?”
“Di kamarnya. Tante kasi tahu kamu
karena dia tidak pernah makan selama dua hari. Kamarnya terus dikunci. Tante
khawatir Eza..”
Eza berlari. Meniti anak tangga satu
demi satu menuju ke lantai dua. Tepatnya menuju kamar Rasti.
“Rasti..,buka! Ini aku Eza!”
Rasti terperanjat dari lamunannya.
Akhirnya pangerannya datang juga. Obat pemulih itu kini hanya dibatasi oleh
pintu, ia hanya tinggal keluar dan menenggak energi yang dibawa pemulih itu
untuk kembali jadi baik-baik saja.
“Rasti? Apa kau mendengarku? Kumohon
bukalah!”
Rasti beranjak dari ranjangnya,
menyingkap selimut yang sedari tadi menutupi kakinya. Menginjak lantai perlahan
dan__oh tidak, sepertinya ada yang salah. Kakinya sungguh lemas tak bertenaga.
Harusnya ini tidak terjadi jika ia mau memakan bubur buatan ibunya sejak
kemarin. Ia tertatih-tatih menuju pintu kamar, mecoba membuka kunci dan
mendorong pintu itu agar Eza-nya bisa masuk dengan leluasa.
Pintu itu terbuka sempurna, ia
melihat wajah Eza tepat di hadapannya. Tapi lama-lama makin buram, pijakannya
pun terasa bergoyang dahsyat. Makin lama makin tak jelas, abu-abu dan___hitam.
Sudah empat jam sejak ia jatuh
pingsan di pintu tadi. Hal pertama yang ia sadari adalah sebuah genggaman yang
begitu hangat di tangan sebelah kirinya. Matanya menangkap sinar lampu yang
bersinar terang di atasnya. Ia memilih berpura-pura tak juga sadarkan diri.
Menikmati genggaman yang membuatnya merasa memiliki Eza seutuhnya dan tidak
akan ada orang yang merebutnya. Eza membelai rambutnya perlahan. Kumohon jangan berhenti.., teruskan..aku
tahu kau sangat mencintaiku Eza..
Eza terus memandangi wajah wanita
yang terbaring lemah di hadapannya. Andai saja ia kuasa terhadap takdir, ia
pasti akan selalu ada di samping wanita ini. Menjaganya hingga bisa memastikan
wanita ini akan baik-baik saja, tak ada yang membuatnya sakit sedikitpun.
Mendekapnya hingga tertidur pulas dimalam hari, dan menyuguhkan senyum semanis
yang ia bisa dipagi hari saat wanita ini terbangun dari lelap tidurnya. Tapi ia
tetap saja manusia biasa yang membiarkan skenario Tuhan berjalan seperti
seharusnya. Andai saja Rasti menerima cintanya dan mengiyakan lamarannya
setahun yang lalu, tentu tidak akan serumit ini. Hufff…ia menghembuskan
nafasnya kencang. Jelas sekali ada beban berat di setiap desahan nafas itu.
Ponsel di saku celananya berdering,
itu panggilan masuk dari Yayu, wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya. Ada
rasa enggan untuk meninggalkan Rasti-nya, tuan putrinya yang sedang terbujur
lemah tak berdaya. Tapi ia terpaksa beranjak dari posisi duduknya dan melangkah
agak menjauh dari Rasti.
“Ada
apa Yu?”
“Kau
lupa hari ini kita harus mecoba gaun pernikahan kita?”
“Ah..iya,
tapi___”
“Datanglah
di butik tempat kita memesan gaun itu. Aku menunggumu!”
Eza
menelan ludahnya, lagi-lagi ada perang batin dalam dirinya. Memilih pergi
menemui Yayu yang sudah terlanjur ada di butik itu atau__tetap menemani Rasti
sampai ia bisa pastikan tuan putrinya baik-baik saja.
“Jangan
pergi…” Rasti merajuk lemah dari ranjangnya.
“Rasti..,
kau sudah sadar? Kau sangat kesakitan?”
“Tetaplah
di sini, menemaniku__”
“Kau…”
“Kalau
kau benar-benar peduli kau tidak akan pergi meninggalkanku”
“Tentu
saja, aku akan tetap di sini.., menemanimu__”
“Eza..,
kau akan menikah dan__”
“Kumohon
jangan bahas masalah itu”
“Kau
akan meninggalkanku bukan? Ah, tentu saja..wanita itu terlihat sangat cantik
dan kurasa dia baik”
“Sudah
kubilang jangan bahas masalah itu. Aku akan tetap ada di sisimu, jadi
berhentilah berkata seolah-olah aku akan pergi jauh dan benar-benar
meninggalkanmu!”
“Eza…”
“Ya?
Kenapa? Kau kesakitan?”
“Aku
bersalah padamu..”
“Kau
tidak salah apa pun..”
“Aku
membuatmu bingung.., aku bukan kekasihmu, harusnya aku tidak menahanmu, aku
sama sekali bukan siapa-siapa!”
“Dari
dulu sampai detik ini, kau adalah bagian dari diriku. Lebih dari kekasih..”
“Harusnya
aku tidak melakukan kesalahan itu setahun yang lalu. Seharusnya aku sudah
menikah denganmu dan semua tentunya akan lebih mudah dan tidak serumit ini!”
__________
“Eza..,
aku tidak berhak menuntut apa-apa darimu…aku bukan kekasihmu”
“Tapi
kau mencintaiku bukan?”
Rasti
mengangguk sambil menyeka ujung matanya yang basah..
“Kalau
begitu..sekarang aku bertanya sekali lagi padamu. Seperti setahun yang lalu,
maukah kau jadi kekasihku dan menikah denganku?”
“Eza..”
“Anggaplah
tidak ada penghalang apa-apa seperti setahun yang lalu.., kau harus
menjawabnya!”
“Percuma
saja, kalaupun aku berkata iya, semuanya tidak akan berubah.. pernikahanmu
sudah beberapa minggu yang akan datang. Ibu mu pasti akan kecewa jika kau
membatalkannya hanya demi aku yang sudah mengecewakannya setahun yang lalu…”
“Dengarkan
aku__, aku mencintaimu Rasti! Andai saja aku punya daya yang dahsyat seperti
Tuhan, maka sudah pasti aku akan mengatur takdir agar aku selalu ada di
sampingmu.., tapi aku terlalu kecil, terlalu lemah untuk melawan kuasa Tuhan!”
Trilililit…………ponsel
di saku celana Eza lagi-lagi berdering keras. Memecah keheningan ruangan itu.
“Ya
mah…”
“Kau
keterlaluan membiarkan Yayu melihat gaun pernikahan kalian sendiri!”
“Mah..Rasti
sekarang sedang sakit dan aku tidak mungkin__”
“Rasti
lagi ! Mama sudah tahu ini pasti gara-gara wanita itu lagi! Ke butik sekarang,
di sana kan ada Ibunya yang mengurus! Yayu menunggumu!”
“Mah..aku___”
Telepon
itu sudah keburu ditutup ibunya. Eza menatap Rasti lamat-lamat, untuk kesekian
kalinya ia merasa terikat erat dan tak bisa jauh satu meter pun dari wanita
itu. Lalu bagaimana ia harus pergi ? Ia yakin Rasti-nya benar-benar sangat
membutuhkannya.
“Rasti,
aku___”
“Pergilah..,
itu ibu mu kan? Aku sudah merasa baikan”
“Maafkan
aku…”
________
“Jaga
dirimu baik-baik, jangan membuatku ketakutan seperti tadi! Kau tidak ingin aku
kena serangan jantung bukan?” Eza tersenyum dan mengelus rambut Rasti dengan
hikmat. “Minum obat dari dokter dan jangan terlalu berpikir yang berat-berat!
Aku pergi dulu….”
Rasti
memandangi punggung pangeran-nya hingga berlalu dan tak nampak lagi. Air mata
itu seketika tumpah tak tertahankan. Seperti air yang ditahan mengalir oleh
keran, tapi saat kerannya dibuka, air yang mengucur luar biasa deras. Ia meraih
selimut dan meremasnya sekuat ia bisa. Betapa saat ini ia ingin berteriak
kencang, menggunggat Tuhan yang membuat skenario kisahnya begitu tragis dan
terlampau rumit.
Menggugat
Tuhan? Kedengaran begitu membangkang, tapi sungguh itulah yang ia ingin lakukan
sampai ia puas setelah Tuhan menjawab gugatannya. Kenapa ia tidak seperti
wanita lain yang dengan mudahnya menikah dengan pangeran hatinya? Kenapa dia
tidak berganti posisi dengan Yayu saja? walaupun Eza tidak mencintainya seperti
Eza mencintai Rasti, tapi setidaknya ia sudah direstui oleh orang tua Eza dan
sudah pasti akan menikah. Gugatan-gugatan itu sungguh melayang di angkasa,
menyusuri ruang dan waktu menuju singgasana Tuhan. Jika manusia biasa bisa melihat
malaikat, maka sudah pasti malaikat tidak tanggung-tanggung telah mencatat
semua gugatan itu sebagai sebuah dosa. Menyesali takdir Tuhan sama saja menjadi
makhluk pembangkang. Tuhan benci orang yang selalu berandai-andai. Itu sudah
pasti. Tapi Rasti tidak berpikir waras lagi, akal sehatnya telah ditutupi oleh
emosi yang membakar habis seluruh logikanya. Ia hanya ingin Eza ada untuknya
saja…, bukan untuk wanita lain.
*****
Dua
hari kemudian…
“Rasti…,
Ibu Yayu meninggal”
Rasti
berkali-kali melihat pesan yang abjadnya tersusun rapi di layar ponselnya. Ibu
Yayu meninggal, berarti wanita itu tidak punya siapa-siapa lagi selain kakaknya
satu-satunya. Ayahnya telah meninggal sejak ia kecil karena kecelakaan mobil.
Itulah yang ia tahu tentang wanita itu…, cerita yang pernah ia dengar dari
Eza-nya.
Setelah
hari itu.., Eza tak lagi pernah menghubunginya. Panggilannya pun tak pernah
digubris. Resah dan gelisah benar-benar menguasai jiwanya. Sama sekali tak bisa
ia kontrol. Apa yang terjadi? Mungkinkah Eza tak lagi peduli padanya?
Sampai
hari itu___
Sebuah
pesan diterima,
“Rasti..,
aku ingin bertemu denganmu. Kumohon datanglah…, di danau belakang kampus kita
dulu. Aku yakin kau tidak akan melupakan tempat itu…”
Tak
ada yang berubah dengan tempat itu.., pepohonan yang rindang di pinggirnya
masih berdiri tegak untuk membuat tempat itu lebih sejuk. Daun-daun yang sudah
kering berjatuhan satu per satu menerpa tubuh dua anak manusia yang tengah
sibuk berkutat dengan perasaan hancurnya masing-masing. Terhanyut dengan
kegusaran hati masing-masing. Suasana sore itu terasa pas sekali dengan suasana
hati Eza dan Rasti yang sejak tadi hanya terdiam, menatap takzim ke arah danau.
Air yang tenang tanpa pengganggu. Jika saja kisah mereka bisa setenang air di
danau itu, maka sudah pasti akan lebih mudah mereka jalani.
“Hahaha…”,
tawa hambar dari Rasti membuka percakapan mereka
“Kenapa
kau tertawa?”
“Kau
ingat waktu kau terjatuh bodoh ke dalam air itu?”
“Dan
kau tampak tidak merasa kasihan saat itu!”
“Hahaha…tentu
saja tidak, kau lebih terlihat lucu!”
“Baiklah,
asal kau bisa tertawa selepas saat itu, jatuh berkali-kali ke dalam air itu pun
tidak masalah!”
“Benarkah?
Tapi aku sudah siap jika kau benar-benar pergi begitu saja dari hidupku. Aku
tahu apa alasanmu mengajakku ke tempat ini…”
“Rasti___,
aku tidak menyangka kita sudah sahabatan lebih dari tujuh tahun. Dan selama itu
aku benar-benar menyukaimu, tidak peduli kau menanggapiku atau tidak. Tidak
peduli kau berkali-kali jatuh cinta dengan laki-laki lain dan hanya menganggapku
pendengar setiamu..aku tetap selalu menyukaimu !”
“Dan
baru sekarang aku menyadari betapa bodohnya aku terus mencari orang yang bisa
tulus mencintaiku, padahal nyatanya orang itu selalu ada di sampingku,
selalu___sampai detik ini”
“Kau
selalu menjadi cinta yang tidak pasti geraknya. Tidak pernah tetap bertahan di
sampingku. Aku bahagia mencintaimu, hanya itu yang kutahu___”
“Aku
minta maaf za’…”
“Selama
tujuh tahun aku terus menuruti semua keinginanmu. Aku selalu setia menjadi
penopangmu. Aku selalu bertahan di sampingmu… dan untuk kali ini saja Ras____”
Kalimat
itu terpotong, Eza berbalik menatap Rasti dengan hikmat. Menyusuri lika-liku
pikiran tuan putri-nya lewat mata bening itu. Sungguh, ia hanya ingin belajar
lepas dari mata bening tuan putrinya yang indah itu. Betapa pun sulit. Betapa
pun ia merasa lebih hancur dari siapa pun juga. Ia tetap harus melakukannya…
“Untuk
kali ini saja Ras…, aku ingin kau belajar untuk tetap kuat walaupun aku tidak
ada. Kali ini saja biarkan aku meniti pilihan hidupku sendiri. Untuk Kali ini
saja kita berjalan sendiri-sendiri. Aku dengan hidupku dan kau dengan hidupmu…”
“Aku
sudah tahu kau akan mengatakan itu hari ini, di tempat ini…”
“Ras…,
Yayu butuh aku, kau pasti juga tahu keadaannya, dan kupikir aku harus melepaskan
egoku sendiri…”
Rasti
tersenyum dan meraih tangan Eza, “Lakukanlah…, aku sudah melepasmu…, sungguh!”
*****
Malam
itu, bulan bersinar terang. Tampak agak kebiru-biruan. Sinarnya menerpa bumi
hingga terlihat lebih terang dari malam-malam sebelumnya. Tak ada sama sekali bintang yang menampakkan
diri. Tentu saja…bulan sedang purnama, ia menjadi penguasa langit kali ini, tak
butuh dayang-dayang seperti bintang, ia bisa menyinari dan memperindah langit
dengan cahaya terangnya sendiri.
Rasti
terduduk diam di taman belakang rumahnya, sambil belajar bernafas teratur lagi.
Angin malam terasa membelainya lebih lembut dari biasanya. Terasa hikmat tapi
tidak melankolik. Terasa mesra tapi tidak cengeng. Rasti menikmati ketenangan
malam itu dengan senyum yang perlahan mengembang lepas di bibirnya. Menerima
kenyataan ternyata tidak sesulit itu. Ia hanya butuh pelampiasan untuk
menumpahkan seluruh kehancuran hatinya hingga bisa bernafas lega lagi seperti
saat ini. Ia sudah menangis sejadi-jadinya selama berhari-hari. Ia sudah
berteriak sekeras-kerasnya hingga seluruh isi bumi yang ada di sekitarnya
terperanjat bukan main. Kini semuanya sudah lepas…, termasuk Eza-nya…, ia sudah
membiarkan pangerannya berkelana menikmati hidup yang dulu tak pernah ia
rasakan lantaran terus mengurung diri dirasa cinta pada dirinya.
Ia
sudah belajar berdamai dengan masa lalu.., berjabat tangan dengan menggunakan
keikhlasan menerima. Menerima skenario hidup yang telah disusun rapi oleh Tuhan
tanpa perlu menggugat. Setidaknya ia masih hidup dan bisa melihat seisi dunia
yang selalu setia dengan keindahannya.
Sementara
Eza.., ia ingin belajar mencintai Yayu, belajar mencintai keadaan yang baru.
Tersenyum lepas saat mengingat setiap kenangan indahnya bersama Rasti, tuan
putrinya, sebagai memoar.
Suatu
saat.., mungkin Tuhan akan mempertemukan mereka lagi, bukan untuk mencinta
seperti waktu yang lalu. Tapi mempertemukan mereka sebagai individu-individu
yang telah menemukan kebahagiaannya masing-masing. Sesuai dengan skenario Tuhan
yang selalu menjadi rahasia besar bagi makhluknya. Mereka hanya tidak bejodoh
saja…, memang benar kata orang bijak, tulang rusuk dan pemiliknya tidak akan
pernah tertukar.
minal aidzin wal faidzin yah gan :)
BalasHapus