Kamis, 26 April 2012

Impian Runa

Sudah terhitung enam bulan sejak Runa memilih hidup mandiri di sebuah kamar kecil dengan ukuran 4x5 meter di sudut kota Makassar. Sebuah kos yang sempit dan selalu mengharuskannya rela menimba air keluar dari kamarnya bila musim hujan tiba. Atau harus pasrah menikmati panasnya kota Makassar bila musim kemarau datang lantaran dinding kamar yang seluruhnya berbahan seng. Runa bukanlah seorang miskin jika dilihat dari silsilah keluarganya. Ayahnya seorang guru, begitu pula dengan Ibunya. Kakaknya adalah seorang dosen di salah satu universitas ternama di kota ini. Tapi tepat enam bulan yang lalu, ia sudah terlanjur berikrar di depan orangtua, kakak, dan dirinya sendiri untuk tidak menyerah dan buktikan pada semua yang menentang impiannya bahwa tidak ada yang salah dengan sastra dan membuktikan pada semuanya bahwa hidup bisa tetap lanjut walaupun bukan di bidang keguruan atau kesehatan.
 “Kau lucu sekali, apa kau pikir sudah hebat hidup sendiri seperti ini?” Sinta, kakak Runa, mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya lantaran panas di dalam kamar kos Runa yang tidak tertolong lagi.
“Aku menikmati semuanya, jadi tidak perlu simpati padaku”, balas Runa sinis sambil membersihkan kompor minyak tanah yang sudah berkarat dan kelihatan sudah tidak layak pakai.
“Apa yang kau lakukan dengan kompor itu? Apa kau memungutnya dipembuangan sampah dekat sini?”
“Tidak, ini dikasi sama ibu kos. Lumayan, bisa dipake masak mie instan”
“Lucu sekali! Kau punya rumah, kau punya keluarga yang sama sekali tidak miskin, tapi kau terlihat menyedihkan sekali di sini” Sinta menjelajahkan matanya, seperti menelanjangi seluruh sudut kamar itu dengan tatapan enggan.
“Tapi keluargaku miskin gagasan!”
“Maksudmu? Kau yang terlalu egois. Kau tidak akan pernah jadi penulis hebat kalau kau masih mempertahankan watak keras kepalamu itu”
“Kakak lapar?” sergah Runa bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Sama sekali tidak”
“Baguslah, aku memang cuma punya satu mie instan dan harus kubagi dua untuk makan malam sebentar, kalau kubagi dua buat kakak, berarti sebentar malam aku tidak bisa makan. Hahahaha….”
“Berhenti tertawa, garing! Kau terlalu memaksa dirimu tertawa”
Runa menelan ludahnya dan menunduk, aku memang sudah tidak bisa tertawa dari hati lagi.
“Ibu merindukanmu, dia sakit-sakitan sejak kau putuskan untuk pergi dari rumah”
“Aku tau, tapi aku tidak akan pernah jadi pecundang yang lari di tengah pertempuran. Aku sudah terlanjur ada di tengah perjalanan, aku tidak mungkin kembali ke titik awal sementara aku tau di depan sana akan ada tempat yang bisa dipijaki mimpi-mimpiku. Beri tau itu pada ibu, aku pasti akan pulang, tapi itu setelah ada novelku yang berhasil terbit”
“Terserah kau sajalah. Tapi dengarkan ini baik-baik, kau itu bodoh, kau sudah kuliah sampai semester 4 di jurusan kependidikan yang lebih menjamin masa depanmu tapi kau malah lebih memilih keluar dan kuliah di jurusan sastra yang sama sekali tidak dijamin ke depannya, kau bisa jadi apa? Penulis?”
“Mungkin”
“Ah, sudahlah, percuma saja berdebat dengan orang keras kepala. Aku pulang saja, semoga yang kau sebut impian itu bisa benar-benar kau capai!” Sinta berdiri dari posisi duduknya, menyerempet tas sampingnya dan segera beranjak keluar.
“Terimakasih atas do’anya kak, saya akan buktikan nanti!” sergah Runa cepat sambil memandangi punggung kakaknya yang tinggi kurus itu berlalu meninggalkannya. Runa sendiri lagi, ditemani buku-buku sastra, sebuah meja yang mulai rapuh, kompor yang sudah berkarat, dan sebuah kasur mungil.
*****
            Perlombaan penulis khatulistiwa terbaik tahun 2012 adalah pintu yang terbuka lebar bagi Runa. Perlombaan ini memang diikuti oleh seluruh penulis novel di Indonesia, tapi itu tidak membuat semangatnya surut. Ia masih tetap dengan tekadnya untuk membuktikan pada orang tua nya bahwa langkahnya tidak salah. Ia menulis seperti orang kesetanan setiap harinya di laptop pemberian kakaknya yang walaupn sebenarnya ia enggan menerimanya, ia harus cukup menelan ludah dan pasrah menerimanya sebab tanpa laptop, ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya sesegera mungkin.
            Sudah bulan ke tiga ia menulis untuk pembuatan sebuah novel, akhirnya rampung, tinggal dikirim lewat pos,batinnya.
*****
Power ranger putih…, ada monster yang sedang menuju kos mu sekarang, ayo cepat keluar dan bergegas ke markas, kita mesti menyusun rencana untuk menjebaknya
Runa tersenyum membaca pesan yang baru saja masuk di inbox handphonenya  itu. Pesan dari Deri, orang yang jadi satu-satunya alasan bagi Runa untuk tertawa lepas.
Power ranger merah, tunggu saja di sana, power ranger putih segera meluncur
            Runa bergegas ke taman belakang kampus nya yang terdahulu, tempat yang sering disebutnya dan Deri markas.
 “Mana novel yang kau tulis belakangan ini dan membuatmu melupakan temanmu yang keren ini?”  goda Deris dengan menyenggol siku Runa.
“Emmm….kau mau melihatnya?”
“Tentu saja, aku mau jadi pembaca pertama”
Runa membuka ranselnya dan mengeluarkan kumpulkan kertas yang dijilid jadi satu, “Ini dia!”
Deris berencana merebutnya dari tangan Runa tapi segera dimasukkan kembali ke dalam tasnya, “Siapapun tidak boleh membacanya sebelum ada pengumuman dari pusat, hhehhe”
“Pelit kamu…, sesama power ranger harus saling terbuka, tdk boleh ada yang disembunyikan”
“Sesama power ranger harus saling membantu, itu yang benar ! Sekarang kau harus membantuku mengantarkan naskahku ini ke pos!”
“Ranger merah siap membantu ranger putih!”
Semburat ceria yang terpancar dari wajah gadis bertubuh kurus itu seperti membuat suasana di bawah pohon rimbun itu menjadi serasa lengkap. Hembusan angin yang sejuk sebagai hasil dari fotosintesis pohon-pohon di tempat itu seakan memberi isyarat untuk memberi tahu pada mereka kalau Tuhan selalu melimpahkan kasih sayang pada umatnya dalam bentuk yang kadang tidak pernah terpikirkan. Setelah Runa memutuskan untuk pergi terpaksa hidup seorang diri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, Tuhan masih selalu membiarkannya tertawa lepas. Terimakasih Tuhan…
*****
Sudah tiga bulan sejak Runa mengirimkan naskah novelnya dan tepat dibulan ini lah ia akan tahu apakah naskah yang dibuatnya selama berbulan-bulan dan menguras tenaganya berhasil mendapatkan juara, paling tidak untuk diterbitkan ia butuh gelar sebagai juara ketiga.
Runa tergopoh-gopoh menggendong ransel menuju kos sepulang kuliah, di tangannya tergenggam sebuah majalah yang digulung hingga pas di genggamannya. Tak perlu beristirahat lama, ia meneguk segelas air mineral dan mulai membuka-buka lembaran majalah. Rasa was-was bercampur penasaran berpadu menjadi satu di benaknya. Dan akhirnya tangan mungilnya terhenti di lembaran ke dua puluh dua, PENGUMUMAN HASIL LOMBA PENULIS KHATULISTIWA 2011. Nafasnya dihembuskan pelan dan mulai berkonsentrasi menatap halaman itu. Runa Riu Sebagai Runner Up Dengan Novel “Di depanmu Aku Jadi Dwi”. Sontak ia kaget setengah mati, tidak salah lagi, itu memang nama pena yang dimasukkannya di perlombaan  dan judul novel itu menambah jelas semuanya bahwa memang benar dirinyalah yang dimaksud sebagai runner up. Tidak penting ia hanya harus puas menduduki posisi ke dua, yang dia tahu…novelnya akan terbit dan akan membuktikan usahanya pada Ibu dan juga Ayahnya.
“Ranger merah, novelku berhasil jadi runner up, aku senang sekali”, pesan singkat yang ditujukannya untuk Deri. Tidak butuh menunggu lama, balasannya pun segera sampai di inbox handphone nya, “Aku tahu, kamu pasti bisa”
*****
            Setelah menunggu berbulan-bulan, novelnya pun diterbitkan. Di sampulnya bagian atas jelas sekali tertulis Runner Up Lomba Penulis Khatulistiwa 2011”. Di toko buku seluruh Indonesia sekarang telah berjejer novel dengan nama pengarang “Runa Riu”. Runa seperti hidup di alam mimpinya yang indah, selain karena royalty penjualan bukunya yang cukup besar, ia pun sudah bisa benar-benar membuktikan pada orang tuanya kalau impian yang selama ini dirangkainya sama sekali bukan main-main.
            Runa melangkah masuk ke dalam rumah yang dulu menjadi tempat bersuanya bersama Ayah, Ibu, dan kakaknya. Tidak ada yang berbeda setelah satu tahun lebih ditinggalkannya, patung favorit ibu nya masih berdiri kokoh di sudut ruang tamu, asbak yang sejak dulu selalu ada di atas meja masih sama seperti dulu, dipenuhi sisa-sisa rokok yang telah dihisap Ayahnya. Pelan ia menekan kenop pintu kamarnya, terhenyak, ia tidak bisa berkata apa-apa, jantungnya seperti berhenti berdetak. Kamar yang dulu bercat biru telah berubah menjadi warna merah jambu dan bintang-bintang hiasan yang dulunya melekat di plafon kamarnya sudah lenyap tidak bersisa. Tidak terasa air mata turun setetes demi setetes hingga membuat pipinya serasa basah dan lembab.
Kurasa aku memang sudah terlupakan…
“Runa !!! Benarkah itu kamu nak?”
Suara ibu nya yang terdengar tidak seceria dulu membuyarkan pikirannya yang sudah melayang entah kemana. Sebuah pelukan hangat membuatnya semakin membuatnya serasa lemah dan tidak berdaya. Suasana saat itu benar-benar hening, hanya ada detakan jarum jam yang tiba-tiba terdengar nyaring. Tidak ada yang bicara, Ibu dan anak itu hanya terus saling menikmati dekapan yang telah lama tidak mereka rasakan hingga Ayah datang dan mengagetkan keduanya.
“Kukira kau sudah tidak akan kembali lagi, apalagi sekarang kau punya banyak uang bukan?”
“Ayah.., aku minta maaf, aku hanya ingin buktikan kalau impianku punya arti dan jalannya”
“Tapi___”
“Sudahlah Ayah, satu tahun aku merindukan Runa dan saatnya dia kembali ke rumah ini”, potong Ibu Runa yang masih sesekali sesenggukan.
Sebuah pelukan tak terduga dari Ayahnya membuatnya terkejut sesaat, lalu ia menikmatinya dengan bersandar di dada laki-laki yang sudah lumayan tua itu.
“Kupikir Ayah___”
“Jujur Ayah hampir mau melupakanmu, tapi setelah kau benar-benar bisa membuktikan dan menunjukkan hasil dari kegigihanmu yang dulu Ayah tidak setujui, Ayah merasa tidak ada alasan lagi untuk tidak membiarkanmu tetap di sini”.
“Tapi kamarku___”
“Kamarmu di ubah sama Sinta, sekarang dia tidurnya di sana, kamu tidur di kamarnya yang dulu saja yah..”, bujuk Ibunya.
“Kak Sinta Selalu begitu, tapi biarlah, sudah resiko lah buat aku”
*****
            Deri merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang dibalut seprei bergambar lambang Barcelona sambil membuka novel Runa yang sudah tiga hari ia baca. Kali ini ia hampir sampai di halaman terakhir. Matanya hanya sesekali berkedip menikmati bagian terakhir novel gadis yang telah dikenalnya selama dua tahun terakhir itu sampai akhirnya selesai juga. Cerita yang menghanyutkan, dia memang berbakat.., gumamnya dalam hati.
Masih tersisa satu lembar lagi di belakang, ia membaliknya dan di sana jelas tertulis namanya.
.
Selain kupersembahkan untuk ke dua orang tua ku..novel ini juga special untuk seseorang yang tak habis-habis menyemangatiku setiap harinya. Orang yang selalu bilang kalau aku pasti bisa. Aku mencintainya…”DERI”

“Bodoh sekali, kenapa aku tidak menyadari selama ini kalau dia juga ternyata punya perasaan yang sama padaku?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com