Sudah terhitung enam bulan sejak Runa
memilih hidup mandiri di sebuah kamar kecil dengan ukuran 4x5 meter di sudut
kota Makassar. Sebuah kos yang sempit dan selalu mengharuskannya rela menimba
air keluar dari kamarnya bila musim hujan tiba. Atau harus pasrah menikmati
panasnya kota Makassar bila musim kemarau datang lantaran dinding kamar yang
seluruhnya berbahan seng. Runa bukanlah seorang miskin jika dilihat dari
silsilah keluarganya. Ayahnya seorang guru, begitu pula dengan Ibunya. Kakaknya
adalah seorang dosen di salah satu universitas ternama di kota ini. Tapi tepat
enam bulan yang lalu, ia sudah terlanjur berikrar di depan orangtua, kakak, dan
dirinya sendiri untuk tidak menyerah dan buktikan pada semua yang menentang
impiannya bahwa tidak ada yang salah dengan sastra dan membuktikan pada
semuanya bahwa hidup bisa tetap lanjut walaupun bukan di bidang keguruan atau
kesehatan.
“Kau lucu sekali, apa kau pikir sudah hebat
hidup sendiri seperti ini?” Sinta, kakak Runa, mengibas-ngibaskan tangan di
depan wajahnya lantaran panas di dalam kamar kos Runa yang tidak tertolong
lagi.
“Aku
menikmati semuanya, jadi tidak perlu simpati padaku”, balas Runa sinis sambil
membersihkan kompor minyak tanah yang sudah berkarat dan kelihatan sudah tidak
layak pakai.
“Apa
yang kau lakukan dengan kompor itu? Apa kau memungutnya dipembuangan sampah
dekat sini?”
“Tidak,
ini dikasi sama ibu kos. Lumayan, bisa dipake masak mie instan”
“Lucu
sekali! Kau punya rumah, kau punya keluarga yang sama sekali tidak miskin, tapi
kau terlihat menyedihkan sekali di sini” Sinta menjelajahkan matanya, seperti
menelanjangi seluruh sudut kamar itu dengan tatapan enggan.
“Tapi
keluargaku miskin gagasan!”
“Maksudmu?
Kau yang terlalu egois. Kau tidak akan pernah jadi penulis hebat kalau kau
masih mempertahankan watak keras kepalamu itu”
“Kakak
lapar?” sergah Runa bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Sama
sekali tidak”
“Baguslah,
aku memang cuma punya satu mie instan dan harus kubagi dua untuk makan malam
sebentar, kalau kubagi dua buat kakak, berarti sebentar malam aku tidak bisa
makan. Hahahaha….”
“Berhenti
tertawa, garing! Kau terlalu memaksa dirimu tertawa”
Runa
menelan ludahnya dan menunduk, aku memang
sudah tidak bisa tertawa dari hati lagi.
“Ibu
merindukanmu, dia sakit-sakitan sejak kau putuskan untuk pergi dari rumah”
“Aku
tau, tapi aku tidak akan pernah jadi pecundang yang lari di tengah pertempuran.
Aku sudah terlanjur ada di tengah perjalanan, aku tidak mungkin kembali ke
titik awal sementara aku tau di depan sana akan ada tempat yang bisa dipijaki
mimpi-mimpiku. Beri tau itu pada ibu, aku pasti akan pulang, tapi itu setelah
ada novelku yang berhasil terbit”
“Terserah
kau sajalah. Tapi dengarkan ini baik-baik, kau itu bodoh, kau sudah kuliah
sampai semester 4 di jurusan kependidikan yang lebih menjamin masa depanmu tapi
kau malah lebih memilih keluar dan kuliah di jurusan sastra yang sama sekali
tidak dijamin ke depannya, kau bisa jadi apa? Penulis?”
“Mungkin”
“Ah,
sudahlah, percuma saja berdebat dengan orang keras kepala. Aku pulang saja,
semoga yang kau sebut impian itu bisa benar-benar kau capai!” Sinta berdiri
dari posisi duduknya, menyerempet tas sampingnya dan segera beranjak keluar.
“Terimakasih
atas do’anya kak, saya akan buktikan nanti!” sergah Runa cepat sambil
memandangi punggung kakaknya yang tinggi kurus itu berlalu meninggalkannya.
Runa sendiri lagi, ditemani buku-buku sastra, sebuah meja yang mulai rapuh,
kompor yang sudah berkarat, dan sebuah kasur mungil.
*****
Perlombaan penulis khatulistiwa
terbaik tahun 2012 adalah pintu yang terbuka lebar bagi Runa. Perlombaan ini
memang diikuti oleh seluruh penulis novel di Indonesia, tapi itu tidak membuat
semangatnya surut. Ia masih tetap dengan tekadnya untuk membuktikan pada orang
tua nya bahwa langkahnya tidak salah. Ia menulis seperti orang kesetanan setiap
harinya di laptop pemberian kakaknya yang walaupn sebenarnya ia enggan
menerimanya, ia harus cukup menelan ludah dan pasrah menerimanya sebab tanpa
laptop, ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan-tulisannya sesegera
mungkin.
Sudah bulan ke tiga ia menulis untuk
pembuatan sebuah novel, akhirnya rampung,
tinggal dikirim lewat pos,batinnya.
*****
“
Power ranger putih…, ada monster yang
sedang menuju kos mu sekarang, ayo cepat keluar dan bergegas ke markas, kita
mesti menyusun rencana untuk menjebaknya”
Runa
tersenyum membaca pesan yang baru saja masuk di inbox handphonenya itu. Pesan dari Deri, orang yang jadi
satu-satunya alasan bagi Runa untuk tertawa lepas.
“Power ranger merah, tunggu saja di sana,
power ranger putih segera meluncur”
Runa bergegas ke taman belakang
kampus nya yang terdahulu, tempat yang sering disebutnya dan Deri markas.
“Mana novel yang kau tulis belakangan ini dan
membuatmu melupakan temanmu yang keren ini?”
goda Deris dengan menyenggol siku Runa.
“Emmm….kau
mau melihatnya?”
“Tentu
saja, aku mau jadi pembaca pertama”
Runa
membuka ranselnya dan mengeluarkan kumpulkan kertas yang dijilid jadi satu,
“Ini dia!”
Deris
berencana merebutnya dari tangan Runa tapi segera dimasukkan kembali ke dalam
tasnya, “Siapapun tidak boleh membacanya sebelum ada pengumuman dari pusat,
hhehhe”
“Pelit
kamu…, sesama power ranger harus saling terbuka, tdk boleh ada yang disembunyikan”
“Sesama
power ranger harus saling membantu, itu yang benar ! Sekarang kau harus
membantuku mengantarkan naskahku ini ke pos!”
“Ranger
merah siap membantu ranger putih!”
Semburat
ceria yang terpancar dari wajah gadis bertubuh kurus itu seperti membuat
suasana di bawah pohon rimbun itu menjadi serasa lengkap. Hembusan angin yang
sejuk sebagai hasil dari fotosintesis pohon-pohon di tempat itu seakan memberi
isyarat untuk memberi tahu pada mereka kalau Tuhan selalu melimpahkan kasih
sayang pada umatnya dalam bentuk yang kadang tidak pernah terpikirkan. Setelah
Runa memutuskan untuk pergi terpaksa hidup seorang diri dan bertanggung jawab
atas dirinya sendiri, Tuhan masih selalu membiarkannya tertawa lepas. Terimakasih Tuhan…
*****
Sudah tiga bulan sejak Runa mengirimkan
naskah novelnya dan tepat dibulan ini lah ia akan tahu apakah naskah yang
dibuatnya selama berbulan-bulan dan menguras tenaganya berhasil mendapatkan
juara, paling tidak untuk diterbitkan ia butuh gelar sebagai juara ketiga.
Runa tergopoh-gopoh menggendong ransel
menuju kos sepulang kuliah, di tangannya tergenggam sebuah majalah yang
digulung hingga pas di genggamannya. Tak perlu beristirahat lama, ia meneguk
segelas air mineral dan mulai membuka-buka lembaran majalah. Rasa was-was
bercampur penasaran berpadu menjadi satu di benaknya. Dan akhirnya tangan
mungilnya terhenti di lembaran ke dua puluh dua, PENGUMUMAN HASIL LOMBA PENULIS KHATULISTIWA 2011. Nafasnya
dihembuskan pelan dan mulai berkonsentrasi menatap halaman itu. Runa Riu Sebagai Runner Up Dengan Novel “Di depanmu Aku Jadi Dwi”. Sontak ia
kaget setengah mati, tidak salah lagi, itu memang nama pena yang dimasukkannya
di perlombaan dan judul novel itu
menambah jelas semuanya bahwa memang benar dirinyalah yang dimaksud sebagai runner up. Tidak penting ia hanya harus
puas menduduki posisi ke dua, yang dia tahu…novelnya akan terbit dan akan
membuktikan usahanya pada Ibu dan juga Ayahnya.
“Ranger merah,
novelku berhasil jadi runner up, aku senang sekali”, pesan singkat
yang ditujukannya untuk Deri. Tidak butuh menunggu lama, balasannya pun segera
sampai di inbox handphone nya, “Aku tahu, kamu pasti bisa”
*****
Setelah menunggu berbulan-bulan,
novelnya pun diterbitkan. Di sampulnya bagian atas jelas sekali tertulis “Runner
Up Lomba Penulis Khatulistiwa 2011”. Di toko buku seluruh Indonesia
sekarang telah berjejer novel dengan nama pengarang “Runa Riu”. Runa seperti
hidup di alam mimpinya yang indah, selain karena royalty penjualan bukunya yang
cukup besar, ia pun sudah bisa benar-benar membuktikan pada orang tuanya kalau
impian yang selama ini dirangkainya sama sekali bukan main-main.
Runa melangkah masuk ke dalam rumah
yang dulu menjadi tempat bersuanya bersama Ayah, Ibu, dan kakaknya. Tidak ada
yang berbeda setelah satu tahun lebih ditinggalkannya, patung favorit ibu nya
masih berdiri kokoh di sudut ruang tamu, asbak yang sejak dulu selalu ada di
atas meja masih sama seperti dulu, dipenuhi sisa-sisa rokok yang telah dihisap
Ayahnya. Pelan ia menekan kenop pintu kamarnya, terhenyak, ia tidak bisa
berkata apa-apa, jantungnya seperti berhenti berdetak. Kamar yang dulu bercat
biru telah berubah menjadi warna merah jambu dan bintang-bintang hiasan yang
dulunya melekat di plafon kamarnya sudah lenyap tidak bersisa. Tidak terasa air
mata turun setetes demi setetes hingga membuat pipinya serasa basah dan lembab.
Kurasa
aku memang sudah terlupakan…
“Runa
!!! Benarkah itu kamu nak?”
Suara
ibu nya yang terdengar tidak seceria dulu membuyarkan pikirannya yang sudah
melayang entah kemana. Sebuah pelukan hangat membuatnya semakin membuatnya
serasa lemah dan tidak berdaya. Suasana saat itu benar-benar hening, hanya ada
detakan jarum jam yang tiba-tiba terdengar nyaring. Tidak ada yang bicara, Ibu
dan anak itu hanya terus saling menikmati dekapan yang telah lama tidak mereka
rasakan hingga Ayah datang dan mengagetkan keduanya.
“Kukira
kau sudah tidak akan kembali lagi, apalagi sekarang kau punya banyak uang
bukan?”
“Ayah..,
aku minta maaf, aku hanya ingin buktikan kalau impianku punya arti dan
jalannya”
“Tapi___”
“Sudahlah
Ayah, satu tahun aku merindukan Runa dan saatnya dia kembali ke rumah ini”,
potong Ibu Runa yang masih sesekali sesenggukan.
Sebuah
pelukan tak terduga dari Ayahnya membuatnya terkejut sesaat, lalu ia
menikmatinya dengan bersandar di dada laki-laki yang sudah lumayan tua itu.
“Kupikir
Ayah___”
“Jujur
Ayah hampir mau melupakanmu, tapi setelah kau benar-benar bisa membuktikan dan
menunjukkan hasil dari kegigihanmu yang dulu Ayah tidak setujui, Ayah merasa
tidak ada alasan lagi untuk tidak membiarkanmu tetap di sini”.
“Tapi
kamarku___”
“Kamarmu
di ubah sama Sinta, sekarang dia tidurnya di sana, kamu tidur di kamarnya yang
dulu saja yah..”, bujuk Ibunya.
“Kak
Sinta Selalu begitu, tapi biarlah, sudah resiko lah buat aku”
*****
Deri merebahkan tubuhnya di atas
ranjang yang dibalut seprei bergambar lambang Barcelona sambil membuka novel Runa yang sudah tiga hari ia baca.
Kali ini ia hampir sampai di halaman terakhir. Matanya hanya sesekali berkedip
menikmati bagian terakhir novel gadis yang telah dikenalnya selama dua tahun
terakhir itu sampai akhirnya selesai juga. Cerita
yang menghanyutkan, dia memang berbakat.., gumamnya dalam hati.
Masih tersisa satu lembar lagi di
belakang, ia membaliknya dan di sana jelas tertulis namanya.
.
Selain kupersembahkan untuk ke dua orang tua
ku..novel ini juga special untuk seseorang yang tak habis-habis menyemangatiku
setiap harinya. Orang yang selalu bilang kalau aku pasti bisa. Aku
mencintainya…”DERI”
“Bodoh
sekali, kenapa aku tidak menyadari selama ini kalau dia juga ternyata punya
perasaan yang sama padaku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar