Masih
dengan cara yang sama. Tempat yang sama. Suasana yang sama. Hanya saja dengan
orang yang berbeda. Bukan Za tapi Andra. Aku tak pernah benar-benar mengerti
tentang perasaanku sendiri. Seperti tak ada bedanya. Deguban jantung yang sama
cepatnya. Kelegaan yang sama, tapi sekaligus dengan rasa was-was yang sama.
Satu yang kutau, aku takut jika keduanya juga sama-sama akan menghilang…
Lembah Ramma’, Juni
2012
Sekitar satu bulan yang lalu, aku berada di tempat ini dengan Za dan
teman-temanku yang lainnya. Sebuah lembah yang di pagari gunung yang tangkas,
dihiasi kabut tipis yang turun pelan di sore hari. Deru aliran air sungai pun
seperti menjadi musik instrumental yang merdu. Aku menyukai semuanya, seperti
mendapatkan tempat untuk berteriak kencang, merenung, bicara apa saja tanpa ada
tekanan dari siapapun. Itu adalah pendakian pertamaku. Mencapai puncak dengan
rasa yang menyala-nyala, mengagumi ukiran tangan Tuhan dan turun ke lembah
dengan rasa tidak sabar menikmati ketenangan sepanjang hari.
Dan hari ini aku tegak berdiri menatap pepohonan, gunung-gunung, sungai,
langit, bulan, bintang yang berkolaborasi indah di tempat yang sama, tapi
dengan orang-orang yang berbeda. Tidak ada Za yang menggodaku tanpa henti
sambil tertawa lepas melihatku salah tingkah. Juga tidak ada petikan gitar dari
jemari Za menyanyikan lagu Iwan Fals yang sudah jadi lagu favoritku. Sekarang
berganti dengan kehebohan saling mengejek satu sama lain, karena kami setara,
aku tidak lagi jadi anak bawang seperti satu bulan yang lalu. Za memang
terlampau tiga tahun lebih tua dariku.
Aku mengagumi sosok
Andra, diam-diam aku sering memandang punggungnya dari belakang, dia nyaris
sama dengan Za. Postur tubuh yang sama; tinggi, kurus, kaki yang jenjang, wajah
yang tirus. Ah, sudah lah, Za tidak lagi bersamaku di tempat ini, semuanya sudah
kubiarkan berlalu dan terlupakan begitu saja. Meskipun masih ada sisa kenangan
yang tidak akan pernah benar-benar bisa aku buang, entahlah…mungkin karena…dulu
Za terlanjur memberiku peluang untuk mencintainya.
*****
“Tara, Kamu lihat
bintang itu?” Andra mendongak, menatap langit yang seakan menjadi lautan
bintang.
“Yang mana?”
Kali ini Andra
merentangkan tangannya ke atas dan mengacungkan jari telunjuknya.
“Bintang-bintang yang membentuk lingkaran…”
“Hemm..menurutku itu
bukan lingkaran tapi semacam…kerucut. Coba perhatikan sekali lagi”
“Benarkah? Mungkin
cara pandang kita yang beda, hahaha”
“Sejak kecil, aku
sering perhatikan bintang-bintang yang berhamburan di langit, di sana selalu
ada bintang yang paling terang, setelah kucari tahu..namanya Sirius, juga ada
bintang yang membentuk garis sejajar, karena sampai sekarang aku belum bisa
cari tahu, jadi kunamai dia bintang tiga sejajar”
“Di atas sana ada?”
“Tidak, sejak aku ke
sini sekitar satu bulan yang lalu, bintang-bintang yang kumaksud itu menghilang,
mungkin tampak di belahan bumi yang lain. Tidak tahu juga kenapa. Tapi hari
itu…Sirius indah sekali, terang dan serasa sangat dekat, tapi hanya sebentar,
dia tenggelam di balik gunung yang itu!” Aku menunjuk salah satu gunung yang
berada tepat di sisi kiri Andra.
“Hahaha…dia
bersembunyi untuk kumpulkan tenaga.., maksudku..mungkin! hehehe”
“Tidak, kurasa dia
benar, Sirius hari itu dimakan sama Bulan yang waktu itu purnama”
“Dia?”
“Emmm…iya dia,
seseorang yang juga ada di sini satu bulan yang lalu. Katanya..Sirius tidak
cukup terang jika dibandingkan cahaya bulan, jadi setiap Bulannya Purnama,
Sirius akan dimakan sama bulan. Hukum alam masih berlaku, yang kecil selalu
kalah sama yang besar”
“Kurasa tidak Tara,
Sirius cuma lagi sembunyi buat kumpulkan tenaganya yang mungkin agak redup,
setelah merasa bisa pamer cahaya terangnya buat pengagum langit, dia akan
muncul lagi dan saat itu dia akan tampak lebih baik dari sebelum dia
bersembunyi. Kurasa itu lebih bijak”
“Semoga, karena aku
merindukannya…” Aku menghembuskan nafas kencang setelah mengucapkan pengharapan
itu, entah yang kumaksud “merindukannya” itu benar-benar Sirius atau…seseorang
yang kumaksud tadi, Za.
*****
Dingin makin menyusup ke pori-pori kulit dan mencapai tulang-tulang hingga
terasa menusuk. Meskipun jaket sudah dipakai berlapis-lapis dan berselimut sleeping
bag, tetap saja terasa begitu dingin. Tentu saja, masih sama dengan yang
lalu. Andra berbaring di sampingku, sama persis seperti saat Za memilih
merebahkan tubuhnya tepat di sampingku. Terasa begitu aman, Andra mengenggam
tanganku dan saat aku menggigil karena rasa dingin yang tidak tertahankan, ia
makin mendekapku, menggosok-gosokkan kedua tekapak tangannya dan membungkus
pipiku, begitu hangat.
“Tara, kau
menggigil?”
“Iya…”
“Kemarikan tanganmu…”
Andra menggenggam tanganku.
***Satu
bulan yang lalu
“Tara,
kau menggigil?”
“Iya..”
“Sini
kupakaikan kaos tangan”
Za
menyandarkan kepalaku di bahunya dan membelai rambutku, seakan berkata, “Tidak
apa-apa, semuanya akan baik-baik saja Tara..”
Andra
serasa semakin dekat, aku merasakan desahan nafasnya dengan sangat jelas. Aku
tidak tahu sedekat apa, aku hanya menerka-nerka karena sedikitpun tidak berani
membuka mataku, takut jantungku akan loncat keluar sebentar lagi. Juga tidak
bisa menggerakkan tubuhku sama sekali, terasa kaku dan seperti memang
dikehendaki oleh diriku, yang kutahu…saat itu kecupan Andra mendarat di bibirku
dalam waktu yang singkat.
Seperti Dejavu, kejadian yang terasa pernah terjadi, berulang. Andra dan
Za…, aku ingin melupakan kenangan itu dengan Za, tapi justru Andra yang membuka
kotak kenangan itu. Dua sosok laki-laki yang hadir dalam hidupku dengan rasa
yang nyaris sama, entah yang mana yang berlebih, entah dengan Za atau dengan
Andra. Yang kutahu…Andra lebih dulu hadir dalam hidupku dibandingkan Za. Tapi
Za lebih mengajariku tentang hidup, sesuatu yang tidak pernah kulihat
sebelumnya, sesuatu yang tidak pernah kutahu sebelumnya, sesuatu yang tidak
pernah terpikirkan sebelumnya.
*****
Makassar, Juni 2012
“Tara.., kamu harus
belajar menjadi apa yang dinamakan dewasa yang sebenarnya…, kamu terlalu polos,
bahkan untuk membaca hatimu saja tidak bisa!” kata Randi lagi-lagi
mengingatkanku untuk pandai-pandai mensiasati hati. Ini sudah kesekian kalinya
setelah sahabatku yang satu ini berkali-kali mendapatiku linglung dan seperti
akan salah jalan jika melangkah lebih jauh lagi. Kurasa dia benar, aku tidak
lebih dari seorang anak umur lima tahun yang tidak tau apa-apa tentang realita,
hanya terus mengikuti hati dan terus terombang-ambing karena tidak bisa
mempertahankan sebuah pendirian. Ini sudah…, ah entahlah sudah ke berapa
kalinya aku memutuskan melupakan Za, tapi tetap saja sia-sia.
“Dengar baik-baik
Tara, alasan kenapa aku terus ada di sampingmu sampai hari ini adalah, karena
dari awal aku sudah tahu kamu punya rasa dengan Za. Sudah kucegah karena aku
tahu Za lebih dari yang kamu tahu, aku sudah kenal dia sejak tiga tahun yang
lalu. Za terlalu picik, terlalu realistis, pragmatis, dan apalah istilahnya.
Aku bukannya menjelek-jelekkan Za, dia sahabatku, tapi aku hanya coba buat kamu
buka mata dan lihat dirimu sekarang, kamu sudah terlalu jauh mengikutinya, kamu
terlalu cepat mengikuti alur dan kurasa….ini akan berbahaya untuk kamu. Aku
tahu kamu pasti cemburu kan lihat Za justru sekarang dekatnya dengan Puput dan
seperti mencoba membuat semuanya seperti tidak pernah terjadi”
Aku diam mendengar ocehan-ocehan Randi, tidak ada yang salah, kurasa semuanya
benar. Tapi entah kenapa aku masih enggan untuk benar-benar pergi dari rasa
yang sudah terlanjur tertanam di sini…,”dihati”. Aku mencintainya??? Kurasa
juga terlalu cepat untuk memvonis hatiku sendiri, karena yang ku tahu, sejak
dua tahun aku mengenal Andra, aku cukup memiliki rasa padanya, mungkin cinta…
Za dan Andra, nyaris tidak bisa kubedakan keberadaannya di hati.
“Sekarang cobalah
untuk fokus untuk masa depanmu, kamu punya talenta Tar. Kamu harus belajar
manfaatkan itu semua. Kembali konsen kuliah, kalau ada waktu, selesaikan
tulisanmu dan coba kirim ke penerbit, nanti aku bantu”
“Makasih di’, kurasa
memang begitu harusnya…”
“Masih ada Tar.., dari sekarang coba pintar-pintar bedakan yang mana kagum dan
rasa cinta, karena ke duanya beda”
Hari-hari berlalu, kuputuskan untuk mencoba menjauh dari Za, selain karena aku
ingin benar-benar tahu seberapa dalam perasaanku padanya, juga tidak lain
karena aku kecewa. Dia telah terlalu dalam memberiku peluang, harapan untuk
bisa dicintainya, aku hanya berharap dia tidak lagi berlebihan. Tidak
berlebihan peduli, tidak berlebihan dekat, hanya ingin seperti saat baru
mengenalnya, sebatas senior dan junior.
Andra masih seperti hari-hari biasanya, masih terus ada saat kubutuh, menatap
bintang di atas atap kosan bersama. Kurasa…aku lega dengan semua keadaan ini.
Ada beda antara Za dan Andra, aku pun mulai bisa membedakan rasaku. Kagum dan
cinta memang berbeda. Za hanya sebuah kekaguman, kekaguman pada caranya
memandang hidup, kekaguman tentang pemikiran-pemikirannya yang kadang memang
terbilang egois, tapi kurasa cukup realistis di zaman seperti sekarang. Dan Za
hanya sebuah obsesi seorang Tara.
Lembah Ramma’, Juli
2012
***Pukul 03.00 Wita
“Tara…, coba lihat
keluar !”
“Ada apa?”
“Ayo ke sini, kurasa
ini kejutan untukmu”
“Hebat ! Bulan sabit,
Sirius, bintang 3 sejajar…..”
“Dia sudah keluar
dari persembunyiannya Tar, benarkan kataku kalau___”
“Kalau dia cuma
kumpulkan tenaga untuk lebih terang, dan sekarang semakin terasa lebih dekat
dari dua bulan yang lalu sebelum dia memutuskan untuk bersembunyi..”
“Kamu tahu apa nama
bintang yang di atas Sirius itu?”
“Kurasa itu Vega..”
“Ah, tapi kenapa aku
malah merasa itu Arcturus..”
“Hahahaha…, biksurius
saja”
“Apa itu?”
“Bintang bikin
susah..”
“Dasar kau !!!!”
Sejak hari itu…Andra menjadi bagian dari kolaborasi indah di hidupku. Aku ingin
selalu menikmati kolaborasi langit, bintang, bulan, udara malam, dan Andra…
Emmm…tapi kurasa langit yang suram tanpa bintang dan bulan pun juga tidak
apa-apa, karena ada Andra berdiri dan tersenyum lepas di sampingku saja
sudah cukup. Dan aku pun mengerti, aku mencintainya___bukan hanya sekedar
kagum, tapi aku benar-benar mencintainya__bukan obsesi, tapi aku benar-benar
mencintainya…
“Hanya diri sendiri
yang bisa mengerti apa maunya hati…, untuk mengerti hati pun butuh proses.
Belajar…dan akhirnya kita pun akan mengerti…”
Gabungan kata yang BIASA menghasilkan sebuah kalimat yang LUAR BIASA.
BalasHapusSalam kenal. jangan lupa mampirhttp://robianussupardi.blogspot.com/
daaaan aaaaa !! kenak kaliii. selapan deh. cinta dan kagum itu berbeda. sangat berbeda malah :)
BalasHapussalam kenal dari naun :)
Ini true story ya, Kak? Aku suka sama sosok Za. :-) Beda tipis dengan sosok orang yang pernah menyemangati hariku. Mulai dari fave songnya, bodynya yang ceking, keasyikannya memandang bulan, and of course older than Me. Atau jangan-jangan kita mendeskripsikan orang yang sama ya, Kak? Haha:-)
BalasHapusmungkin,, hahaha... dunia sempit loohh.. jhahahahha
HapusBagus sekali ceritanya...mengalir enak dibaca.
BalasHapusuntuk mengerti hati pun butuh belajar ya..
BalasHapusbener banget. karena hati dalam sekali seperti palung mindanao kan..