Rabu, 18 Juli 2012

Dan Aku pun Mengerti

Masih dengan cara yang sama. Tempat yang sama. Suasana yang sama. Hanya saja dengan orang yang berbeda. Bukan Za tapi Andra. Aku tak pernah benar-benar mengerti tentang perasaanku sendiri. Seperti tak ada bedanya. Deguban jantung yang sama cepatnya. Kelegaan yang sama, tapi sekaligus dengan rasa was-was yang sama. Satu yang kutau, aku takut jika keduanya juga sama-sama akan menghilang…


Lembah Ramma’, Juni 2012
      Sekitar satu bulan yang lalu, aku berada di tempat ini dengan Za dan teman-temanku yang lainnya. Sebuah lembah yang di pagari gunung yang tangkas, dihiasi kabut tipis yang turun pelan di sore hari. Deru aliran air sungai pun seperti menjadi musik instrumental yang merdu. Aku menyukai semuanya, seperti mendapatkan tempat untuk berteriak kencang, merenung, bicara apa saja tanpa ada tekanan dari siapapun. Itu adalah pendakian pertamaku. Mencapai puncak dengan rasa yang menyala-nyala, mengagumi ukiran tangan Tuhan dan turun ke lembah dengan rasa tidak sabar menikmati ketenangan sepanjang hari.
      Dan hari ini aku tegak berdiri menatap pepohonan, gunung-gunung, sungai, langit, bulan, bintang yang berkolaborasi indah di tempat yang sama, tapi dengan orang-orang yang berbeda. Tidak ada Za yang menggodaku tanpa henti sambil tertawa lepas melihatku salah tingkah. Juga tidak ada petikan gitar dari jemari Za menyanyikan lagu Iwan Fals yang sudah jadi lagu favoritku. Sekarang berganti dengan kehebohan saling mengejek satu sama lain, karena kami setara, aku tidak lagi jadi anak bawang seperti satu bulan yang lalu. Za memang terlampau tiga tahun lebih tua dariku.
Aku mengagumi sosok Andra, diam-diam aku sering memandang punggungnya dari belakang, dia nyaris sama dengan Za. Postur tubuh yang sama; tinggi, kurus, kaki yang jenjang, wajah yang tirus. Ah, sudah lah, Za tidak lagi bersamaku di tempat ini, semuanya sudah kubiarkan berlalu dan terlupakan begitu saja. Meskipun masih ada sisa kenangan yang tidak akan pernah benar-benar bisa aku buang, entahlah…mungkin karena…dulu Za terlanjur memberiku peluang untuk mencintainya.
*****
“Tara, Kamu lihat bintang itu?” Andra mendongak, menatap langit yang seakan menjadi lautan bintang.
“Yang mana?”
Kali ini Andra merentangkan tangannya ke atas dan mengacungkan jari telunjuknya. “Bintang-bintang yang membentuk lingkaran…”
“Hemm..menurutku itu bukan lingkaran tapi semacam…kerucut. Coba perhatikan sekali lagi”
“Benarkah? Mungkin cara pandang kita yang beda, hahaha”
“Sejak kecil, aku sering perhatikan bintang-bintang yang berhamburan di langit, di sana selalu ada bintang yang paling terang, setelah kucari tahu..namanya Sirius, juga ada bintang yang membentuk garis sejajar, karena sampai sekarang aku belum bisa cari tahu, jadi kunamai dia bintang tiga sejajar”
“Di atas sana ada?”
“Tidak, sejak aku ke sini sekitar satu bulan yang lalu, bintang-bintang yang kumaksud itu menghilang, mungkin tampak di belahan bumi yang lain. Tidak tahu juga kenapa. Tapi hari itu…Sirius indah sekali, terang dan serasa sangat dekat, tapi hanya sebentar, dia tenggelam di balik gunung yang itu!” Aku menunjuk salah satu gunung yang berada tepat di sisi kiri Andra.
“Hahaha…dia bersembunyi untuk kumpulkan tenaga.., maksudku..mungkin! hehehe”
“Tidak, kurasa dia benar, Sirius hari itu dimakan sama Bulan yang waktu itu purnama”
“Dia?”
“Emmm…iya dia, seseorang yang juga ada di sini satu bulan yang lalu. Katanya..Sirius tidak cukup terang jika dibandingkan cahaya bulan, jadi setiap Bulannya Purnama, Sirius akan dimakan sama bulan. Hukum alam masih berlaku, yang kecil selalu kalah sama yang besar”
“Kurasa tidak Tara, Sirius cuma lagi sembunyi buat kumpulkan tenaganya yang mungkin agak redup, setelah merasa bisa pamer cahaya terangnya buat pengagum langit, dia akan muncul lagi dan saat itu dia akan tampak lebih baik dari sebelum dia bersembunyi. Kurasa itu lebih bijak”
“Semoga, karena aku merindukannya…” Aku menghembuskan nafas kencang setelah mengucapkan pengharapan itu, entah yang kumaksud “merindukannya” itu benar-benar Sirius atau…seseorang yang kumaksud tadi, Za.
*****
      Dingin makin menyusup ke pori-pori kulit dan mencapai tulang-tulang hingga terasa menusuk. Meskipun jaket sudah dipakai berlapis-lapis dan berselimut sleeping bag, tetap saja terasa begitu dingin. Tentu saja, masih sama dengan yang lalu. Andra berbaring di sampingku, sama persis seperti saat Za memilih merebahkan tubuhnya tepat di sampingku. Terasa begitu aman, Andra mengenggam tanganku dan saat aku menggigil karena rasa dingin yang tidak tertahankan, ia makin mendekapku, menggosok-gosokkan kedua tekapak tangannya dan membungkus pipiku, begitu hangat.
“Tara, kau menggigil?”
“Iya…”
“Kemarikan tanganmu…” Andra menggenggam tanganku.
***Satu bulan yang lalu
“Tara, kau menggigil?”
“Iya..”
“Sini kupakaikan kaos tangan”
Za menyandarkan kepalaku di bahunya dan membelai rambutku, seakan berkata, “Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja Tara..”
      Andra serasa semakin dekat, aku merasakan desahan nafasnya dengan sangat jelas. Aku tidak tahu sedekat apa, aku hanya menerka-nerka karena sedikitpun tidak berani membuka mataku, takut jantungku akan loncat keluar sebentar lagi. Juga tidak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali, terasa kaku dan seperti memang dikehendaki oleh diriku, yang kutahu…saat itu kecupan Andra mendarat di bibirku dalam waktu yang singkat.
      Seperti Dejavu, kejadian yang terasa pernah terjadi, berulang. Andra dan Za…, aku ingin melupakan kenangan itu dengan Za, tapi justru Andra yang membuka kotak kenangan itu. Dua sosok laki-laki yang hadir dalam hidupku dengan rasa yang nyaris sama, entah yang mana yang berlebih, entah dengan Za atau dengan Andra. Yang kutahu…Andra lebih dulu hadir dalam hidupku dibandingkan Za. Tapi Za lebih mengajariku tentang hidup, sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya, sesuatu yang tidak pernah kutahu sebelumnya, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
*****
Makassar, Juni 2012
“Tara.., kamu harus belajar menjadi apa yang dinamakan dewasa yang sebenarnya…, kamu terlalu polos, bahkan untuk membaca hatimu saja tidak bisa!” kata Randi lagi-lagi mengingatkanku untuk pandai-pandai mensiasati hati. Ini sudah kesekian kalinya setelah sahabatku yang satu ini berkali-kali mendapatiku linglung dan seperti akan salah jalan jika melangkah lebih jauh lagi. Kurasa dia benar, aku tidak lebih dari seorang anak umur lima tahun yang tidak tau apa-apa tentang realita, hanya terus mengikuti hati dan terus terombang-ambing karena tidak bisa mempertahankan sebuah pendirian. Ini sudah…, ah entahlah sudah ke berapa kalinya aku memutuskan melupakan Za, tapi tetap saja sia-sia.
“Dengar baik-baik Tara, alasan kenapa aku terus ada di sampingmu sampai hari ini adalah, karena dari awal aku sudah tahu kamu punya rasa dengan Za. Sudah kucegah karena aku tahu Za lebih dari yang kamu tahu, aku sudah kenal dia sejak tiga tahun yang lalu. Za terlalu picik, terlalu realistis, pragmatis, dan apalah istilahnya. Aku bukannya menjelek-jelekkan Za, dia sahabatku, tapi aku hanya coba buat kamu buka mata dan lihat dirimu sekarang, kamu sudah terlalu jauh mengikutinya, kamu terlalu cepat mengikuti alur dan kurasa….ini akan berbahaya untuk kamu. Aku tahu kamu pasti cemburu kan lihat Za justru sekarang dekatnya dengan Puput dan seperti mencoba membuat semuanya seperti tidak pernah terjadi”
      Aku diam mendengar ocehan-ocehan Randi, tidak ada yang salah, kurasa semuanya benar. Tapi entah kenapa aku masih enggan untuk benar-benar pergi dari rasa yang sudah terlanjur tertanam di sini…,”dihati”. Aku mencintainya??? Kurasa juga terlalu cepat untuk memvonis hatiku sendiri, karena yang ku tahu, sejak dua tahun aku mengenal Andra, aku cukup memiliki rasa padanya, mungkin cinta… Za dan Andra, nyaris tidak bisa kubedakan keberadaannya di hati.
“Sekarang cobalah untuk fokus untuk masa depanmu, kamu punya talenta Tar. Kamu harus belajar manfaatkan itu semua. Kembali konsen kuliah, kalau ada waktu, selesaikan tulisanmu dan coba kirim ke penerbit, nanti aku bantu”
“Makasih di’, kurasa memang begitu harusnya…”
      “Masih ada Tar.., dari sekarang coba pintar-pintar bedakan yang mana kagum dan rasa cinta, karena ke duanya beda”
      Hari-hari berlalu, kuputuskan untuk mencoba menjauh dari Za, selain karena aku ingin benar-benar tahu seberapa dalam perasaanku padanya, juga tidak lain karena aku kecewa. Dia telah terlalu dalam memberiku peluang, harapan untuk bisa dicintainya, aku hanya berharap dia tidak lagi berlebihan. Tidak berlebihan peduli, tidak berlebihan dekat, hanya ingin seperti saat baru mengenalnya, sebatas senior dan junior.
      Andra masih seperti hari-hari biasanya, masih terus ada saat kubutuh, menatap bintang di atas atap kosan bersama. Kurasa…aku lega dengan semua keadaan ini. Ada beda antara Za dan Andra, aku pun mulai bisa membedakan rasaku. Kagum dan cinta memang berbeda. Za hanya sebuah kekaguman, kekaguman pada caranya memandang hidup, kekaguman tentang pemikiran-pemikirannya yang kadang memang terbilang egois, tapi kurasa cukup realistis di zaman seperti sekarang. Dan Za hanya sebuah obsesi seorang Tara.
Lembah Ramma’, Juli 2012
***Pukul 03.00 Wita
“Tara…, coba lihat keluar !”
“Ada apa?”
“Ayo ke sini, kurasa ini kejutan untukmu”
“Hebat ! Bulan sabit, Sirius, bintang 3 sejajar…..”
“Dia sudah keluar dari persembunyiannya Tar, benarkan kataku kalau___”
“Kalau dia cuma kumpulkan tenaga untuk lebih terang, dan sekarang semakin terasa lebih dekat dari dua bulan yang lalu sebelum dia memutuskan untuk bersembunyi..”
“Kamu tahu apa nama bintang yang di atas Sirius itu?”
“Kurasa itu Vega..”
“Ah, tapi kenapa aku malah merasa itu Arcturus..”
“Hahahaha…, biksurius saja”
“Apa itu?”
“Bintang bikin susah..”
“Dasar kau !!!!”
      Sejak hari itu…Andra menjadi bagian dari kolaborasi indah di hidupku. Aku ingin selalu menikmati kolaborasi langit, bintang, bulan, udara malam, dan Andra… Emmm…tapi kurasa langit yang suram tanpa bintang dan bulan pun juga tidak apa-apa, karena ada Andra berdiri  dan tersenyum lepas di sampingku saja sudah cukup. Dan aku pun mengerti, aku mencintainya___bukan hanya sekedar kagum, tapi aku benar-benar mencintainya__bukan obsesi, tapi aku benar-benar mencintainya…
“Hanya diri sendiri yang bisa mengerti apa maunya hati…, untuk mengerti hati pun butuh proses. Belajar…dan akhirnya kita pun akan mengerti…”

6 komentar:

  1. Gabungan kata yang BIASA menghasilkan sebuah kalimat yang LUAR BIASA.
    Salam kenal. jangan lupa mampirhttp://robianussupardi.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. daaaan aaaaa !! kenak kaliii. selapan deh. cinta dan kagum itu berbeda. sangat berbeda malah :)
    salam kenal dari naun :)

    BalasHapus
  3. Ini true story ya, Kak? Aku suka sama sosok Za. :-) Beda tipis dengan sosok orang yang pernah menyemangati hariku. Mulai dari fave songnya, bodynya yang ceking, keasyikannya memandang bulan, and of course older than Me. Atau jangan-jangan kita mendeskripsikan orang yang sama ya, Kak? Haha:-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin,, hahaha... dunia sempit loohh.. jhahahahha

      Hapus
  4. Bagus sekali ceritanya...mengalir enak dibaca.

    BalasHapus
  5. untuk mengerti hati pun butuh belajar ya..
    bener banget. karena hati dalam sekali seperti palung mindanao kan..

    BalasHapus

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com