Selasa, 03 April 2012

Sendal Jepit Untuk Denis



Jia masih sibuk menekan tuts-tuts keyboard laptopnya, berusaha merampungkan tugas-tugas kuliahnya yang terbengkalai setelah mengasingkan diri selama satu bulan di villa milik keluarganya yang letaknya jauh di Bogor. Sesekali ia menyeruput teh hangat yang tidak bisa ia pungkiri rasanya hambar walaupun telah ia seduh dengan cara yang sama seperti biasanya. Semuanya memang terasa sangat berbeda. Harusnya pukul delapan malam ibunya telah sibuk menyiapkan makan malam untuknya, kakaknya, dan juga Ayahnya. Bunyi khas beling yang bergesekan dari dapur rumah itu harusnya telah menemaninya mengerjakan tugas malam ini. Tapi mulai sekarang ia harus terbiasa dengan suasana hening di rumah itu, tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya, kakaknya sendiri lebih sering memenuhi tugas kantornya ke luar kota.
Berita mengenai jatuhnya pesawat tepat di tengah laut yang ditumpangi Ayah dan Ibunya sepulangnya dari Singapura telah membuatnya patah semangat, semangat hidupnya telah ikut bersama jasad kedua orang tuanya yang hingga kini dinyatakan tidak bisa diketemukan. Semuanya terjadi begitu saja dan sangat tiba-tiba, ia baru saja mendengar suara ibunya di telepon saat bersiap-siap berangkat pulang, memperingatinya untuk makan siang sepeti biasa lalu tidak lama kemudian ada sebuah berita buruk yang membuat darahnya berhenti mengalir seketika.
Ting deng..
Ting deng…
Bel rumahn9ya berbunyi dan membuatnya tersentak dari lamunannya di depan layar laptop yang dipenuhi dengan kolom-kolom tabel hasil ketikannya sejak tadi. Mungkin karena suasana rumah yang benar-benar hening membuat bunyi bel itu terdengar lebih nyaring dari biasanya.
Ting deng..
Ting deng...
Sekali lagi, namun ia merasa belum bisa berdiri tegak dan membukakan pintu untuk tamunya malam ini yang entah itu siapa.
            Bel itu terus berbunyi tapi sedikitpun tidak membuat Jia bergeming dari depan meja belajarnya. Sama sekali bukan waktu yang tepat untuk bertamu disaat ia sedang sibuk mengerjakan tugas-tugasnya yang terbengkalai, ditambah lagi dengan hatinya yang masih hampa, tidak ada rasa. Handphone yang sedari tadi tergeletak begitu saja di atas ranjangnya berdering, lagu The Only Exception dari Paramore, itu adalah nada pesannya. Jia meraihnya, “1 pesan diterima” ia menekan tombol buka “Denis Jeleg”, ia menekannya sekali lagi, “Apa kau masih memutuskan bermalas-malasan? Cepat buka pintunya!”. Jia lalu melongos kesal, untuk apa dia bertamu malam-malam begini? Aku tidak tertarik untuk bercanda sekarang.

            Jia menekan kenop pintu lalu menariknya pelan, ia mendapati Denis, sahabat yang dikenalnya sejak tiga tahun belakangan, tersenyum manis menatapnya. Ia masih sama seperti sebulan yang lalu, masih tetap dengan kebiasaannya memakai sandal jepit favoritnya, tubuhnya yang tinggi kurus dibalut kaos oblong dan jeans yang sengaja dibuatnya sobek di bagian lututnya selalu berhasil membuatnya tampak seperti anak punk. Denis memang urakan dan berantakan, tapi justru itu yang selalu membuat Jia merasa nyaman dengan sahabatnya yang satu itu, Jia merasa Denis adalah manusia yang tidak pernah bergaya dibuat-buat, selalu apa adanya.
Denis tanpa berkata apa-apa langsung menempatkan telapak tangannya di atas kepala Jia lalu membuat rambut gadis itu berantakan. Jia masih memasang ekspresi mukanya yang datar, tanpa protes seperti biasanya.
“Keluar yuk !”
Jia hanya mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepalanya.
“Ayolah, lo tuh udah abisin waktu sebulan dengan terus-terusan sedih tanpa liat dunia luar. Sekarang saatnya lo keluar dan liat kalo dunia masih mau liat lu ketawa, masih mau liat lu sewot kayak dulu lagi!”
“lu pikir gampang apa hidup tanpa orang tua?” Jia menghembuskan nafasnya kencang dan spontan menunduk putus asa.
Denis terkesiap mendengar tanggapan dari gadis itu, memperbaiki posisi berdirinya lalu meraih kedua lengan Jia yang masih tertunduk. “Gue ngerti perasaan lo, tapi sampai kapan lo kayak gini? Cukup sebulan aja lo luput dari pengawasan gue, gak boleh lebih dari itu. Sekarang lo ganti baju trus kita keluar !”
            Jia terpaksa menuruti kemauan Denis dan membiarkan bebannya lepas dan berhamburan di sepanjang jalan. Denis merasakan pegangan Jia di pinggangnya semakin keras, ia mengerti gadis itu sekarang tengah berusaha melepas bebannya. Ia kemudian menambah gas motornya, melaju kencang, menyalip-nyalip di sela kendaraan yang sudah agak lengang. Ia tahu dengan begitu Jia pasti akan merasa lepas seiring angin kencang yang menerpa tubuhnya.
            Denis menghentikan motornya di depan sebuah danau yang tenang, tempat itu cukup aman untuk melemparkan kekesalan dengan berteriak kencang. Dan itulah alasan mengapa Denis membawa Jia kesitu.
“Ini dimana sih Nis? Kok gue baru tau tempat ini!”
“Hehe…, ini sebenarnya tempat rahasia gue sama___”
“Sama Ninda. Iya kan?”
“Ah, udahlah ! Masa lalu !”
“Makasih yah.., lo masih mau peduli sama gue!”
“Ah, lo kayak gak tau gue aja! Gue tuh gini-gini anaknya baik hati tau!” Denis memicingkan kerah jaketnya dan tertawa lepas “hahahahahaha….”
“Hemmm…mulai lagi…!”
Sorry..sorry ! hhehhe.., ngomong-ngomong lo kemana aja sih selama sebulan? Nomor lo juga gak pernah aktif, gue khawatir tau sama lo!”
“Gue cuma abis nenangin diri aja di Bogor!”
“Puncak?”
Jia mengangguk mengiyakan pertanyaan Denis.
“Trus lo udah ngasi tau Rian blom kalo lo sekarang udah ada di Jakarta?”
Jia menggeleng dan masih melemparkan pandangannya ke tengah danau yang tenang.
“Rian selalu ngira gue bawa lari pacarnya tau gak, dan itu lo!”
“Hah?? Masa sih?” Tanya Jia keheranan.
“Hahaha…gue bercanda bego!”
Jia kemudian melingkarkan kedua telapak tangannya di leher Denis, seperti ingin mencekiknya karena telah mempermainkannya. Denis menikmati moment itu, ia diam-diam memang telah merindukan gadis periang itu, ia bahkan hampir stress memikirkan kondisi Jia yang tidak pernah bisa dihubungi selama sebulan. Dan nampaknya ia sudah mulai pulih lagi. Denis tertawa lega dan rasanya ingin memeluk gadis itu dan tidak akan melepasnya, dia berjanji tidak akan membiarkan gadis itu terluka lagi, apapun akan dia lakukan. Walaupun ia hanya sahabatnya, walaupun ia tau Jia mencintai laki-laki lain, dan itu adalah sahabatnya sendiri, Rian.
“Lo masih juga sayang sama sandal jepit lo itu!”
“Hhahha…iya donk, gue kan setia!”
“Gue tau kenapa Ninda mutusin lo, pasti gara-gara dia jealous sama sandal jepit lo. Abis lo lebih sayang sih sama sandal itu daripada dia! Payah lo!”
“Emang iya!”
“Kurang ajar lo, jangan-jangan lo juga lebih sayang sama tu sandal dari pada sahabat lo yang manis ini!”
“Lo tau aja! Hahahahahahaha…..” gak lah, gue sayang banget sama lo bodoh…, bantahnya sendiri dalam hati.
“Denis jeleeeeeeeeeeeekkkkkkkkk!!!!”
“Jelek-jelek gini banyak yang naksir tau!!!!”
“Gue gak!”
“Bo’ong lo…!”
“Gue kan punya Rian, ngapain gue naksir sama lo!”
Benar, Jia sudah punya Rian.., batin Denis.
“Nis, gue mau teriak nih.., boleh gak?”
Denis mengangguk dan tersenyum manis tanda mengiyakan. Dan memang itulah tujuannya membawa gadis itu ke sini.
Jia berteriak sebisanya, memuntahkan semua beban dan kesedihan yang selama satu bulan lebih menderanya. Angin malam di danau itu membawa muntahan itu menyebar ke alam semesta dan alam semesta menerimanya dengan suka cita, tanpa protes dan tanpa keluh. Denis memandanginya dan itulah yang setiap saat ia ingin lakukan, entah apa yang membuatnya begitu mencintai gadis itu, padahal tidak ada yang special. Bahkan jika dibandingkan dengan Ninda, Jia tidak lah lebih cantik.
*****
            Jia benar-benar sudah merasa sedikit pulih, ia memutuskan ke kampus dan menyetor tugas-tugasnya yang sudah menumpuk. Entahlah akan diterima dosen-dosennya atau tidak, minimal dia sudah berusaha. Rian menjemputnya dengan mobil Avart merah, ia mengemudikannya dengan sangat gagah yang seketika membuat Jia takluk untuk kesekian kalinya.
“Kamu udah gak pa pa kan, yakin nih mau ngampus?”
“Iya, aku baik-baik aja kok!”
Rian tersenyum hangat, membuat Jia semakin yakin bahwa ia sudah tidak apa-apa lagi.
“Oya Yan, Denis ulang tahunnya tanggal enam belas bulan depan kan?”
“Masa sih, aku gak inget!”
“Hemm…ulang tahun sahabatnya sendiri gak diinget. Gimana sih!”
“Haha.., kita ngasi permen aja sebiji!”
“Gak, aku mau ngasi dia sandal jepit baru, sandal jepitnya udah jelek tapi masih aja dipake!”
Rian tiba-tiba tercekat mendengar pernyataan kekasihnya barusan, ia tidak menyangka Jia selama ini begitu memperhatikan Denis dengan sangat detail. Dari ulang tahunnya yang ia sendiri lupa sampai sandal jepit yang dipakai Denis kemana saja kecuali di kampus. Rian tidak menanggapi pernyataan Jia lagi, ia memilih diam atau harus bersiap-siap mendengar kekasihnya itu berceloteh lebih banyak lagi tentang Denis dan akan membuatnya terkejut lebih hebat lagi. Mobil itu terus melaju hingga ia akhirnya sampai di kampusnya.
            Denis sibuk mengutak-atik CPU Komputer yang sudah dibongkarnya habis-habisan di laboratorium khusus jurusan Teknik Elektro. Sesekali ia menggaruk lehernya karena pusing. Apa yang gue lakuin, napa jadi gak karuan gini sih!
“Jelas aja gak karuan, lo salah nyambungin tuh! Kebalik ,harusnya yang merah tu lu sambungin kesitu tu!” sergah Rian tiba-tiba dari belakang Denis.
“Sialan, lo ngagetin gue bego!”
“Lo tu yang sialan, cewek gue lo apain, dia lebih tau lo daripada gue!”
“Abis gue hipnotis, siapa suruh lo lengah merhatiin dia!”
“yaahh…sialan lo!”
Kedua laki-laki itu tertawa bersama, kembali mengerjakan CPU komputer yang telah dibongkar sempurna itu. Tanpa mereka sadari di hati mereka ada gadis yang sama, gadis yang membuat hidup mereka semakin berwarna dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dengan takdir yang berbeda, tentu saja, karena Rian lebih dulu bisa menaklukkan hati gadis yang bernama Jia itu dibanding Denis yang hanya bisa memperhatikan gadis itu diam-diam dengan statusnya sebagai sahabat.
Handphone di saku celana Denis bergetar, tanda sms masuk. Ia merogoh kantong celananya dan akhirnya berhasil mendapatkannya, “1 pesan diterima”, ia membukanya dan di layar itu sangat jelas terlihat nama kontak “Jia jeleg”, sama persis seperti nama Denis di kontak HP milik Jia, “Nis, nomor sandal lo berapa sih?”, sontak Denis tidak bisa menahan tawanya, untuk apa gadis itu menanyakan nomor sandalnya? Apa ia berencana membelikan sandal untuknya?
“Kenapa lo Nis?” tanya Rian penasaran.
“Gak kok, biasa sms lucu yang dishare temen! Hhahhahha…”
“Oh…”
Denis masih tersenyum-senyum sambil menekan-nekan tombol handphone nya,
40 jelekk, emangnya mau diapain? Mau beliin gue yahh….
“Gak, gue nanya aja soalnya gue mau beliin kace gue, kayaknya ukurannya sama sama kaki lo”
Oh…kirain buat gue!
“GR lo!”
Hhehhe…, lagi pula kalo lo mau beliin gue nolak, sandal gue tersayang kan masih top markotop!
“Top apaan, udah ampir butut gitu!”
Lo merhatiin juga ternyata, ketauan lo…!!!”
“ :-P”
*****
16 September, Ulang tahun Denis
“Yan, Denisnya beneran mau datang kan, aku bejet-bejet tuh anak kalo sampe gak datang!” Celoteh Jia sambil menyusun rapi makanan-makanan di atas meja di taman rumahnya.
“Iya, datang kok, udah aku ingatkan berkali-kali tadi di kampus!”
“Pokoknya hari ini mesti jadi hari besejarah buat dia!”
Rian memperhatikan kekasihnya yang terus berceloteh sambil mempersiapkan semuanya untuk Denis yang tepat berulang tahun hari ini. Semua persiapannya benar-benar terlihat sangat sempurna, tidak ada cela sama sekali walaupun ditempat yang sederhana dan hanya akan dirayakan bertiga. Dua lilin yang masing-masing berbentuk angka 2 dan 1 terlihat tegak sempurna sekali di atas kue tart yang indah. Ada minuman di botol yang tangkas dan tiga buah gelas mengkilap setelah dilap beberapa kali oleh Jia.
“Udah jam sepuluh kok Denis gak datang-datang juga sih Yan?”, Jia mulai gelisah, matanya menjelajah tidak menentu dan jemarinya terlihat terus menekan tombol handphone nya.
Jelek..dimana sih? Gue nunggu lo daritadi nih.. :’(
Tidak dibalas, Jia mulai mengetik lagi,
Udah jam 10 kock belum nyampe-nyampe juga sih jelek!!!
Jia memutuskan untuk menelepon Denis, tersambung, lalu putus, tersambung lagi, terputus lagi…
Ada rasa yang lain di hati Rian melihat reaksi Jia, ia merasa kekasihnya terlalu kelewatan memperhatikan sahabatnya itu. Tapi mencoba menekan sugesti negatifnya. Tidak mungkin, Jia hanya menganggap Denis sahabat, begitu pula dengan Denis.
“Yan, kock kamu nyantai banget sih! Denis belum datang, apa dia baik-baik aja?”
“Ji’, perasaan kamu ke Denis kayak gimana sih?” akhirnya pertanyaan itu keluar juga, akhirnya pertanyaan yang sedari tadi memerangi jiwa Rian menghambur juga.
“Maksud kamu?” Jia tampak tersentak kaget, sarafnya terasa menegang, tapi entah karena apa. Harusnya pertanyaan itu sangat mudah ia jawab, cukup bilang aku gak punya perasaan apa-apa ke Denis, selesai. Tapi kenapa ia merasa kerdil seketika ketika mendengar pertanyaan itu dari kekasihnya sendiri? “Aku___”
“Aku ngerasa perhatian kamu ke dia berlebihan, kamu bahkan tau soal Denis lebih dari yang aku tau padahal aku ini sahabatnya. Kamu tau semua yang Denis suka, bahkan kamu tau sandal Denis harusnya sudah ia ganti”
Jia merasa terpojok dan ia juga baru menyadari semua perhatiannya pada Denis yang berlebihan. Ia bahkan lupa bahwa selama ini ia lebih sering memperhatikan Denis daripada Rian, ia lebih tau semua yang Denis suka dibanding apa yang Rian suka. Bagaimana ini? Apa aku menyukai Denis atau bahkan mencintainya dibanding Rian? Perasaan apa ini? Takut menyangkal?
“Aku cuma perhatian sama dia, karena___, tentu saja, dia kan sahabatku!”
Rian menangkap keraguan Jia saat menjawab pertanyaannya, mata gadis itu terlalu jernih untuk menutupi kebohongannya, “Jujur aja Ji’, aku gak marah kock!”
“Aku sama Denis____” Jia meremas tangannya hingga berkeringat gelisah.
Tiba-tiba handphone Rian berdering keras, memecah kegelisahannya dan juga Jia.
“Halo…
Ya..
Apa?
Jam berapa?
Dimana?
Lo telat banget ngasi tau gue!
Dia dimana sekarang?”
Rian menutup teleponnya, “Dasar bodoh!!”
            Rian tampak ragu menatap gadis yang menatapnya gelisah sekarang. Ia menghembuskan nafas kencang, “Ji’, ikut gue!”. Ia menarik kencang lengan Jia yang masih mematung dengan tatapan kosong.
“Kenapa Yan? Apa soal Denis? Denis kenapa Yan?”
Rian tidak menjawab dan menyuruh Jia bergegas masuk ke dalam mobilnya. Gas pun ia tancapkan serta merta dan membawa mobil itu melaju kencang tanpa ampun.
“Yan, jawab aku, Denis kenapa?”
Rian hanya mampu membisu di depan setiran mobil, ia mendengar Jia terisak, gadis itu sudah tidak bisa menahan rasa gelisah dan takutnya. Ia mecoba meraih tangan Jia dengan tangan kirinya, menggenggamnya erat, “Gak pa pa kock…, tenang yah”. Jia semakin terisak dan hamburan air dari mata jernihnya tidak bisa ditahannya lagi, ia benar-benar takut dengan segala kemungkinan terburuk yang dialami Denis hingga Rian tiba-tiba menariknya, memintanya ikut, dan membawa mobil dengan sangat kencang. Tapi tinggal menunggu beberapa jam lagi Denis ulang tahun…
Mobil itu memasuki parkiran rumah sakit. Jia tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya sesak, yang masuk rumah sakit adalah Denis…benarkah? Mereka berdua pun berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat (UGD), beberapa pasien korban kecelakaan ada di sana dengan luka-luka yang cukup parah. Jia merasa ngeri dan ketakutannya semakin tidak terkendali lagi. Bagaimana jika Denis luka parah seperti mereka? Bagaimana ini? Jika ini mimpi, ia berharap akan segera terbangun sebelum ia mendapati Denis terluka parah di sana. Tapi ini bukan mimpi, ia merasakan remasan genggaman Rian di tangan kanannya dengan sangat nyata.
Rian berhenti berlari, Jia pun tersengal-sengal dan mendongakkan wajahnya. Ia mendapati Denis dengan kepala yang dibalut perban, lengan-lengannya penuh luka parah, ditambah dengan alat bantu pernafasan di hidungnya. Di sana juga ada Ayah Denis dan adiknya, ibunya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Apa ini? Benarkah itu Denis? Kenapa di hari ulang tahunnya?
Rian melepaskan genggamannya, ia melangkah maju dan meraih tangan sahabatnya yang tengah terbaring lemah di hadapannya, tanpa suara, tanpa gerakan sama sekali. “Dasar lo bego banget, bagaimana bisa lo nabrak truk? Sekarang gue mesti ngapain Nis? Harusnya lo nyampe di pesta ulang tahun lo  bukan nyampe di sini!” Rian tampak kalut dan tidak bisa mengendalikan dirinya. Tio, teman Rian dan Denis, merangkulnya mundur dan menepuk-nepuk pundak Rian, berusaha menenangkan dan berusaha menjelaskan keadaan Denis saat ini. “Kata dokter, Denis lagi koma Yan, dia gak bisa bertahan lebih lama lagi, tidak bisa genap 24 jam lagi, geger otaknya sangat parah, kecuali ada keajaiban dari Tuhan”
            Jia hampir terjatuh pingsan, adik Denis memapahnya duduk di samping Denis, ia berusaha bernafas dengan stabil, dadanya begitu sesak. Kedua tangannya menggenggam tangan Denis yang sudah sangat dingin. “Denis jelek…,apa yang kamu lakukan di sini, harusnya kita sekarang sedang ngerayaian ulang tahun kamu. Aku udah beliin sendal jepit buat kamu, sendal kamu udah ampir butut. Tapi kalo kamu kayak gini, gimana bisa kamu pake..”. Air matanya tidak berhenti tumpah melihat laki-laki yang selalu menguatkannya sekarang justru sedang terbaring lemah tidak bergerak sedikitpun. “Aku bodoh Nis, ternyata aku sayang sama kamu, ternyata aku cinta sama kamu. Aku minta maaf baru sadari semuanya, tapi please bangun dan kita bisa sama-sama! Aku yakin kamu juga cinta kan sama aku? Kamu denger aku kan?”
            Setetes air mata jatuh dari ujung mata kanan Denis, tampak begitu jernih. Jia menyadarinya dan kaget beberapa saat, “Kamu nangis Nis, berarti kamu dengar aku, ayo bangun Nis..” Semua orang di ruangan itu seperti mendapatkan sebuah pencerahan dengan jatuhnya air mata itu. Tapi tidak lama setelah itu pendeteksi detak jantung yang ada si sebelah Denis  berbunyi lurus, tiiiiiiiiiittttt….. Di layar itu hanya ada garis lurus yang terus berjalan, berbeda dengan garis sebelumnya yang tidak beraturan di sana. Jia mundur dan mengerang histeris, begitu pula dengan adik perempuan Denis. Dan untuk pertama kalinya Jia melihat Rian menitikkan air mata.
20 September, 4 hari setelah Denis Pergi
“Silahkan masuk kak, ini kamar kak Denis”
“Iya, makasih ya…”
 Jia melangkah ragu masuk ke dalam kamar bercat abu-abu itu, di sana ada ranjang yang sempit, benar-benar hanya untuk satu orang. Ranjang itu dibalut seprei dengan paduan warna hitam dan merah, ada banyak lambang AC Milan bertebaran di seprei itu. Benar-benar favorit elo Nis…
Sebuah lemari yang bersebelahan dengan sebuah meja dibukanya pelan. Di sana ia mendapati beberapa baju favorit Denis yang sering sekali ia pakai. Jemarinya menyentuh pakaian itu satu-satu, lalu terhenti di sebuah kaos oblong hitam, baju favorit elo Nis…, slide ingatannya pun berloncatan, di sana ia mendapati Denis yang tersenyum hangat sambil berdiri santai di pintu rumahnya dengan gayanya yang urakan ditambah sendal jepit kesayangannya, Denis yang tertawa lepas, Denis yang mengacak-acak rambutnya, Denis yang selalu apa adanya, tanpa pernah sok jaga image, tanpa pernah dibuat-buat.
Sebuah kamera Nikon  tergeletak di atas meja, Jia mencoba membukanya. Dia mendapati banyak foto Denis di sana, membuat air matanya tidak terasa membasahi pipinya. Ia berhenti menekan tombol gulirnya, ia melihat dua laki-laki yang saling berangkulan dan tersenyum lepas, Denis dan Rian, tampak sangat akrab. Dua laki-laki yang tanpa sengaja masuk ke dalam hidupnya secara bersamaan. Ia menekan tombolnya lagi, di sana ada dirinya seorang yang tertawa lepas, lalu di geser lagi ada dirinya yang tertidur lelap, dirinya yang menangis, dirinya yang sedang berteriak, dia ingat itu waktu di danau beberapa waktu yang lalu. Dasar Denis bodoh! Aku cinta sama kamu jelek…
“Kak, ini dompet kak Denis! Ada foto kakak di dalamnya, jadi waktu kakak tiba di rumah sakit aku langsung ngenalin kakak..”, adik perempuan Denis tiba-tiba mengagetkannya, ia pun membuka dompet itu, di sana memang benar ada foto dirinya, ia mengeluarkan foto itu, membaliknya dan di sana ada tulisan tangan Denis, I LOVE U JIA JELEK…
A Message For Denis In Heaven
Saat aku putus asa karena kehilangan sendi-sendi kehidupanku..
Kamu berhasil membuatku tertawa kembali…
Kamu selalu bilang dunia masih ingin melihatku tertawa lagi..
Aku percaya apa yang kamu katakan, aku pun tertawa kembali…
Kamu selalu apa adanya, aku menyukai dirimu yang seperti itu..
Kamu suka sendal jepit padahal orang lain tidak pernah percaya diri memakainya kemana-mana…
Kamu memang aneh…tapi aku suka keanehanmu, kamu ajaib Nis…
Aku bodoh yah Nis…harusnya aku menyadari perasaanku sejak dulu,
 harusnya kita bisa sama-sama sebelum kamu pergi , saling nyatakan cinta, saling mendekap..
Hari itu ulang tahun kamu…, ulang tahun kamu yang ke 21…
Aku bahkan belum sempat menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan menemanimu tiup lilin sebagai kekasihmu…, itu karena kamu terlalu cepat pergi..
Dalam waktu yang berdekatan…aku kehilangan 3 orang yang paling berharga di hidupku,
Ibu…
Ayah..
Denis…
Aku ingin kuat lagi, tapi aku tidak punya seseorang yang bisa menjadi penopangku lagi…
Rian lebih memilih menjauh dariku..aku tau perasaannya seperti apa dan aku tidak bisa memaksanya untuk tetap ada di sampingku..
Yang tersisa sekarang Cuma baju kaos hitam kamu, aku ambil dan gantung di kamarku, supaya setiap aku ingin menangis, aku bisa memandanginya dan tersenyum lagi mengingat  kata-katamu “Dunia masih mau liat kamu ketawa dan sewot lagi Ji’….”

4 komentar:

  1. 2 thumbs ur cerpen, keren keren...

    BalasHapus
  2. Nice post! :)

    Yuk, order Jeda Sejenak (Sebuah kumpulan esai dan puisi renungan) karya admin Rumah Sajak. Khusus buat followers, cukup 35rb (blm ongkir) saja, plus ttd penulisnya! Berminat? Hubungi diena_rifaah@yahoo.com. Makasih ya.. ^_^

    BalasHapus

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com