Jia
masih sibuk menekan tuts-tuts keyboard
laptopnya, berusaha merampungkan
tugas-tugas kuliahnya yang terbengkalai setelah mengasingkan diri selama satu
bulan di villa milik keluarganya yang
letaknya jauh di Bogor. Sesekali ia menyeruput teh hangat yang tidak bisa ia
pungkiri rasanya hambar walaupun telah ia seduh dengan cara yang sama seperti
biasanya. Semuanya memang terasa sangat berbeda. Harusnya pukul delapan malam
ibunya telah sibuk menyiapkan makan malam untuknya, kakaknya, dan juga Ayahnya.
Bunyi khas beling yang bergesekan dari dapur rumah itu harusnya telah
menemaninya mengerjakan tugas malam ini. Tapi mulai sekarang ia harus terbiasa
dengan suasana hening di rumah itu, tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya,
kakaknya sendiri lebih sering memenuhi tugas kantornya ke luar kota.
Berita
mengenai jatuhnya pesawat tepat di tengah laut yang ditumpangi Ayah dan Ibunya
sepulangnya dari Singapura telah membuatnya patah semangat, semangat hidupnya
telah ikut bersama jasad kedua orang tuanya yang hingga kini dinyatakan tidak
bisa diketemukan. Semuanya terjadi begitu saja dan sangat tiba-tiba, ia baru
saja mendengar suara ibunya di telepon saat bersiap-siap berangkat pulang,
memperingatinya untuk makan siang sepeti biasa lalu tidak lama kemudian ada
sebuah berita buruk yang membuat darahnya berhenti mengalir seketika.
Ting
deng..
Ting
deng…
Bel
rumahn9ya berbunyi dan membuatnya tersentak dari lamunannya di depan layar laptop yang dipenuhi dengan kolom-kolom
tabel hasil ketikannya sejak tadi. Mungkin karena suasana rumah yang
benar-benar hening membuat bunyi bel itu terdengar lebih nyaring dari biasanya.
Ting
deng..
Ting
deng...
Sekali
lagi, namun ia merasa belum bisa berdiri tegak dan membukakan pintu untuk
tamunya malam ini yang entah itu siapa.
Bel itu terus berbunyi tapi
sedikitpun tidak membuat Jia bergeming dari depan meja belajarnya. Sama sekali
bukan waktu yang tepat untuk bertamu disaat ia sedang sibuk mengerjakan
tugas-tugasnya yang terbengkalai, ditambah lagi dengan hatinya yang masih
hampa, tidak ada rasa. Handphone yang
sedari tadi tergeletak begitu saja di atas ranjangnya berdering, lagu The Only Exception dari Paramore, itu adalah nada pesannya. Jia
meraihnya, “1 pesan diterima” ia menekan tombol buka “Denis Jeleg”, ia
menekannya sekali lagi, “Apa kau masih memutuskan bermalas-malasan? Cepat buka
pintunya!”. Jia lalu melongos kesal, untuk
apa dia bertamu malam-malam begini? Aku tidak tertarik untuk bercanda sekarang.
Jia menekan kenop pintu lalu
menariknya pelan, ia mendapati Denis, sahabat yang dikenalnya sejak tiga tahun
belakangan, tersenyum manis menatapnya. Ia masih sama seperti sebulan yang
lalu, masih tetap dengan kebiasaannya memakai sandal jepit favoritnya, tubuhnya
yang tinggi kurus dibalut kaos oblong dan jeans yang sengaja dibuatnya sobek di
bagian lututnya selalu berhasil membuatnya tampak seperti anak punk. Denis memang urakan dan
berantakan, tapi justru itu yang selalu membuat Jia merasa nyaman dengan
sahabatnya yang satu itu, Jia merasa Denis adalah manusia yang tidak pernah
bergaya dibuat-buat, selalu apa adanya.
Denis
tanpa berkata apa-apa langsung menempatkan telapak tangannya di atas kepala Jia
lalu membuat rambut gadis itu berantakan. Jia masih memasang ekspresi mukanya
yang datar, tanpa protes seperti biasanya.
“Keluar
yuk !”
Jia
hanya mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepalanya.
“Ayolah,
lo tuh udah abisin waktu sebulan dengan terus-terusan sedih tanpa liat dunia
luar. Sekarang saatnya lo keluar dan liat kalo dunia masih mau liat lu ketawa, masih
mau liat lu sewot kayak dulu lagi!”
“lu
pikir gampang apa hidup tanpa orang tua?” Jia menghembuskan nafasnya kencang
dan spontan menunduk putus asa.
Denis
terkesiap mendengar tanggapan dari gadis itu, memperbaiki posisi berdirinya
lalu meraih kedua lengan Jia yang masih tertunduk. “Gue ngerti perasaan lo,
tapi sampai kapan lo kayak gini? Cukup sebulan aja lo luput dari pengawasan gue,
gak boleh lebih dari itu. Sekarang lo ganti baju trus kita keluar !”
Jia terpaksa menuruti kemauan Denis
dan membiarkan bebannya lepas dan berhamburan di sepanjang jalan. Denis
merasakan pegangan Jia di pinggangnya semakin keras, ia mengerti gadis itu
sekarang tengah berusaha melepas bebannya. Ia kemudian menambah gas motornya,
melaju kencang, menyalip-nyalip di sela kendaraan yang sudah agak lengang. Ia
tahu dengan begitu Jia pasti akan merasa lepas seiring angin kencang yang
menerpa tubuhnya.
Denis menghentikan motornya di depan
sebuah danau yang tenang, tempat itu cukup aman untuk melemparkan kekesalan
dengan berteriak kencang. Dan itulah alasan mengapa Denis membawa Jia kesitu.
“Ini
dimana sih Nis? Kok gue baru tau tempat ini!”
“Hehe…,
ini sebenarnya tempat rahasia gue sama___”
“Sama
Ninda. Iya kan?”
“Ah,
udahlah ! Masa lalu !”
“Makasih
yah.., lo masih mau peduli sama gue!”
“Ah,
lo kayak gak tau gue aja! Gue tuh gini-gini anaknya baik hati tau!” Denis
memicingkan kerah jaketnya dan tertawa lepas “hahahahahaha….”
“Hemmm…mulai
lagi…!”
“Sorry..sorry ! hhehhe.., ngomong-ngomong
lo kemana aja sih selama sebulan? Nomor lo juga gak pernah aktif, gue khawatir
tau sama lo!”
“Gue
cuma abis nenangin diri aja di Bogor!”
“Puncak?”
Jia
mengangguk mengiyakan pertanyaan Denis.
“Trus
lo udah ngasi tau Rian blom kalo lo sekarang udah ada di Jakarta?”
Jia
menggeleng dan masih melemparkan pandangannya ke tengah danau yang tenang.
“Rian
selalu ngira gue bawa lari pacarnya tau gak, dan itu lo!”
“Hah??
Masa sih?” Tanya Jia keheranan.
“Hahaha…gue
bercanda bego!”
Jia
kemudian melingkarkan kedua telapak tangannya di leher Denis, seperti ingin
mencekiknya karena telah mempermainkannya. Denis menikmati moment itu, ia diam-diam memang telah merindukan gadis periang itu,
ia bahkan hampir stress memikirkan
kondisi Jia yang tidak pernah bisa dihubungi selama sebulan. Dan nampaknya ia
sudah mulai pulih lagi. Denis tertawa lega dan rasanya ingin memeluk gadis itu
dan tidak akan melepasnya, dia berjanji tidak akan membiarkan gadis itu terluka
lagi, apapun akan dia lakukan. Walaupun ia hanya sahabatnya, walaupun ia tau
Jia mencintai laki-laki lain, dan itu adalah sahabatnya sendiri, Rian.
“Lo
masih juga sayang sama sandal jepit lo itu!”
“Hhahha…iya
donk, gue kan setia!”
“Gue
tau kenapa Ninda mutusin lo, pasti gara-gara dia jealous sama sandal jepit lo. Abis lo lebih sayang sih sama sandal
itu daripada dia! Payah lo!”
“Emang
iya!”
“Kurang
ajar lo, jangan-jangan lo juga lebih sayang sama tu sandal dari pada sahabat lo
yang manis ini!”
“Lo
tau aja! Hahahahahahaha…..” gak lah, gue
sayang banget sama lo bodoh…, bantahnya sendiri dalam hati.
“Denis
jeleeeeeeeeeeeekkkkkkkkk!!!!”
“Jelek-jelek
gini banyak yang naksir tau!!!!”
“Gue
gak!”
“Bo’ong
lo…!”
“Gue
kan punya Rian, ngapain gue naksir sama lo!”
Benar, Jia sudah punya Rian.., batin
Denis.
“Nis,
gue mau teriak nih.., boleh gak?”
Denis
mengangguk dan tersenyum manis tanda mengiyakan. Dan memang itulah tujuannya
membawa gadis itu ke sini.
Jia
berteriak sebisanya, memuntahkan semua beban dan kesedihan yang selama satu
bulan lebih menderanya. Angin malam di danau itu membawa muntahan itu menyebar
ke alam semesta dan alam semesta menerimanya dengan suka cita, tanpa protes dan
tanpa keluh. Denis memandanginya dan itulah yang setiap saat ia ingin lakukan,
entah apa yang membuatnya begitu mencintai gadis itu, padahal tidak ada yang special. Bahkan jika dibandingkan dengan
Ninda, Jia tidak lah lebih cantik.
*****
Jia benar-benar sudah merasa sedikit
pulih, ia memutuskan ke kampus dan menyetor tugas-tugasnya yang sudah menumpuk.
Entahlah akan diterima dosen-dosennya atau tidak, minimal dia sudah berusaha.
Rian menjemputnya dengan mobil Avart
merah, ia mengemudikannya dengan sangat gagah yang seketika membuat Jia takluk
untuk kesekian kalinya.
“Kamu
udah gak pa pa kan, yakin nih mau ngampus?”
“Iya,
aku baik-baik aja kok!”
Rian
tersenyum hangat, membuat Jia semakin yakin bahwa ia sudah tidak apa-apa lagi.
“Oya
Yan, Denis ulang tahunnya tanggal enam belas bulan depan kan?”
“Masa
sih, aku gak inget!”
“Hemm…ulang
tahun sahabatnya sendiri gak diinget. Gimana sih!”
“Haha..,
kita ngasi permen aja sebiji!”
“Gak,
aku mau ngasi dia sandal jepit baru, sandal jepitnya udah jelek tapi masih aja
dipake!”
Rian
tiba-tiba tercekat mendengar pernyataan kekasihnya barusan, ia tidak menyangka
Jia selama ini begitu memperhatikan Denis dengan sangat detail. Dari ulang
tahunnya yang ia sendiri lupa sampai sandal jepit yang dipakai Denis kemana
saja kecuali di kampus. Rian tidak menanggapi pernyataan Jia lagi, ia memilih
diam atau harus bersiap-siap mendengar kekasihnya itu berceloteh lebih banyak
lagi tentang Denis dan akan membuatnya terkejut lebih hebat lagi. Mobil itu
terus melaju hingga ia akhirnya sampai di kampusnya.
Denis sibuk mengutak-atik CPU
Komputer yang sudah dibongkarnya habis-habisan di laboratorium khusus jurusan
Teknik Elektro. Sesekali ia menggaruk lehernya karena pusing. Apa yang gue lakuin, napa jadi gak karuan
gini sih!
“Jelas
aja gak karuan, lo salah nyambungin tuh! Kebalik ,harusnya yang merah tu lu
sambungin kesitu tu!” sergah Rian tiba-tiba dari belakang Denis.
“Sialan,
lo ngagetin gue bego!”
“Lo
tu yang sialan, cewek gue lo apain, dia lebih tau lo daripada gue!”
“Abis
gue hipnotis, siapa suruh lo lengah merhatiin dia!”
“yaahh…sialan
lo!”
Kedua
laki-laki itu tertawa bersama, kembali mengerjakan CPU komputer yang telah
dibongkar sempurna itu. Tanpa mereka sadari di hati mereka ada gadis yang sama,
gadis yang membuat hidup mereka semakin berwarna dalam waktu yang bersamaan.
Walaupun dengan takdir yang berbeda, tentu saja, karena Rian lebih dulu bisa
menaklukkan hati gadis yang bernama Jia itu dibanding Denis yang hanya bisa
memperhatikan gadis itu diam-diam dengan statusnya sebagai sahabat.
Handphone
di saku celana Denis bergetar, tanda sms masuk. Ia merogoh kantong celananya
dan akhirnya berhasil mendapatkannya, “1 pesan diterima”, ia membukanya dan di
layar itu sangat jelas terlihat nama kontak “Jia jeleg”, sama persis seperti
nama Denis di kontak HP milik Jia, “Nis, nomor sandal lo berapa sih?”, sontak
Denis tidak bisa menahan tawanya, untuk apa gadis itu menanyakan nomor
sandalnya? Apa ia berencana membelikan sandal untuknya?
“Kenapa
lo Nis?” tanya Rian penasaran.
“Gak
kok, biasa sms lucu yang dishare
temen! Hhahhahha…”
“Oh…”
Denis
masih tersenyum-senyum sambil menekan-nekan tombol handphone nya,
40 jelekk, emangnya mau diapain?
Mau beliin gue yahh….
“Gak,
gue nanya aja soalnya gue mau beliin kace gue, kayaknya ukurannya sama sama
kaki lo”
Oh…kirain buat gue!
“GR
lo!”
Hhehhe…, lagi pula kalo lo mau
beliin gue nolak, sandal gue tersayang kan masih top markotop!
“Top
apaan, udah ampir butut gitu!”
Lo merhatiin juga ternyata, ketauan
lo…!!!”
“
:-P”
*****
16 September, Ulang tahun Denis
“Yan,
Denisnya beneran mau datang kan, aku bejet-bejet tuh anak kalo sampe gak
datang!” Celoteh Jia sambil menyusun rapi makanan-makanan di atas meja di taman
rumahnya.
“Iya,
datang kok, udah aku ingatkan berkali-kali tadi di kampus!”
“Pokoknya
hari ini mesti jadi hari besejarah buat dia!”
Rian
memperhatikan kekasihnya yang terus berceloteh sambil mempersiapkan semuanya
untuk Denis yang tepat berulang tahun hari ini. Semua persiapannya benar-benar
terlihat sangat sempurna, tidak ada cela sama sekali walaupun ditempat yang
sederhana dan hanya akan dirayakan bertiga. Dua lilin yang masing-masing
berbentuk angka 2 dan 1 terlihat tegak sempurna sekali di atas kue tart yang
indah. Ada minuman di botol yang tangkas dan tiga buah gelas mengkilap setelah
dilap beberapa kali oleh Jia.
“Udah
jam sepuluh kok Denis gak datang-datang juga sih Yan?”, Jia mulai gelisah,
matanya menjelajah tidak menentu dan jemarinya terlihat terus menekan tombol handphone nya.
Jelek..dimana sih? Gue nunggu lo
daritadi nih.. :’(
Tidak
dibalas, Jia mulai mengetik lagi,
Udah jam 10 kock belum
nyampe-nyampe juga sih jelek!!!
Jia
memutuskan untuk menelepon Denis, tersambung, lalu putus, tersambung lagi,
terputus lagi…
Ada
rasa yang lain di hati Rian melihat reaksi Jia, ia merasa kekasihnya terlalu
kelewatan memperhatikan sahabatnya itu. Tapi mencoba menekan sugesti
negatifnya. Tidak mungkin, Jia hanya
menganggap Denis sahabat, begitu pula dengan Denis.
“Yan,
kock kamu nyantai banget sih! Denis belum datang, apa dia baik-baik aja?”
“Ji’,
perasaan kamu ke Denis kayak gimana sih?” akhirnya pertanyaan itu keluar juga,
akhirnya pertanyaan yang sedari tadi memerangi jiwa Rian menghambur juga.
“Maksud
kamu?” Jia tampak tersentak kaget, sarafnya terasa menegang, tapi entah karena
apa. Harusnya pertanyaan itu sangat mudah ia jawab, cukup bilang aku gak punya
perasaan apa-apa ke Denis, selesai. Tapi kenapa ia merasa kerdil seketika
ketika mendengar pertanyaan itu dari kekasihnya sendiri? “Aku___”
“Aku
ngerasa perhatian kamu ke dia berlebihan, kamu bahkan tau soal Denis lebih dari
yang aku tau padahal aku ini sahabatnya. Kamu tau semua yang Denis suka, bahkan
kamu tau sandal Denis harusnya sudah ia ganti”
Jia
merasa terpojok dan ia juga baru menyadari semua perhatiannya pada Denis yang
berlebihan. Ia bahkan lupa bahwa selama ini ia lebih sering memperhatikan Denis
daripada Rian, ia lebih tau semua yang Denis suka dibanding apa yang Rian suka.
Bagaimana ini? Apa aku menyukai Denis atau bahkan mencintainya dibanding Rian?
Perasaan apa ini? Takut menyangkal?
“Aku
cuma perhatian sama dia, karena___, tentu saja, dia kan sahabatku!”
Rian
menangkap keraguan Jia saat menjawab pertanyaannya, mata gadis itu terlalu
jernih untuk menutupi kebohongannya, “Jujur aja Ji’, aku gak marah kock!”
“Aku
sama Denis____” Jia meremas tangannya hingga berkeringat gelisah.
Tiba-tiba
handphone Rian berdering keras, memecah
kegelisahannya dan juga Jia.
“Halo…
Ya..
Apa?
Jam
berapa?
Dimana?
Lo
telat banget ngasi tau gue!
Dia
dimana sekarang?”
Rian
menutup teleponnya, “Dasar bodoh!!”
Rian tampak ragu menatap gadis yang
menatapnya gelisah sekarang. Ia menghembuskan nafas kencang, “Ji’, ikut gue!”.
Ia menarik kencang lengan Jia yang masih mematung dengan tatapan kosong.
“Kenapa
Yan? Apa soal Denis? Denis kenapa Yan?”
Rian
tidak menjawab dan menyuruh Jia bergegas masuk ke dalam mobilnya. Gas pun ia
tancapkan serta merta dan membawa mobil itu melaju kencang tanpa ampun.
“Yan,
jawab aku, Denis kenapa?”
Rian
hanya mampu membisu di depan setiran mobil, ia mendengar Jia terisak, gadis itu
sudah tidak bisa menahan rasa gelisah dan takutnya. Ia mecoba meraih tangan Jia
dengan tangan kirinya, menggenggamnya erat, “Gak pa pa kock…, tenang yah”. Jia
semakin terisak dan hamburan air dari mata jernihnya tidak bisa ditahannya
lagi, ia benar-benar takut dengan segala kemungkinan terburuk yang dialami
Denis hingga Rian tiba-tiba menariknya, memintanya ikut, dan membawa mobil
dengan sangat kencang. Tapi tinggal menunggu beberapa jam lagi Denis ulang tahun…
Mobil
itu memasuki parkiran rumah sakit. Jia tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya
sesak, yang masuk rumah sakit adalah
Denis…benarkah? Mereka berdua pun berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat
(UGD), beberapa pasien korban kecelakaan ada di sana dengan luka-luka yang
cukup parah. Jia merasa ngeri dan ketakutannya semakin tidak terkendali lagi.
Bagaimana jika Denis luka parah seperti mereka? Bagaimana ini? Jika ini mimpi,
ia berharap akan segera terbangun sebelum ia mendapati Denis terluka parah di
sana. Tapi ini bukan mimpi, ia merasakan remasan genggaman Rian di tangan
kanannya dengan sangat nyata.
Rian
berhenti berlari, Jia pun tersengal-sengal dan mendongakkan wajahnya. Ia
mendapati Denis dengan kepala yang dibalut perban, lengan-lengannya penuh luka
parah, ditambah dengan alat bantu pernafasan di hidungnya. Di sana juga ada
Ayah Denis dan adiknya, ibunya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Apa
ini? Benarkah itu Denis? Kenapa di hari ulang tahunnya?
Rian
melepaskan genggamannya, ia melangkah maju dan meraih tangan sahabatnya yang
tengah terbaring lemah di hadapannya, tanpa suara, tanpa gerakan sama sekali.
“Dasar lo bego banget, bagaimana bisa lo nabrak truk? Sekarang gue mesti
ngapain Nis? Harusnya lo nyampe di pesta ulang tahun lo bukan nyampe di sini!” Rian tampak kalut dan
tidak bisa mengendalikan dirinya. Tio, teman Rian dan Denis, merangkulnya
mundur dan menepuk-nepuk pundak Rian, berusaha menenangkan dan berusaha
menjelaskan keadaan Denis saat ini. “Kata dokter, Denis lagi koma Yan, dia gak
bisa bertahan lebih lama lagi, tidak bisa genap 24 jam lagi, geger otaknya
sangat parah, kecuali ada keajaiban dari Tuhan”
Jia hampir terjatuh pingsan, adik
Denis memapahnya duduk di samping Denis, ia berusaha bernafas dengan stabil,
dadanya begitu sesak. Kedua tangannya menggenggam tangan Denis yang sudah
sangat dingin. “Denis jelek…,apa yang kamu lakukan di sini, harusnya kita
sekarang sedang ngerayaian ulang tahun kamu. Aku udah beliin sendal jepit buat
kamu, sendal kamu udah ampir butut. Tapi kalo kamu kayak gini, gimana bisa kamu
pake..”. Air matanya tidak berhenti tumpah melihat laki-laki yang selalu
menguatkannya sekarang justru sedang terbaring lemah tidak bergerak sedikitpun.
“Aku bodoh Nis, ternyata aku sayang sama kamu, ternyata aku cinta sama kamu.
Aku minta maaf baru sadari semuanya, tapi please
bangun dan kita bisa sama-sama! Aku yakin kamu juga cinta kan sama aku?
Kamu denger aku kan?”
Setetes air mata jatuh dari ujung
mata kanan Denis, tampak begitu jernih. Jia menyadarinya dan kaget beberapa
saat, “Kamu nangis Nis, berarti kamu dengar aku, ayo bangun Nis..” Semua orang
di ruangan itu seperti mendapatkan sebuah pencerahan dengan jatuhnya air mata
itu. Tapi tidak lama setelah itu pendeteksi detak jantung yang ada si sebelah
Denis berbunyi lurus,
tiiiiiiiiiittttt….. Di layar itu hanya ada garis lurus yang terus berjalan,
berbeda dengan garis sebelumnya yang tidak beraturan di sana. Jia mundur dan
mengerang histeris, begitu pula dengan adik perempuan Denis. Dan untuk pertama
kalinya Jia melihat Rian menitikkan air mata.
20 September, 4 hari setelah Denis
Pergi
“Silahkan
masuk kak, ini kamar kak Denis”
“Iya,
makasih ya…”
Jia melangkah ragu masuk ke dalam kamar bercat
abu-abu itu, di sana ada ranjang yang sempit, benar-benar hanya untuk satu
orang. Ranjang itu dibalut seprei dengan paduan warna hitam dan merah, ada
banyak lambang AC Milan bertebaran di seprei itu. Benar-benar favorit elo Nis…
Sebuah
lemari yang bersebelahan dengan sebuah meja dibukanya pelan. Di sana ia
mendapati beberapa baju favorit Denis yang sering sekali ia pakai. Jemarinya
menyentuh pakaian itu satu-satu, lalu terhenti di sebuah kaos oblong hitam, baju favorit elo Nis…, slide ingatannya
pun berloncatan, di sana ia mendapati Denis yang tersenyum hangat sambil
berdiri santai di pintu rumahnya dengan gayanya yang urakan ditambah sendal
jepit kesayangannya, Denis yang tertawa lepas, Denis yang mengacak-acak
rambutnya, Denis yang selalu apa adanya, tanpa pernah sok jaga image, tanpa pernah dibuat-buat.
Sebuah
kamera Nikon tergeletak di atas meja, Jia mencoba
membukanya. Dia mendapati banyak foto Denis di sana, membuat air matanya tidak
terasa membasahi pipinya. Ia berhenti menekan tombol gulirnya, ia melihat dua
laki-laki yang saling berangkulan dan tersenyum lepas, Denis dan Rian, tampak
sangat akrab. Dua laki-laki yang tanpa sengaja masuk ke dalam hidupnya secara
bersamaan. Ia menekan tombolnya lagi, di sana ada dirinya seorang yang tertawa
lepas, lalu di geser lagi ada dirinya yang tertidur lelap, dirinya yang
menangis, dirinya yang sedang berteriak, dia ingat itu waktu di danau beberapa
waktu yang lalu. Dasar Denis bodoh! Aku
cinta sama kamu jelek…
“Kak,
ini dompet kak Denis! Ada foto kakak di dalamnya, jadi waktu kakak tiba di
rumah sakit aku langsung ngenalin kakak..”, adik perempuan Denis tiba-tiba
mengagetkannya, ia pun membuka dompet itu, di sana memang benar ada foto
dirinya, ia mengeluarkan foto itu, membaliknya dan di sana ada tulisan tangan
Denis, I LOVE U JIA JELEK…
A Message For Denis In Heaven
Saat
aku putus asa karena kehilangan sendi-sendi kehidupanku..
Kamu
berhasil membuatku tertawa kembali…
Kamu
selalu bilang dunia masih ingin melihatku tertawa lagi..
Aku
percaya apa yang kamu katakan, aku pun tertawa kembali…
Kamu
selalu apa adanya, aku menyukai dirimu yang seperti itu..
Kamu
suka sendal jepit padahal orang lain tidak pernah percaya diri memakainya kemana-mana…
Kamu
memang aneh…tapi aku suka keanehanmu, kamu ajaib Nis…
Aku
bodoh yah Nis…harusnya aku menyadari perasaanku sejak dulu,
harusnya kita bisa sama-sama sebelum kamu
pergi , saling nyatakan cinta, saling mendekap..
Hari
itu ulang tahun kamu…, ulang tahun kamu yang ke 21…
Aku
bahkan belum sempat menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan menemanimu tiup
lilin sebagai kekasihmu…, itu karena kamu terlalu cepat pergi..
Dalam
waktu yang berdekatan…aku kehilangan 3 orang yang paling berharga di hidupku,
Ibu…
Ayah..
Denis…
Aku
ingin kuat lagi, tapi aku tidak punya seseorang yang bisa menjadi penopangku
lagi…
Rian
lebih memilih menjauh dariku..aku tau perasaannya seperti apa dan aku tidak
bisa memaksanya untuk tetap ada di sampingku..
Yang
tersisa sekarang Cuma baju kaos hitam kamu, aku ambil dan gantung di kamarku,
supaya setiap aku ingin menangis, aku bisa memandanginya dan tersenyum lagi
mengingat kata-katamu “Dunia masih mau
liat kamu ketawa dan sewot lagi Ji’….”
2 thumbs ur cerpen, keren keren...
BalasHapusmakasih... :)
Hapussyukaaa ^^
BalasHapusNice post! :)
BalasHapusYuk, order Jeda Sejenak (Sebuah kumpulan esai dan puisi renungan) karya admin Rumah Sajak. Khusus buat followers, cukup 35rb (blm ongkir) saja, plus ttd penulisnya! Berminat? Hubungi diena_rifaah@yahoo.com. Makasih ya.. ^_^