Rabu, 22 Februari 2012

LOSE (2) *cerita bersambung*



Jakarta, Agustus 2007

             Diakhir bulan Agustus inilah hari pertama bagi Rin maupun Nisa untuk memasuki jenjang kuliah. Keduanya berhasil lolos di Universitas Indonesia. Rin di jurusan Teknik Arsitektur, sedangkan Nisa di jurusan Ekonomi Akuntansi. Baju putih dan rok hitam telah dipersiapkannya sejak malam hari. Itu adalah seragam wajib untuk mahasiswa baru di minggu pertamanya.
            “Eh Rin, putri lelet kemana sih. Udah jam segini belum keluar-keluar juga dari sarangnya. Kakak telat nih !” tanya Nindi bersungut-sungut. Leher panjangnya naik turun seperti telah dipasangi per. Slopnya yang berhak tinggi dan kurus itu sudah semakin sering dihentaknya pagi itu. Mungkin akan patah sebentar lagi jika Nisa belum keluar juga dalam waktu sepuluh menit.

            “Iya nih. Tunggu bentar yah kak, kayaknya tu anak nggak bakalan sadar kalau nggak dibangunin dari khayalan panjangnya”. Rin tergesa dengan langkah kaki yang semakin melebar, masuk kembali ke dalam rumah yang menjadi tempat labuhan terakhirnya setelah kejadian di bulan Februari tahun lalu itu. Sepatu hitamnya semakin terdengar menghentak ketika menaiki anak tangga yang sedikit serong ke lantai dua.
            “Nis, lama banget sih. Kita kan hari ini mesti cepet ke kampus. Lu nggak mau kan kalau kita dihukum senior gara-gara telat dihari pertama kuliah!”
            “Iya, bentar! Ini juga udah cepet kock!” balas Nisa dengan nada protes.
“Jiaaahhhh…itu mah cepet versi siput Nis! Ayo donk cepetan, kak Nindi juga udah gondokan tuh nunggu. Dia mencak-mencak dari tadi. Hari ini kan juga hari pertama dia ngantor”. Tanpa basa-basi lagi Rin menarik tangan Nisa yang masih sibuk memperbaiki kerah baju putihnya. Nyaris jatuh, Nisa berteriak histeris dan berhasil membuat tangan Rin spontan terlepas dari pergelangan tangannya yang memerah.
“Gendang telinga gue ampir pecah tau gak sih Nis!” bentak Rin sambil meraba telinga kanannya.
“Ya kamu juga sih, coba kalau sampai tadi aku jatuh, trus kepala aku kejedot di lantai, trus pingsan, trus….”
“Halahhh…., nggak ada waktu buat basa-basi deh, ayo cepetan turun. Kak Nindi udah nunggu setengah jam yang lalu tuh!”
Kedua gadis itu berlomba menuruni tangga. Tapi dengan semangat yang membumbung tinggi untuk kuliah dihari pertama, Rin berhasil lebih dulu sampai di tempat mobil hitam itu terpakir sebelum ia masuk. Semangat itu kemudian seketika pecah berkeping-keping, Rin berdiri kaku dan kedua bibirnya mengatup. Mobil hitam itu tidak ada lagi di sana. Rin tersadar, ia terlalu lama beradu dengan Nisa di dalam rumah dan membuat Nindi jengah menunggu. Selang beberapa detik kemudian, Nisa dengan ngos-ngosan sampai di tempat Rin berdiri kaku.
“Loh, kak Nindi nya mana Rin?”, tanya Nisa sambil menunduk dan memegangi lututnya dengan nafas yang seperti akan terputus sebentar lagi.
“Selamat Nis, lu berhasil bikin kita telat hari ini!”                                          
Nisa lalu tersadar, ia melakukan kesalahan besar hari ini. Mereka berdua benar-benar akan terlambat dan entah apa yang akan dilakukan senior padanya dan Rin. “Maaf yah Rin, kita naik taksi aja deh kalau gitu!”
“Terserah…”, jawab Rin dengan nada suara yang melemah. Ada rasa putus asa di dadanya.
“Mau kemana ini neng?” tanya supir taksi yang baru saja menjemput dua mahasiswi baru dengan air muka yang tidak bersahabat itu.
“UI pak”, sahut keduanya kompak.
“Wah…,neng berdua beruntung atuh bisa masuk Universitas besar kayak UI, jarang-jarang loh neng ada yang bisa masuk disitu. Jurusan apa atuh neng?” tanyanya kembali dengan logat jawa yang semakin kental.
“Ekonomi pak”, jawab Nisa dengan senyuman manis khasnya.
“Kalau enneng yang di sebelahnya?”
“Oh, neng manis yang disebelahku ini calon Insinyur pak. Teknik Arsitektur”, Nisa kembali melayani pertanyaan supir taksi itu sambil menggoda Rin dengan sebutan neng manis. Namun nampaknya Rin masih tetap kukuh mempertahankan air muka tak bersahabatnya itu. Semangatnya yang tadi pagi siap meledak sudah telanjur menciut akibat perbuatan Nisa yang sedari tadi terus mencoba membujuknya.
Supir taksi itu kembali bertanya dengan penuh selidik, “Teknik Airektur itu apa toh neng, baru denger bapak mah”.
Ke dua gadis itu spontan terbahak tak tertahan, “Wahahahahahahahaha…..”. bibir Rin yang tadinya mengatup dengan refleks menganga dan tenggorokannya mengeluarkan suara yang seketika memecah suasana serba salah yang dibawanya sejak dari rumah.
Supir taksi itu sepertinya terkaget-kaget dan hampir menyerempet seseorang yang hendak menyeberang jalan, “Aduh neng, kenapa toh neng, bikin saya kaget!”
“Bukan Teknik Airektur atuh pak, tapi Teknik Arsitektur, kerjanya merancang bangunan sebelum beneran dibuat”, sergah Rin dengan meniru logat supir taksi yang terkesan lugu itu. Diikuti dengan tawa kecil Nisa di sampingnya.
Keterlambatan pagi itu sejenak terlupa. Padahal jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan Rin sudah menunjukkan pukul 07:45.  Harusnya mereka sudah sampai di kampus empat puluh lima menit yang lalu.
Rin berlari menuju gedung fakultasnya dan tak lupa menyambar jam tangan dengan mata bulatnya, sudah menunjukkan pukul 08:20. Ia telah terlambat satu jam dua puluh menit. Kaki kecil itu dipaksa berlari kencang tanpa jeda, diiringi rasa takut pada senior yang seperti membuntutinya.  
“Hei bodoh…!” Teriak seorang lelaki yang asal suaranya tepat berada di balik punggung kecil Rin. Dengan gelagat gugup, ia membalikkan badannya dan menunduk. Di sana ada sepatu hitam converse dengan bis warna putih di pinggirannya, ikatannya tampak tidak rapi. Salah sedikit akan dinjak dan membuatnya jatuh terpingkal.
“Woi…jangan nunduk, gue nggak niat sama sekali liat poni lugu lu itu. Memuakkan tau nggak!”.
“Nggak tau kak…”, jawab Rin pelan sambil menengadahkan wajahnya dengan perasaan yang campur aduk, takut dan jengkel.
“Wah…ngelawan lu yah. Emangnya lu pikir____”, tiba-tiba tenggorokannya tercekat. Suara serak yang agak mengagetkan Rin sedari tadi tiba-tiba menghilang.
Rin pun mulai berani sedikit demi sedikit menangkap tubuh lelaki dengan mata bulatnya, tatapannya menjalar dan menelanjangi. Lelaki bersuara serak itu berpostur tinggi kurus, kakinya tampak jenjang menjuntai ke bawah, dibalut  jeans berwarna biru yang sudah memudar. Ia berambut panjang sebahu yang diurainya begitu saja, tampak sedikit urakan. Hidungnya mancung dan ___. Tatapannya terhenti ketika mendapati sepasang mata tajam milik lelaki itu tengah menatapnya begitu lekat. Suasana seketika menjadi hening, suara di sekitar menjadi seperti tak tertangkap untuk didengar oleh dua insan yang tengah saling menatap penuh rasa keanehan. Angin pun serasa membelai mesra sekujur tubuh yang terpaku itu.
“Fian…, waktunya lu tuh bicara di depan mahasiswa-mahasiswa baru!”, sentak seseorang yang gayanya lebih berantakan lagi sambil merangkul bahu lelaki yang baru Rin tahu ternyata bernama Fian.
Oh…nama senior yang menjengkelkan ini namanya Fian toh. Heh…. Bisik Rin dalam hati.
“Oke, tunggu bentar gi’!”. Fian kemudian melepas rangkulan lelaki berantakan yang membuyarkan suasana aneh tadi. “Eh poni, kamu tau kan kalo kamu telat hampir dua jam?”
“Gini loh kak, tadi temen aku tuh lelet banget jadi aku juga ikutan telat deh. Nggak sengaja kock kak, beneran !”. Rin mencoba menjelaskan kenapa ia terlambat. Ia tampak ingin meyakinkan Fian dengan mengacungkan dua jari kecilnya itu.
“Ahhh…saya nggak nanya apa sebabnya. Pokoknya apa pun alasannya kalo telat, ya udah telat aja. Nggak usah banyak alasan. Nggak pake Id card lagi! Kamu melanggar dua aturan sekaligus ! Nama kamu siapa?”
“Rin. Arini Puspita”, jawab Rin dengan kepala yang kembali menunduk.
“Ya sudah, kamu masuk ke aula sekarang. Tapi ingat, setelah itu kamu harus menghadap sama saya”. Fian kemudian berlalu meninggalkan Rin yang nyalinya benar-benar sudah menciut seperti balon besar yang mengempis.

                                                   *TO BE CONTINUE*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com