Jakarta,
Agustus 2007
Diakhir bulan Agustus inilah hari pertama bagi
Rin maupun Nisa untuk memasuki jenjang kuliah. Keduanya berhasil lolos di
Universitas Indonesia. Rin di jurusan Teknik Arsitektur, sedangkan Nisa di
jurusan Ekonomi Akuntansi. Baju putih dan rok hitam telah dipersiapkannya sejak
malam hari. Itu adalah seragam wajib untuk mahasiswa baru di minggu pertamanya.
“Eh Rin, putri
lelet kemana sih. Udah jam segini belum keluar-keluar juga dari sarangnya.
Kakak telat nih !” tanya Nindi bersungut-sungut. Leher panjangnya naik turun
seperti telah dipasangi per. Slopnya yang berhak tinggi dan kurus itu sudah
semakin sering dihentaknya pagi itu. Mungkin akan patah sebentar lagi jika Nisa
belum keluar juga dalam waktu sepuluh menit.
“Iya nih. Tunggu bentar
yah kak, kayaknya tu anak nggak bakalan sadar kalau nggak dibangunin dari
khayalan panjangnya”. Rin tergesa dengan langkah kaki yang semakin melebar,
masuk kembali ke dalam rumah yang menjadi tempat labuhan terakhirnya setelah
kejadian di bulan Februari tahun lalu itu. Sepatu hitamnya semakin terdengar
menghentak ketika menaiki anak tangga yang sedikit serong ke lantai dua.
“Nis, lama banget
sih. Kita kan hari ini mesti cepet ke kampus. Lu nggak mau kan kalau kita
dihukum senior gara-gara telat dihari pertama kuliah!”
“Iya, bentar! Ini
juga udah cepet kock!” balas Nisa dengan nada protes.
“Jiaaahhhh…itu mah cepet versi siput Nis! Ayo
donk cepetan, kak Nindi juga udah gondokan tuh nunggu. Dia mencak-mencak dari
tadi. Hari ini kan juga hari pertama dia ngantor”. Tanpa basa-basi lagi Rin
menarik tangan Nisa yang masih sibuk memperbaiki kerah baju putihnya. Nyaris
jatuh, Nisa berteriak histeris dan berhasil membuat tangan Rin spontan terlepas
dari pergelangan tangannya yang memerah.
“Gendang telinga gue ampir pecah tau gak sih
Nis!” bentak Rin sambil meraba telinga kanannya.
“Ya kamu juga sih, coba kalau sampai tadi aku
jatuh, trus kepala aku kejedot di lantai, trus pingsan, trus….”
“Halahhh…., nggak ada waktu buat basa-basi
deh, ayo cepetan turun. Kak Nindi udah nunggu setengah jam yang lalu tuh!”
Kedua gadis itu berlomba menuruni tangga.
Tapi dengan semangat yang membumbung tinggi untuk kuliah dihari pertama, Rin
berhasil lebih dulu sampai di tempat mobil hitam itu terpakir sebelum ia masuk.
Semangat itu kemudian seketika pecah berkeping-keping, Rin berdiri kaku dan
kedua bibirnya mengatup. Mobil hitam itu tidak ada lagi di sana. Rin tersadar,
ia terlalu lama beradu dengan Nisa di dalam rumah dan membuat Nindi jengah
menunggu. Selang beberapa detik kemudian, Nisa dengan ngos-ngosan sampai di
tempat Rin berdiri kaku.
“Loh, kak Nindi nya mana Rin?”, tanya Nisa
sambil menunduk dan memegangi lututnya dengan nafas yang seperti akan terputus
sebentar lagi.
“Selamat
Nis, lu berhasil bikin kita telat hari ini!”
Nisa lalu tersadar, ia melakukan kesalahan
besar hari ini. Mereka berdua benar-benar akan terlambat dan entah apa yang
akan dilakukan senior padanya dan Rin. “Maaf yah Rin, kita naik taksi aja deh
kalau gitu!”
“Terserah…”, jawab Rin dengan nada suara yang
melemah. Ada rasa putus asa di dadanya.
“Mau kemana ini neng?” tanya supir taksi yang
baru saja menjemput dua mahasiswi baru dengan air muka yang tidak bersahabat
itu.
“UI pak”, sahut keduanya kompak.
“Wah…,neng berdua beruntung atuh bisa masuk
Universitas besar kayak UI, jarang-jarang loh neng ada yang bisa masuk disitu.
Jurusan apa atuh neng?” tanyanya kembali dengan logat jawa yang semakin kental.
“Ekonomi pak”, jawab Nisa dengan senyuman
manis khasnya.
“Kalau enneng yang di sebelahnya?”
“Oh, neng manis yang disebelahku ini calon
Insinyur pak. Teknik Arsitektur”, Nisa kembali melayani pertanyaan supir taksi
itu sambil menggoda Rin dengan sebutan neng manis. Namun nampaknya Rin masih
tetap kukuh mempertahankan air muka tak bersahabatnya itu. Semangatnya yang
tadi pagi siap meledak sudah telanjur menciut akibat perbuatan Nisa yang sedari
tadi terus mencoba membujuknya.
Supir taksi itu kembali bertanya dengan penuh
selidik, “Teknik Airektur itu apa toh neng, baru denger bapak mah”.
Ke dua gadis itu spontan terbahak tak
tertahan, “Wahahahahahahahaha…..”. bibir Rin yang tadinya mengatup dengan refleks
menganga dan tenggorokannya mengeluarkan suara yang seketika memecah suasana
serba salah yang dibawanya sejak dari rumah.
Supir taksi itu sepertinya terkaget-kaget dan
hampir menyerempet seseorang yang hendak menyeberang jalan, “Aduh neng, kenapa
toh neng, bikin saya kaget!”
“Bukan Teknik Airektur atuh pak, tapi Teknik
Arsitektur, kerjanya merancang bangunan sebelum beneran dibuat”, sergah Rin
dengan meniru logat supir taksi yang terkesan lugu itu. Diikuti dengan tawa
kecil Nisa di sampingnya.
Keterlambatan pagi itu sejenak terlupa.
Padahal jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan Rin
sudah menunjukkan pukul 07:45. Harusnya
mereka sudah sampai di kampus empat puluh lima menit yang lalu.
Rin berlari menuju gedung fakultasnya dan tak
lupa menyambar jam tangan dengan mata bulatnya, sudah menunjukkan pukul 08:20.
Ia telah terlambat satu jam dua puluh menit. Kaki kecil itu dipaksa berlari
kencang tanpa jeda, diiringi rasa takut pada senior yang seperti membuntutinya.
“Hei bodoh…!” Teriak seorang lelaki yang asal
suaranya tepat berada di balik punggung kecil Rin. Dengan gelagat gugup, ia
membalikkan badannya dan menunduk. Di sana ada sepatu hitam converse dengan bis
warna putih di pinggirannya, ikatannya tampak tidak rapi. Salah sedikit akan
dinjak dan membuatnya jatuh terpingkal.
“Woi…jangan nunduk, gue nggak niat sama
sekali liat poni lugu lu itu. Memuakkan tau nggak!”.
“Nggak tau kak…”, jawab Rin pelan sambil
menengadahkan wajahnya dengan perasaan yang campur aduk, takut dan jengkel.
“Wah…ngelawan lu yah. Emangnya lu pikir____”,
tiba-tiba tenggorokannya tercekat. Suara serak yang agak mengagetkan Rin sedari
tadi tiba-tiba menghilang.
Rin pun mulai berani sedikit demi sedikit
menangkap tubuh lelaki dengan mata bulatnya, tatapannya menjalar dan
menelanjangi. Lelaki bersuara serak itu berpostur tinggi kurus, kakinya tampak
jenjang menjuntai ke bawah, dibalut jeans
berwarna biru yang sudah memudar. Ia berambut panjang sebahu yang diurainya
begitu saja, tampak sedikit urakan. Hidungnya mancung dan ___. Tatapannya
terhenti ketika mendapati sepasang mata tajam milik lelaki itu tengah
menatapnya begitu lekat. Suasana seketika menjadi hening, suara di sekitar
menjadi seperti tak tertangkap untuk didengar oleh dua insan yang tengah saling
menatap penuh rasa keanehan. Angin pun serasa membelai mesra sekujur tubuh yang
terpaku itu.
“Fian…, waktunya lu tuh bicara di depan
mahasiswa-mahasiswa baru!”, sentak seseorang yang gayanya lebih berantakan lagi
sambil merangkul bahu lelaki yang baru Rin tahu ternyata bernama Fian.
Oh…nama
senior yang menjengkelkan ini namanya Fian toh. Heh…. Bisik Rin
dalam hati.
“Oke, tunggu bentar gi’!”. Fian kemudian
melepas rangkulan lelaki berantakan yang membuyarkan suasana aneh tadi. “Eh
poni, kamu tau kan kalo kamu telat hampir dua jam?”
“Gini loh kak, tadi temen aku tuh lelet
banget jadi aku juga ikutan telat deh. Nggak sengaja kock kak, beneran !”. Rin
mencoba menjelaskan kenapa ia terlambat. Ia tampak ingin meyakinkan Fian dengan
mengacungkan dua jari kecilnya itu.
“Ahhh…saya nggak nanya apa sebabnya. Pokoknya
apa pun alasannya kalo telat, ya udah telat aja. Nggak usah banyak alasan.
Nggak pake Id card lagi! Kamu melanggar dua aturan sekaligus ! Nama kamu siapa?”
“Rin. Arini Puspita”, jawab Rin dengan kepala
yang kembali menunduk.
“Ya sudah, kamu masuk ke aula sekarang. Tapi
ingat, setelah itu kamu harus menghadap sama saya”. Fian kemudian berlalu
meninggalkan Rin yang nyalinya benar-benar sudah menciut seperti balon besar
yang mengempis.
*TO BE CONTINUE*
*TO BE CONTINUE*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar