Kai masih tidak terbiasa hidup di
Indonesia. Walaupun telah berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa Indonesia juga
kampung halamannya, tanah kelahiran Ibu nya. Rasa bersalah pada Ayah yang
ditinggalkannya seorang diri di Tokyo masih bergentanyangan dan terus
menggelayuti jiwanya. Ia semakin menjadi sosok pendiam, hidupnya seperti
ditutup rapat-rapat untuk mendapatkan kisah baru di tempat pijakannya yang baru
pula.
Kai
untuk pertama kalinya menjadi seorang mahasiswa seperti Rin. Di Universitas
yang sama tapi di fakultas dan jurusan yang berbeda. Jika Rin berhasil menjadi
seorang calon arsitek, maka Kai berhasil menjadi seorang calon sarjana ekonomi.
Salah, Kai tidak pernah merasa berhasil masuk dijurusan itu, melainkan berhasil
memenuhi kemauan Ibunya lagi setelah memaksanya meninggalkan Ayah dan segala
kehidupannya di Tokyo. Kai sama sekali tidak tertarik menjadi seorang sarjana
ekonomi atau akuntan, ia justru ingin menjadi seorang sastrawan handal. Apalagi
sejak kecil, Kai sangat tertarik dengan bahasa Indonesia yang kerap kali
digunakan ibunya saat bercakap dengan kerabatnya di Jakarta dengan bahasa
Indonesia. Kai cukup lancar menggunakannya, jadi tidak ada kesulitan yang
berarti untuknya berinteraksi dengan orang-orang yang baru ditemuinya. Lagu
kebangsaan Indonesia Raya pun ia hafal, itu adalah hasil ajaran Ibunya sebagai
pengingat bahwa Kai juga memiliki darah Indonesia.
Wajah
oriental Kai cukup terkenal di kalangan mahasiswa baru Ekonomi sebagai
mahasiswa paling tampan. Seketika namanya menjadi tidak asing lagi di
jurusannya walaupun baru hari pertama kuliah.
*****
Rin
duduk di salah satu ayunan yang bergoyang pelan di sore itu. Beberapa burung
merpati bergerombolan indah dan sesekali mendarat di atas rerumputan yang
potongannya sudah agak berantakan. Mang Munir memang sudah satu minggu cuti
pulang kampung dan tidak ada lagi yang merawat taman belakang rumah itu. Merpati-merpati
itu tampak putih, bersih, dan cantik. Cukup menyita perhatian Rin yang sedari
tadi duduk diam dengan muka masamnya. Catatan kecil dengan sampul biru muda dan
sebuah pulpen tampak menganggur di pangkuan Rin, jemari kecilnya masih belum
melancarkan aksinya seperti di sore hari sebelumnya.
Nisa
berjalan pelan di belakangnya, berencana mengagetkan Rin yang tampak melamun.
Ke dua tangannya pun akhirnya sampai di pundak Rin diikuti dengan suara yang
sebenarnya tidak akan pernah mengagetkan Rin, terlalu lemah dan lembut. Ia
akhirnya memutuskan duduk di ayunan sebelah Rin sambil tersenyum seakan
menikmati suasana di taman itu seorang diri.
Menyadari
kehadiran sahabatnya yang menandakan ia tidak sendiri lagi di taman itu,
seketika lamunan panjangnya menjadi buyar.
“Kayaknya
ada yang bahagia nih, dateng-dateng udah senyum-senyum sendiri. Bagi dong
bahagianya, gue lagi bete’ nih”, seru Rin dengan kembali menjadi psikiater
dadakan yang tahu segala hal hanya dengan melihat gelagat sahabatnya.
“Nggak
apa-apa kock, aku cuma seneng aja. Ternyata kuliah itu asik yah. Kamu kenapa
bete’? Ada senior yang rese’ yah? Atau__”
“Bukan
cuma rese’, gue malah curiga dia itu keturunan bangsa Negara Api, saudaranya
pangeran Suko yang jahat itu”, sergah Rin memotong kalimat yang keluar dari
tenggorokan Nisa yang belum sempat diselesaikan.
“Hem…ini nih
akibatnya doyan nonton Avatar tiap hari, semua orang disama-samain sama tokoh
kartun yang nggak nyata itu! Emangnya dia siapa sih Rin? Senior kan?” Nisa
kembali menebak-nebak pikiran sahabatnya dengan memperhatikan garis-garis
mukanya yang semakin mengerut.
“Iya…”,
jawab Rin singkat.
“Namanya
siapa?”
“Dia
ketua himpunan Nis, namanya Fian! Haduhh…bener-bener mirip pangeran Suko tau
nggak, rambut gonrongnya dan raut muka garangnya. Yang bikin beda tuh cuma
matanya doank. Pangeran Suko kan mata sebelahnya ada bekas luka bakar tuh, kalo
dia belom ada”, Rin tampak serius menggambarkan sosok Fian di hadapan
sahabatnya yang masih saja tersenyum-senyum sendiri.
Nisa
hanya tertawa melihat Rin yang kelihatan hiperaktif menjelaskan semuanya.
Tangan kurusnya terus bergoyang memperagakan tingkah laku Fian.
Tanpa
menunggu tanggapan dari Nisa, Rin kembali melanjutkan penjelasannya, “Nanti gue
deh yang ngasih luka bakar di matanya itu, biar dia tau rasa. Seorang Rin
dibikin repot setengah mati gitu, heh…mau cari mati dia!”
Nisa
menarik buku catatan dan pulpen dari pangkuan Rin, ia membuka lembaran yang
kosong dan mulai menuliskan sesuatu. Rin memperhatikan itu dan menunggu Nisa
selesai menulis. Ia tampak sangat bahagia dan tidak bisa mengungkapkan
penyebabnya secara langsung seperti Rin yang mampu menjelaskan semuanya secara gamblang
di hadapannya. Mungkin karena rasa malu pada dirinya sendiri. Nisa selesai
menulis, buku catatan itu dikembalikan pada Rin dengan tetap memasang senyuman
manisnya. Halaman itu dibiarkan terbuka, pertanda Nisa menginginkan Rin
membacanya.
Hari
ini aku ketemu sama seseorang..
Seseorang
yang bikin aku kagum dan ngerasain yang namanya love at the first sight…
Dia
juga mahasiswa baru Fakultas Ekonomi, dia sekelas sama aku…
Dia
tampan sekali…
Belakangan
aku tahu, ternyata namanya “KAI”
“Oh,
jadi sahabat gue ini lagi jatuh cinta toh, pantes dari tadi kerjanya
senyum-senyum sendiri, hihihi…”, kata Rin menunjukkan reaksinya terhadap
catatan Nisa di buku catatannya. Cekikikannya seperti tak tertahan. Ia kemudian
melanjutkan, “Oyah, kock namanya aneh sih Nis? Kai?”
“Iya
bener, namanya Kai, ganteng banget deh pokoknya. Kayaknya dia juga anaknya baik
kock”, jawab Nisa tetap dengan senyum lepasnya. Kai benar-benar sudah
menyihirnya dari gadis lembut menjadi gadis centil.
“Tapi
namanya tetep aja aneh, ubah huruf K jadi T aja, hasilnya jadi Tai.
Hahahahahahahahahaha…..”. Rin seperti mendapatkan bahan ledekan baru sekaligus
pengobat rasa muaknya terhadap Fian yang dibawanya dari kampus sampai rumah.
“Ya
emang sih…, kamu nggak akan pernah ngerti yang namanya jatuh cinta. Kamu kan
nggak pernah punya pacar. Yah…aku ngertilah”, balas Nisa mengejek.
Tidak
ingin menerima kekalahan, Rin terus melancarkan ejekannya pada Nisa, “Pokoknya
Tai…Tai…Tai…Tai…”.
Nisa
mulai merasa jengah dan muak dengan ejekan itu, ia memilih diam dan memasang
ekspresi datar. Sadar akan itu, Rin mulai berhenti dan mulai membujuk
sahabatnya yang cenderung sensitive
itu.
“Yah…jangan
manyun donk Nis, canda doank kock. Ya udah deh…Kai bukan Tai”. Tidak
mendapatkan tanggapan dari Nisa, Rin melanjutkan, “Oyah.., lu tadi make buku catatan gue yah. Ya udah,
sekarang buku catatan ini bebas deh lu pake juga. Jadi…,ini catatan kita
berdua. Oke?” Nisa hanya mengiyakannya dengan mengangguk dan suasana di taman
belakang rumah bercat krem itu kembali heboh karena gelak tawa dua gadis yang
baru saja resmi menjadi mahasiswi itu.
*TO BE CONTINUE*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar