Minggu, 26 Februari 2012

LOSE (4) *cerita bersambung*


          
            Kai masih tidak terbiasa hidup di Indonesia. Walaupun telah berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa Indonesia juga kampung halamannya, tanah kelahiran Ibu nya. Rasa bersalah pada Ayah yang ditinggalkannya seorang diri di Tokyo masih bergentanyangan dan terus menggelayuti jiwanya. Ia semakin menjadi sosok pendiam, hidupnya seperti ditutup rapat-rapat untuk mendapatkan kisah baru di tempat pijakannya yang baru pula.
            Kai untuk pertama kalinya menjadi seorang mahasiswa seperti Rin. Di Universitas yang sama tapi di fakultas dan jurusan yang berbeda. Jika Rin berhasil menjadi seorang calon arsitek, maka Kai berhasil menjadi seorang calon sarjana ekonomi. Salah, Kai tidak pernah merasa berhasil masuk dijurusan itu, melainkan berhasil memenuhi kemauan Ibunya lagi setelah memaksanya meninggalkan Ayah dan segala kehidupannya di Tokyo. Kai sama sekali tidak tertarik menjadi seorang sarjana ekonomi atau akuntan, ia justru ingin menjadi seorang sastrawan handal. Apalagi sejak kecil, Kai sangat tertarik dengan bahasa Indonesia yang kerap kali digunakan ibunya saat bercakap dengan kerabatnya di Jakarta dengan bahasa Indonesia. Kai cukup lancar menggunakannya, jadi tidak ada kesulitan yang berarti untuknya berinteraksi dengan orang-orang yang baru ditemuinya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun ia hafal, itu adalah hasil ajaran Ibunya sebagai pengingat bahwa Kai juga memiliki darah Indonesia.
            Wajah oriental Kai cukup terkenal di kalangan mahasiswa baru Ekonomi sebagai mahasiswa paling tampan. Seketika namanya menjadi tidak asing lagi di jurusannya walaupun baru hari pertama kuliah.
                                                                                *****
            Rin duduk di salah satu ayunan yang bergoyang pelan di sore itu. Beberapa burung merpati bergerombolan indah dan sesekali mendarat di atas rerumputan yang potongannya sudah agak berantakan. Mang Munir memang sudah satu minggu cuti pulang kampung dan tidak ada lagi yang merawat taman belakang rumah itu. Merpati-merpati itu tampak putih, bersih, dan cantik. Cukup menyita perhatian Rin yang sedari tadi duduk diam dengan muka masamnya. Catatan kecil dengan sampul biru muda dan sebuah pulpen tampak menganggur di pangkuan Rin, jemari kecilnya masih belum melancarkan aksinya seperti di sore hari sebelumnya.
            Nisa berjalan pelan di belakangnya, berencana mengagetkan Rin yang tampak melamun. Ke dua tangannya pun akhirnya sampai di pundak Rin diikuti dengan suara yang sebenarnya tidak akan pernah mengagetkan Rin, terlalu lemah dan lembut. Ia akhirnya memutuskan duduk di ayunan sebelah Rin sambil tersenyum seakan menikmati suasana di taman itu seorang diri.
            Menyadari kehadiran sahabatnya yang menandakan ia tidak sendiri lagi di taman itu, seketika lamunan panjangnya menjadi buyar.
            “Kayaknya ada yang bahagia nih, dateng-dateng udah senyum-senyum sendiri. Bagi dong bahagianya, gue lagi bete’ nih”, seru Rin dengan kembali menjadi psikiater dadakan yang tahu segala hal hanya dengan melihat gelagat sahabatnya.
            “Nggak apa-apa kock, aku cuma seneng aja. Ternyata kuliah itu asik yah. Kamu kenapa bete’? Ada senior yang rese’ yah? Atau__”
            “Bukan cuma rese’, gue malah curiga dia itu keturunan bangsa Negara Api, saudaranya pangeran Suko yang jahat itu”, sergah Rin memotong kalimat yang keluar dari tenggorokan Nisa yang belum sempat diselesaikan.
            “Hem…ini nih akibatnya doyan nonton Avatar tiap hari, semua orang disama-samain sama tokoh kartun yang nggak nyata itu! Emangnya dia siapa sih Rin? Senior kan?” Nisa kembali menebak-nebak pikiran sahabatnya dengan memperhatikan garis-garis mukanya yang semakin mengerut.
            “Iya…”, jawab Rin singkat.
            “Namanya siapa?”
            “Dia ketua himpunan Nis, namanya Fian! Haduhh…bener-bener mirip pangeran Suko tau nggak, rambut gonrongnya dan raut muka garangnya. Yang bikin beda tuh cuma matanya doank. Pangeran Suko kan mata sebelahnya ada bekas luka bakar tuh, kalo dia belom ada”, Rin tampak serius menggambarkan sosok Fian di hadapan sahabatnya yang masih saja tersenyum-senyum sendiri.
            Nisa hanya tertawa melihat Rin yang kelihatan hiperaktif menjelaskan semuanya. Tangan kurusnya terus bergoyang memperagakan tingkah laku Fian.
            Tanpa menunggu tanggapan dari Nisa, Rin kembali melanjutkan penjelasannya, “Nanti gue deh yang ngasih luka bakar di matanya itu, biar dia tau rasa. Seorang Rin dibikin repot setengah mati gitu, heh…mau cari mati dia!”
            Nisa menarik buku catatan dan pulpen dari pangkuan Rin, ia membuka lembaran yang kosong dan mulai menuliskan sesuatu. Rin memperhatikan itu dan menunggu Nisa selesai menulis. Ia tampak sangat bahagia dan tidak bisa mengungkapkan penyebabnya secara langsung seperti Rin yang mampu menjelaskan semuanya secara gamblang di hadapannya. Mungkin karena rasa malu pada dirinya sendiri. Nisa selesai menulis, buku catatan itu dikembalikan pada Rin dengan tetap memasang senyuman manisnya. Halaman itu dibiarkan terbuka, pertanda Nisa menginginkan Rin membacanya.

Hari ini aku ketemu sama seseorang..
Seseorang yang bikin aku kagum dan ngerasain yang namanya love at the first sight…
Dia juga mahasiswa baru Fakultas Ekonomi, dia sekelas sama aku…
Dia tampan sekali…
Belakangan aku tahu, ternyata namanya “KAI”

            “Oh, jadi sahabat gue ini lagi jatuh cinta toh, pantes dari tadi kerjanya senyum-senyum sendiri, hihihi…”, kata Rin menunjukkan reaksinya terhadap catatan Nisa di buku catatannya. Cekikikannya seperti tak tertahan. Ia kemudian melanjutkan, “Oyah, kock namanya aneh sih Nis? Kai?”
            “Iya bener, namanya Kai, ganteng banget deh pokoknya. Kayaknya dia juga anaknya baik kock”, jawab Nisa tetap dengan senyum lepasnya. Kai benar-benar sudah menyihirnya dari gadis lembut menjadi gadis centil.
            “Tapi namanya tetep aja aneh, ubah huruf K jadi T aja, hasilnya jadi Tai. Hahahahahahahahahaha…..”. Rin seperti mendapatkan bahan ledekan baru sekaligus pengobat rasa muaknya terhadap Fian yang dibawanya dari kampus sampai rumah.
            “Ya emang sih…, kamu nggak akan pernah ngerti yang namanya jatuh cinta. Kamu kan nggak pernah punya pacar. Yah…aku ngertilah”, balas Nisa mengejek.
            Tidak ingin menerima kekalahan, Rin terus melancarkan ejekannya pada Nisa, “Pokoknya Tai…Tai…Tai…Tai…”.
            Nisa mulai merasa jengah dan muak dengan ejekan itu, ia memilih diam dan memasang ekspresi datar. Sadar akan itu, Rin mulai berhenti dan mulai membujuk sahabatnya yang cenderung sensitive itu.
            “Yah…jangan manyun donk Nis, canda doank kock. Ya udah deh…Kai bukan Tai”. Tidak mendapatkan tanggapan dari Nisa, Rin melanjutkan, “Oyah.., lu  tadi make buku catatan gue yah. Ya udah, sekarang buku catatan ini bebas deh lu pake juga. Jadi…,ini catatan kita berdua. Oke?” Nisa hanya mengiyakannya dengan mengangguk dan suasana di taman belakang rumah bercat krem itu kembali heboh karena gelak tawa dua gadis yang baru saja resmi menjadi mahasiswi itu. 

*TO BE CONTINUE*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com