Selasa, 28 Februari 2012

PERADABAN atau BIADAB ???



Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, dari namanya maka dapat ditebak bahwa UIN adalah sebuah kampus yang di dalamnya penuh dengan nuansa Islam, mahasiswa yang berperilaku seperti layaknya seorang muslim dan mata kuliah yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Saat pertama saya menginjakkan kaki di kampus hijau ini dalam rangka pendaftaran ulang mahasiswa baru, saya menjumpai sebuah gerbang besar dengan cat warna krem yang di atasnya terpampang besar tulisan “Universitas Islam Negeri”. Kampus ini adalah kampus II, kampus baru yang konon baru digunakan ditahun masukku, tahun 2010. Letaknya jauh dari keramaian kota, sepi dan sunyi lantaran tak ada sedikitpun kebisingan yang datang dari kendaraan-kendaraan bermotor. Namun, itu justru membuatku cukup nyaman, kutarik nafasku pelan dan relung hatiku berbisik, Tuhan memang selalu tau yang terbaik bagi umatnya dan menghadiahkanku sebuah kampus yang indah.

Memasuki gerbang kampus, aku melihat gedung-gedung yang cukup mewah. Dari arsitektur bangunannya, saya yakin arsitek yang merancangnya mengadopsi gaya bangunan Timur Tengah yang identik dengan warna krem dan bertekstur seperti masjid. Sejujurnya aku sangat mengagumi semua yang baru saja saya lihat, sebuah kampus dengan bangunan terbaik di daerah Makassar.



Setelah pendaftaran ulang, sebuah kegiatan penyambutan mahasiswa baru pun di mulai. Jika biasanya mahasiswa baru di hadapkan pada suatu masalah besar yang disuguhkan oleh seniornya dengan sebutan Ospek, maka kali ini digantikan dengan sebutan Opak. Cukup mengecoh, membuat bayangan-bayangan penyiksaan seperti yang diceritakan orang-orang tentang resiko berstatus mahasiswa baru menjadi lebih ringan di benakku.

Pendaftaran Opak ini diadakan oleh senior-senior yang lebih suka kupanggil dengan sebutan “Mata” atau Mahasiswa Tua di kampus I yang bertempat di jalan Alauddin Makassar. Cukup tersentak dengan apa yang saya saksikan kala itu, pemuda-pemuda berstatus sebagai mahasiswa tapi bergaya layaknya anak jalanan. Beberapa di antaranya berambut gonrong dengan celana jeans yang sobek di mana-mana. Salah satu di antaranya berambut gimbal tidak karuan yang sejenak membuatku tergelitik. Ternyata Mbah Surip, penyanyi legendaris yang terkenal dengan lagunya tak gendong, punya pengikut juga di kampus yang berlambangkan Islam ini. Mereka tampak begitu angkuh dengan status kesenioran mereka.

Formulir-formulir Opak seharga sepuluh ribu rupiah pun mulai dibagikan. Saya mengisinya dengan rasa muak, jengah, dan kecewa lantaran anggapanku yang mengagung-agungkan kampus dengan lambang Islam itu perlahan dilunturkan oleh mahasiswanya sendiri, mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai “Senior”. Tidak cukup sampai di situ, sebuah pertengkaran hebat antara para senior yang berebut jatah mahasiswa baru menghentakku. Mahasiswa yang berambut gimbal itu datang membawa balok besar dan memaki-maki mahasiswa baru yang bergerombolan di depan gedung yang baru saya tahu adalah sekertariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK). Sungguh ironis, sebuah Universitas yang belambangkan Islam malah di huni oleh orang-orang yang menganggap mereka mahasiswa namun tak menunjukkan refleksi dari kata mahasiswa (Maha;paling tinggi) itu sendiri. Pemikiran memvonisku spontan keluar, “Apa bedanya mahasiswa Universitas Islam dengan mahasiswa Universitas Negeri lain ? Apa kata Islam hanya berwujud sebuah lambang untuk menunjukkan pada banyak orang bahwa di dalamnya ada sebuah Peradaban Islam yang Maha Mulia ?”.

Perhelatan penyambutan mahasiswa baru pun diadakan dua hari berikutnya. Bertempat di gedung auditorium kampus II, gedung dengan arsitektur yang membuatku kagum untuk kedua kalinya ini sedikit membuatku lupa tentang apa yang telah aku saksikan di kampus I dihari sebelumnya. Saya mengenakan seragam wajib bagi mahasiswa baru, begitu pula dengan yang lainnya. Baju putih yang dipasangkan dengan rok dan jilbab hitam. Saya memilih duduk di lantai dua. Di depan ada Rektor dan orang-orang birokrasi kampus lainnya. Hari itu adalah hari yang benar-benar membuatku takjub pada diriku sendiri, status mahasiswa telah ada di tanganku dan sekali lagi saya berhasil melangkah lebih maju lagi untuk meraih impian walaupun jurusan yang berhasil saya masuki bukanlah jurusan yang telah lama saya idam-idamkan. Namun saya percaya, Tuhan tahu yang mana yang lebih pantas untukku.

Acara dimulai, semua mahasiswa tampak serius mengikutinya. Hingga sekitar kurang lebih satu jam kemudian, sebuah pecahan kaca mengagetkan seisi gedung, lalu teriakan-teriakan dari mahasiswa yang duduk di lantai satu semakin riuh. Saya dan mahasiswa lainnya yang duduk di lantai dua berusaha menyaksikan apa yang terjadi di bawah. Semua mahasiswa di sana terlihat bergerombolan ke depan tempat orang-orang birokrasi kampus berkumpul. Rasa takutku mulai berkecamuk dan semakin tak tertahan ketika saya menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang menganggap dirinya adalah senior namun tak beretika menyerbu masuk ke dalam gedung dengan membawa patahan-patahan kayu besar. Tampak orang-orang birokrasi kampus berusaha menghentikan kebrutalan orang-orang yang lebih tepat di sebut sebagai orang gila itu. Pak Rektor terdengar terus meneriakkan kata “Allahu Akbar” secara berulang kali. Otakku dipenuhi dengan tanda tanya tentang apa yang sebenarnya tengah tejadi, apa permasalahannya dan apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya.

Setelah kebrutalan itu berhasil dihentikan, semua mahasiswa diperintahkan pulang dan jadwal perkuliahan yang semula dijadwalkan lebih awal kemudian diundur. Saya lalu tahu, masalahnya adalah sebuah perebutan mahasiswa baru untuk kegiatan yang disebut Opak antara BEM Fakultas dan BEM Universitas. Ketakutan-ketakutan yang menggelayuti kami sebagai mahasiswa baru menjadi sebuah kesan pertama yang buruk dan tidak layak untuk disimpan di memori kami untuk kemudian kami kenang kelak.  Kekaguman-kekaguman terhadap kampus hijau itu seketika terganti menjadi sebuah vonis buruk, kampus yang awalnya saya kira sebagai kampus peradaban Islam terganti menjadi kampus biadab. Sungguh miris dan memalukan. Sebagai ganti untuk kekecewaan itu, Rektor memutuskan men-drop out mahasiswa-mahasiswa yang telah mengacaukan acara itu sekaligus merusak fasilitas kampus. Sebuah keputusan bijak namun tidak cukup bagiku untuk begitu saja menghapus moment buruk di hari itu. Teringat olehku pernyataan seorang demonstran sekaligus penulis handal di era enam puluh-an, Soek hoe gie, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.

Hingga kini  ingatan itu masih lekat tersimpan di memoriku, susah terhapus dengan apapun. Sekarang saya sudah menginjak semester tiga, banyak hal yang membuatku masih jengah, beberapa dosen yang malas mengajar dan tidak disiplin, format bimbingan praktikum yang terkesan gagap teknologi, sampai persaingan tidak sehat di dunia politik kampus yang secara nyata saya saksikan, tindak suap menyuap yang menandakan sebuah dunia hedonisme di kampus peradaban Islam. Walaupun juga tak sedikit hal yang mulai membangun kepercayaanku terhadap kampusku sendiri sedikit demi sedikit, bertemu dengan orang-orang cerdas dan berpikiran luas. Beberapa waktu lalu sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menerimaku menjadi bagian di dalamnya, yang membuatku belajar tentang arti sebuah proses dan banyak hal lagi.

Saya lagi-lagi teringat sebuah impian dari Soek hoek gie, Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi manusia-manusia yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”.

Semoga kelak itu akan terwujud. Entah kapan…, saya juga menantikan saat-saat itu.

6 komentar:

  1. yah.. ego telah membentuk karakter mereka, melambungkan rasa keangkuhan, merasa paling benar tanpa mengindahkan sapaan akrab penegurnya, mungkin mereka adalah generasi yang takut akan masa depannya, sehingga phobia itu menjadikan mereka brutal.. aku tak tau jalan pikiran mereka, walau aku pun pernah berstatus seperti mereka.. yang saya takutkan adalah mereka generasi yang katanya cerdas malah ditunggangi oleh para munafik yang hanya berani berkoar dari balik mejanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. dogmatis terhadap sebuah asumsi kebenaran merupakan sebuah kesalahan berfikir, merasa angkuh pun tak dapat dipungkiri oleh oleh kaum yang merasa dirinya benar namun, sebaiknya kecerdasan mereka digunakan sebagai tameng tuk menjalankan tugasnyua sebagai mahasiswa yang berpihak kepada rakyat yang lebih membutuhkannya bukan malah menghancurkan fasilitas kampusnya sendiriiiiiiii...

      Hapus
  2. Senioritas semacam itu seperti udh menjadi budaya yang akan selalu ada dikampus2..

    BalasHapus
  3. belajarlah dari sebuah tragedi namun jangan sampai kita jatuh, ubalah sistem dengan cara pendang berfikir yang logis tapi bukan anarkis. mereka anarkis krn cara pandang yang masih jauh kebelakang, mereka yang mempertahnkan sistem kekakuan dalam praktikum dan format yang masih awam adalah mereka yang belum pernah berfikir tentang masa depan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju skali k'.. :)
      format laporn seakn2 mmperlihatkn btapa tdk realistisnya pmikiran yg tdk mngikut pd prkembangan teknologi yg makin pesat skrng...
      pdhl zaman sdh smkin memburu qt untk mngerjakn sswtu secepat dn setepat mgkn,, sdikit sj qt mmbuang2 wktu dgn format yg brbelit2 i2, maka wktu seakn brkata pd qt "Selamat tgl bodoh"..

      Hapus

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com