Dira adalah sahabat
yang sering kupanggil dengan sebutan cuek. Entahlah…aku juga bingung dia bisa
ku sebut sebagai apa setelah tiga tahun yang lalu saling jujur tentang perasaan
masing-masing. Kalau Dira mencintaiku dan begitu pula denganku. Dan setelah
Dira memintaku untuk menunggunya untuk lebih matang dan menjadi pendamping
hidupku. Aku suka Dira seperti aku suka pada oksigen yang kuhirup setiap
detiknya. Dira memang sudah seperti pompa oksigenku, membantuku bernafas setiap
harinya. Parahnya…, Dira kian menjelma menjadi penopangku selama lebih dari tiga
tahun lamanya. Membuatku jadi maniak dan susah bertahan tanpanya. Aku jadi
ketergantungan.
Hatiku
memang utuh untuknya. Tidak pernah berpikir untuk berpaling dan lelah menanti
janjinya yang dulu. Sebab aku percaya padanya seperti aku percaya bahwa akan
ada musim hujan setelah musim kemarau. Hidup adalah pilihan, dan kami memilih
untuk tetap menjalin persahabatan dengan sebuah ikatan janji selama lebih dari
lima tahun.
Pertemuanku
dengan Dira tidak lagi seintensif dulu. Sekarang aku sudah menjalani profesiku
sebagai seorang guru. Begitu pula dengan Dira. Namun di sekolah yang berbeda dan
berjauhan. Dira juga tidak sesering dulu menghubungiku lagi. Satu hal yang
terlambat aku sadari, persahabatan dengan rasa memiliki itu adalah suatu hal
yang bodoh. Bukankah menggelikan ketika kau ingin marah karena perubahannya
padahal kau cuma sahabatnya. Bukankah konyol ketika kau protes karena dia
jarang memberi kabar padahal kau hanyalah seorang sahabat. Berpikir aku ini
adalah sahabat yang special tapi aku takut itu berbeda baginya. Kini baru
terasa setelah masa kuliah itu berakhir dan menjalani hidup masing-masing. Tapi
aku mencintai si cuek hingga saat ini. Dan tetap menunggunya dengan segala
dayaku untuk mengerti.
*****
Bandung, November 2010
Handphone
ku
bergetar di atas meja sebelah ranjangku. Sebuah pesan dari Dira, “Lusa aku mau
pulang ke kotaku Bodoh! Mungkin akan
lama karena aku mau pindah ngajar di sana saja. Kasian sama Ayah dan Ibu kalau
satu pun anaknya tidak ada yang tinggal di rumah”.
Ada rasa yang tiba-tiba
membuatku terpaku, terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Ingin membalasnya,
namun aku sama sekali tidak tahu harus membalasnya dengan kata apa. Sejujurnya
aku tidak rela membiarkannya pergi menjauh, namun aku juga sadar, aku tidak
punya hak sama sekali membuatnya tetap bertahan. Dan sepertinya memang tidak
ada alasan baginya untuk bertahan lebih lama lagi di kota ini. Aku bukan
siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang diberi harapan lebih oleh bibir indah
yang pernah berjanji tiga tahun silam.
Satu hari berlalu,
pesan itu masih ada di inbox handphone ku,
namun jariku masih kaku untuk membalasnya. Besok adalah hari yang dimaksud,
otakku tidak pernah berhenti memikirkan kepergiannya besok, tapi aku tetap saja
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memutuskan untuk izin mengajar hari ini, aku
merasa tidak enak badan dan berharap akan merasa lebih baik jika mengurung diri
di kamarku.
Jangkar jam dinding
sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, aku memilih menghempaskan diri di ranjang
yang sepreinya makin kusut karena tubuh yang terus menggeliat di atasnya. Sama
sekali tidak menenangkan, namun justru membuatku tampak semakin bodoh. Kutarik
nafasku dalam-dalam sambil memperbaiki posisi tubuhku diatas ranjang,
terlentang dan menatap langit-langit kamarku yang tampak gelap, hanya ada
bintang-bintang hiasan yang tertempel di sana. Tapi tetap saja terasa biasa dan
tidak tampak indah seperti biasanya.
Handphone
ku
kembali bergetar di atas meja samping ranjangku, kali ini bukan sebuah pesan
melainkan sebuah panggilan. Di screen
itu jelas tertulis sebuah nama yang terus menggelayuti pikiranku, “Lovely Cuek”, dan itu adalah Dira.
Dengan terbata-bata aku mengangkatnya dengan suara yang mungkin jelas menggambarkan
suasana hatiku yang terlampau hampa.
“Kenapa cuek?”
“Keluar sekarang bodoh,
aku ada di depan pintu kamar kos kamu sekarang!”
Spontan aku kaget dan
segera membuka pintu yang menghalangiku menatap tubuh dan wajah Dira yang
berada tepat di belakang pintu itu. Pintu itu pelan-pelan kubuka sambil
menunduk, di sana ada kaki Dira yang di balut dengan jeans, aku menengadah
menatap wajah Dira dan ada sebuah senyuman yang kali ini tidak membuatku
bahagia, tapi justru sebaliknya.
“Eh bodoh, suruh masuk ke’
ato kasi senyum ke’, malah ngelamun aja”
“Eh, iya, ayo masuk..”
“hmm…dasar
bodoh!”, vonis Dira sambil mengelus kepalaku dan melangkah masuk ke kamar kosku
yang masih berantakan.
Dira
melangkah ke depan jendela, membuka jendela itu lebar-lebar dan menghirup udara
malam, aku memperhatikannya dan ia tampak begitu menikmatinya. Aku tidak
mengerti semua tindakannya malam itu dan aku bahkan tidak mengerti kenapa ia
tiba-tiba datang di malam yang dipenuhi kabut saat ini. Bandung terasa semakin
dingin di malam hari, tapi aku tidak mengerti kenapa ia tetap membuka jendela
itu dan membiarkan angin malam itu masuk menerobos ke dalam kamarku. Ia masih
terdiam dan terpaku di depan jendela dan aku seperti tampak semakin bodoh
memperhatikan setiap garis mukanya yang tampak begitu hangat di tengah
dinginnya malam.
“Besok
aku sudah mau pergi, mungkin akan jarang ke sini lagi”, katanya pelan.
“Aku
tahu, kamu berangkat jam berapa?”
Dira memalingkan
wajahnya kearahku, tatapannya tampak begitu nanar, aku bisa melihat itu. Air
mukanya seketika menunjukkan ketidak relaan dan aku bisa merasakan itu. Bahkan
aku lebih tidak rela lagi, tapi aku tetap berusaha tampak biasa saja, aku takut
salah menampakkan ekspresi wajah. Aku takut dia melihat ketidak relaanku dan
mencoba memanfaatkan itu untuk merayuku dengan janji-janji yang membuatku
tersiksa dalam waktu yang lebih lama
lagi.
“Kamu tetap mau nunggu
kan? Sedikit lagi Mit…”
“Entahlah, aku bosan
Dir…”, entah kenapa jawaban itu begitu saja terlontar dari mulutku. Mungkin
itulah perasaanku yang sebenarnya sekarang dan aku tidak bisa menyembunyikannya
lagi.
Dira meraih tanganku,
aku bisa merasakan hangatnya telapak tangannya di tengah dinginnya angin malam
yang berhembus menerobos jendela. Aku sama sekali tidak bisa menatap dua bola
mata itu, aku menunduk ragu tapi Dira tetap menggamit tangan kecilku yang
semakin melemah. Tenagaku sudah nyaris habis karena usaha menahan air mata yang
akan segera menyembur keluar jika aku lengah sedikit saja. Suasana saat itu
menjadi hening, hanya ada suara detakan jam yang bunyinya teratur di dinding
kamarku.
“Besok subuh, aku
berangkat!”
Aku masih tetap pada
posisi diamku, tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku tidak mungkin menahannya,
maka aku biarkan semuanya berjalan sesuai kehendak Dira, dan aku merasa tidak
punya hak untuk mencampuri apapun.
“Dir, sebenarnya status kita itu apa sih?”
Untuk pertama kalinya aku bertanya tentang itu.
“Aku pikir kamu tahu,
kita sudah janji kan empat tahun yang lalu, kita___”
“Kita Cuma sahabat tapi
saling tahu perasaan masing-masing. Itu kan yang mau kamu bilang? Aku nggak
sebodoh itu Dir, aku tahu kamu sengaja tidak memasang status apa-apa di
hubungan kita karena kamu takut kan kamu terikat sama aku!”
“Aku Cuma takut kita
suatu saat nanti bakalan jauh gara-gara status pacaran yang identik dengan
bertengkar dan putus”
“Tapi aku bingung Dir..
Aku___”
“Kalau kamu bosan
nunggu, kamu bebas kock milih yang lain, aku nggak bisa nahan kamu lagi”
“Bagaimana bisa aku
milih orang lain padahal aku Cuma sayang sama kamu. Kamu ngerti nggak sih? Aku
Cuma butuh kejelasan!”
“Makanya aku bilang
dikit lagi bodoh.., aku janji akan usaha nggak bikin kamu nunggu lebih lama
lagi. Sabar yah….
Sesungguhnya malam itu
aku berencana melepaskan semuanya dan membiarkannya ikut bersama Dira ke
manapun Dira akan berpijak selanjutnya. Tapi Dira justru membuatnya semakin
tertanam dan terikat erat di hatiku.
Tangan kanan Dira
menyentuh pipiku, tapi tangan kirinya tetap menggenggam ke dua tanganku. Dira
menunduk dan wajahnya semakin dekat, kemudian aku merasakan bibirnya menyentuh
bibirku lembut. Air mata yang sedari tadi menyumbat bola mataku spontan keluar
dan membasahi pipiku. Hujan pun turun pelan-pelan di luar kamarku, seolah
mengerti aku tengah kalut karena harus membiarkan orang yang sesungguhnya
begitu ku cintai pergi dan aku tak bisa menahannya.
Esok harinya Dira
pulang ke Yogyakarta. Aku hanya bisa menunggu lagi, lagi, dan lagi. Entah kapan
penantian ini akan berujung. Aku tidak tahu…dan sepertinya aku harus lebih
sibuk dari hari-hari biasanya agar tidak sering merasakan sesak lagi karena
penantian itu.
Bandung, Desember 2010
Jalan-jalan
semakin padat kendaraan malam itu, lampu-lampu hias semakin terang dan
bersebaran di atas jalanan, di pohon-pohon pinggir jalan, dan di
spanduk-spanduk. Malam menjelang tahun baru memang selalu identik dengan
kemeriahan dan keriuhan di setiap sudut kota. Kembang api menghiasi langit
sementara bintang-bintang dan bulan sama sekali tidak tampak. Alam semesta
tidak merestuinya untuk ada di malam tahun baru itu, awan hitam seakan
bersekongkol menutupi keindahan benda-benda langit yang harusnya terang dimalam
pergantian tahun.
Aku
memilih menghabiskan penghujung tahun 2010 di loteng kosanku. Duduk seorang
diri menyaksikan kembang api yang tidak berhenti meledup-ledup sepanjang yang
bisa ditangkap oleh kedua bola mataku. Jam di handphone ku menunjukkan pukul 23.53, berarti tinggal tujuh menit
lagi tahun 2010 akan berubah menjadi tahun 2011. Entahlah, itu berarti
penantianku untuk Dira beranjak empat tahun. Mungkin saja tahun 2011 adalah
tahun keberuntungan untuk kami berdua, atau butuh waktu lebih lama lagi untuk
menyatukan semuanya.
Dan
akhirnya tujuh menit itu berlalu, suasana kota makin riuh. Bunyi terompet
terdengar di mana-mana, dan aku hanya bisa menatap langit dengan senyuman yang
terpaksa kubuat sebagai awal yang baik untuk tahun 2011. Ucapan “Selamat Tahun
Baru 2011” terus masuk di inbox handphone
ku. Aku buka satu per satu, dan sahabat-sahabatku ILa, Ica, Ayu, Lia, Riri, dan
Ita tetap menjadi orang-orang pertama yang memberiku ucapan malam itu.
Sesungguhnya aku menunggu ucapan dari seseorang, yaitu Dira. Tapi Dira sama sekali
tidak mengirimiku ucapan apa-apa. Aku tahu, dia tidak pernah menganggap hal itu
penting dan hingga sekarang dia tetap menjadi si cuek dengan pikiran masa bodohnya. Kuputuskan untuk mengiriminya
terlebih dahulu,
Cuek….selamat
tahun baru 2011 yah, semoga bisa lebih baik dan lebih dewasa hidup di bumi yang
semakin tua ini J
Balasannya segera datang,
Iya…selamat
tahun baru juga bodoh J
Aku
merindukan Dira sejak kepergiannya satu bulan yang lalu, tapi Dira hanya
sesekali menghubungiku. Statusku tetap seorang sahabat yang menunggu, tapi
semakin lama rasanya kami semakin jauh. Bahkan rasanya tidak terjangkau lagi.
*TO BE CONTINUE*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar