Kamis, 16 Februari 2012

SI BODOH MASIH MENUNGGU (Lanjutan cerita I LOVE U CUEK)



Dira adalah sahabat yang sering kupanggil dengan sebutan cuek. Entahlah…aku juga bingung dia bisa ku sebut sebagai apa setelah tiga tahun yang lalu saling jujur tentang perasaan masing-masing. Kalau Dira mencintaiku dan begitu pula denganku. Dan setelah Dira memintaku untuk menunggunya untuk lebih matang dan menjadi pendamping hidupku. Aku suka Dira seperti aku suka pada oksigen yang kuhirup setiap detiknya. Dira memang sudah seperti pompa oksigenku, membantuku bernafas setiap harinya. Parahnya…, Dira kian menjelma menjadi penopangku selama lebih dari tiga tahun lamanya. Membuatku jadi maniak dan susah bertahan tanpanya. Aku jadi ketergantungan.
            Hatiku memang utuh untuknya. Tidak pernah berpikir untuk berpaling dan lelah menanti janjinya yang dulu. Sebab aku percaya padanya seperti aku percaya bahwa akan ada musim hujan setelah musim kemarau. Hidup adalah pilihan, dan kami memilih untuk tetap menjalin persahabatan dengan sebuah ikatan janji selama lebih dari lima tahun.
            Pertemuanku dengan Dira tidak lagi seintensif dulu. Sekarang aku sudah menjalani profesiku sebagai seorang guru. Begitu pula dengan Dira. Namun di sekolah yang berbeda dan berjauhan. Dira juga tidak sesering dulu menghubungiku lagi. Satu hal yang terlambat aku sadari, persahabatan dengan rasa memiliki itu adalah suatu hal yang bodoh. Bukankah menggelikan ketika kau ingin marah karena perubahannya padahal kau cuma sahabatnya. Bukankah konyol ketika kau protes karena dia jarang memberi kabar padahal kau hanyalah seorang sahabat. Berpikir aku ini adalah sahabat yang special tapi aku takut itu berbeda baginya. Kini baru terasa setelah masa kuliah itu berakhir dan menjalani hidup masing-masing. Tapi aku mencintai si cuek hingga saat ini. Dan tetap menunggunya dengan segala dayaku untuk mengerti.
*****
Bandung, November 2010
Handphone ku bergetar di atas meja sebelah ranjangku. Sebuah pesan dari Dira, “Lusa aku mau pulang ke kotaku  Bodoh! Mungkin akan lama karena aku mau pindah ngajar di sana saja. Kasian sama Ayah dan Ibu kalau satu pun anaknya tidak ada yang tinggal di rumah”.
Ada rasa yang tiba-tiba membuatku terpaku, terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Ingin membalasnya, namun aku sama sekali tidak tahu harus membalasnya dengan kata apa. Sejujurnya aku tidak rela membiarkannya pergi menjauh, namun aku juga sadar, aku tidak punya hak sama sekali membuatnya tetap bertahan. Dan sepertinya memang tidak ada alasan baginya untuk bertahan lebih lama lagi di kota ini. Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang diberi harapan lebih oleh bibir indah yang pernah berjanji tiga tahun silam.
Satu hari berlalu, pesan itu masih ada di inbox handphone ku, namun jariku masih kaku untuk membalasnya. Besok adalah hari yang dimaksud, otakku tidak pernah berhenti memikirkan kepergiannya besok, tapi aku tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memutuskan untuk izin mengajar hari ini, aku merasa tidak enak badan dan berharap akan merasa lebih baik jika mengurung diri di kamarku.
Jangkar jam dinding sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, aku memilih menghempaskan diri di ranjang yang sepreinya makin kusut karena tubuh yang terus menggeliat di atasnya. Sama sekali tidak menenangkan, namun justru membuatku tampak semakin bodoh. Kutarik nafasku dalam-dalam sambil memperbaiki posisi tubuhku diatas ranjang, terlentang dan menatap langit-langit kamarku yang tampak gelap, hanya ada bintang-bintang hiasan yang tertempel di sana. Tapi tetap saja terasa biasa dan tidak tampak indah seperti biasanya.
Handphone ku kembali bergetar di atas meja samping ranjangku, kali ini bukan sebuah pesan melainkan sebuah panggilan. Di screen itu jelas tertulis sebuah nama yang terus menggelayuti pikiranku, “Lovely Cuek”, dan itu adalah Dira. Dengan terbata-bata aku mengangkatnya dengan suara yang mungkin jelas menggambarkan suasana hatiku yang terlampau hampa.
“Kenapa cuek?”
“Keluar sekarang bodoh, aku ada di depan pintu kamar kos kamu sekarang!”
Spontan aku kaget dan segera membuka pintu yang menghalangiku menatap tubuh dan wajah Dira yang berada tepat di belakang pintu itu. Pintu itu pelan-pelan kubuka sambil menunduk, di sana ada kaki Dira yang di balut dengan jeans, aku menengadah menatap wajah Dira dan ada sebuah senyuman yang kali ini tidak membuatku bahagia, tapi justru sebaliknya.
“Eh bodoh, suruh masuk ke’ ato kasi senyum ke’, malah ngelamun aja”
“Eh, iya, ayo masuk..”
            “hmm…dasar bodoh!”, vonis Dira sambil mengelus kepalaku dan melangkah masuk ke kamar kosku yang masih berantakan.
            Dira melangkah ke depan jendela, membuka jendela itu lebar-lebar dan menghirup udara malam, aku memperhatikannya dan ia tampak begitu menikmatinya. Aku tidak mengerti semua tindakannya malam itu dan aku bahkan tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba datang di malam yang dipenuhi kabut saat ini. Bandung terasa semakin dingin di malam hari, tapi aku tidak mengerti kenapa ia tetap membuka jendela itu dan membiarkan angin malam itu masuk menerobos ke dalam kamarku. Ia masih terdiam dan terpaku di depan jendela dan aku seperti tampak semakin bodoh memperhatikan setiap garis mukanya yang tampak begitu hangat di tengah dinginnya malam.
            “Besok aku sudah mau pergi, mungkin akan jarang ke sini lagi”, katanya pelan.
            “Aku tahu, kamu berangkat jam berapa?”
Dira memalingkan wajahnya kearahku, tatapannya tampak begitu nanar, aku bisa melihat itu. Air mukanya seketika menunjukkan ketidak relaan dan aku bisa merasakan itu. Bahkan aku lebih tidak rela lagi, tapi aku tetap berusaha tampak biasa saja, aku takut salah menampakkan ekspresi wajah. Aku takut dia melihat ketidak relaanku dan mencoba memanfaatkan itu untuk merayuku dengan janji-janji yang membuatku tersiksa dalam waktu yang lebih  lama lagi.
“Kamu tetap mau nunggu kan? Sedikit lagi Mit…”
“Entahlah, aku bosan Dir…”, entah kenapa jawaban itu begitu saja terlontar dari mulutku. Mungkin itulah perasaanku yang sebenarnya sekarang dan aku tidak bisa menyembunyikannya lagi.
Dira meraih tanganku, aku bisa merasakan hangatnya telapak tangannya di tengah dinginnya angin malam yang berhembus menerobos jendela. Aku sama sekali tidak bisa menatap dua bola mata itu, aku menunduk ragu tapi Dira tetap menggamit tangan kecilku yang semakin melemah. Tenagaku sudah nyaris habis karena usaha menahan air mata yang akan segera menyembur keluar jika aku lengah sedikit saja. Suasana saat itu menjadi hening, hanya ada suara detakan jam yang bunyinya teratur di dinding kamarku.
“Besok subuh, aku berangkat!”
Aku masih tetap pada posisi diamku, tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku tidak mungkin menahannya, maka aku biarkan semuanya berjalan sesuai kehendak Dira, dan aku merasa tidak punya hak untuk mencampuri apapun.
 “Dir, sebenarnya status kita itu apa sih?” Untuk pertama kalinya aku bertanya tentang itu.
“Aku pikir kamu tahu, kita sudah janji kan empat tahun yang lalu, kita___”
“Kita Cuma sahabat tapi saling tahu perasaan masing-masing. Itu kan yang mau kamu bilang? Aku nggak sebodoh itu Dir, aku tahu kamu sengaja tidak memasang status apa-apa di hubungan kita karena kamu takut kan kamu terikat sama aku!”
“Aku Cuma takut kita suatu saat nanti bakalan jauh gara-gara status pacaran yang identik dengan bertengkar dan putus”
“Tapi aku bingung Dir.. Aku___”
“Kalau kamu bosan nunggu, kamu bebas kock milih yang lain, aku nggak bisa nahan kamu lagi”
“Bagaimana bisa aku milih orang lain padahal aku Cuma sayang sama kamu. Kamu ngerti nggak sih? Aku Cuma butuh kejelasan!”
“Makanya aku bilang dikit lagi bodoh.., aku janji akan usaha nggak bikin kamu nunggu lebih lama lagi. Sabar yah….
Sesungguhnya malam itu aku berencana melepaskan semuanya dan membiarkannya ikut bersama Dira ke manapun Dira akan berpijak selanjutnya. Tapi Dira justru membuatnya semakin tertanam dan terikat erat di hatiku.
Tangan kanan Dira menyentuh pipiku, tapi tangan kirinya tetap menggenggam ke dua tanganku. Dira menunduk dan wajahnya semakin dekat, kemudian aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku lembut. Air mata yang sedari tadi menyumbat bola mataku spontan keluar dan membasahi pipiku. Hujan pun turun pelan-pelan di luar kamarku, seolah mengerti aku tengah kalut karena harus membiarkan orang yang sesungguhnya begitu ku cintai pergi dan aku tak bisa menahannya.
Esok harinya Dira pulang ke Yogyakarta. Aku hanya bisa menunggu lagi, lagi, dan lagi. Entah kapan penantian ini akan berujung. Aku tidak tahu…dan sepertinya aku harus lebih sibuk dari hari-hari biasanya agar tidak sering merasakan sesak lagi karena penantian itu.

Bandung, Desember 2010
          Jalan-jalan semakin padat kendaraan malam itu, lampu-lampu hias semakin terang dan bersebaran di atas jalanan, di pohon-pohon pinggir jalan, dan di spanduk-spanduk. Malam menjelang tahun baru memang selalu identik dengan kemeriahan dan keriuhan di setiap sudut kota. Kembang api menghiasi langit sementara bintang-bintang dan bulan sama sekali tidak tampak. Alam semesta tidak merestuinya untuk ada di malam tahun baru itu, awan hitam seakan bersekongkol menutupi keindahan benda-benda langit yang harusnya terang dimalam pergantian tahun.
            Aku memilih menghabiskan penghujung tahun 2010 di loteng kosanku. Duduk seorang diri menyaksikan kembang api yang tidak berhenti meledup-ledup sepanjang yang bisa ditangkap oleh kedua bola mataku. Jam di handphone ku menunjukkan pukul 23.53, berarti tinggal tujuh menit lagi tahun 2010 akan berubah menjadi tahun 2011. Entahlah, itu berarti penantianku untuk Dira beranjak empat tahun. Mungkin saja tahun 2011 adalah tahun keberuntungan untuk kami berdua, atau butuh waktu lebih lama lagi untuk menyatukan semuanya.
            Dan akhirnya tujuh menit itu berlalu, suasana kota makin riuh. Bunyi terompet terdengar di mana-mana, dan aku hanya bisa menatap langit dengan senyuman yang terpaksa kubuat sebagai awal yang baik untuk tahun 2011. Ucapan “Selamat Tahun Baru 2011” terus masuk di inbox handphone ku. Aku buka satu per satu, dan sahabat-sahabatku ILa, Ica, Ayu, Lia, Riri, dan Ita tetap menjadi orang-orang pertama yang memberiku ucapan malam itu. Sesungguhnya aku menunggu ucapan dari seseorang, yaitu Dira. Tapi Dira sama sekali tidak mengirimiku ucapan apa-apa. Aku tahu, dia tidak pernah menganggap hal itu penting dan hingga sekarang dia tetap menjadi si cuek dengan pikiran  masa bodohnya. Kuputuskan untuk mengiriminya terlebih dahulu,

Cuek….selamat tahun baru 2011 yah, semoga bisa lebih baik dan lebih dewasa hidup di bumi yang semakin tua ini J

Balasannya segera datang,

Iya…selamat tahun baru juga bodoh J

            Aku merindukan Dira sejak kepergiannya satu bulan yang lalu, tapi Dira hanya sesekali menghubungiku. Statusku tetap seorang sahabat yang menunggu, tapi semakin lama rasanya kami semakin jauh. Bahkan rasanya tidak terjangkau lagi.
*TO BE CONTINUE*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com