Selasa, 21 Februari 2012

LOSE (1) *cerita bersambung*



Jakarta, Februari 2007

            Mengenang masa-masa sulit satu tahun silam adalah hal tersulit yang selalu menghantui Rin. Kalender menunjukkan tanggal dimana seluruh anggota keluarganya tewas akibat kecelakaan tragis yang hanya menyisakan dirinya seorang. Tanggal 8 Februari 2006. Hanya di bulan itu lah Rin bisa berubah dari gadis kuat menjadi gadis melankolik. Ia selalu merasa diberi keberuntungan hidup di waktu yang salah.
Harusnya ia juga ikut tewas pada saat itu, tanpa harus membawa beban yang tidak pernah sanggup ia pikul sampai detik ini. Walaupun sejak kecelakaan itu, ia tidak pernah benar-benar sendiri. Ia masih memiliki Nisa dan keluarganya yang menjadi penopang terakhir untuk hidupnya.
            Diusapnya nisan yang ada dihadapannya sambil menunduk. Ayah aku ingin sekali menyusul kalian secepatnya, bantu aku mengusulkannya pada Tuhan karena aku tahu, Ayah sekarang berada lebih dekat denganNya. Bisiknya pelan.
            “Ayolah Rin…sudah tiga jam kita di sini!” bujuk Nisa sambil mengusap punggung sahabatnya yang melemah seiring tangis yang membuatnya kelihatan semakin menyedihkan. Rin kemudian berdiri dengan muka yang enggan menatap arah terbitnya matahari dan berjalan beriringan dengan Nisa.
            Nisa adalah sahabat sekaligus saudara terakhir Rin setelah adik dan kakaknya tewas dikecelakaan maut itu. Walaupun mereka berbeda di segala sudut pandang. Nisa kelihatan jauh lebih cengeng dibanding Rin yang terkesan tomboy. Namun Nisa lah satu-satunya orang yang mampu menguatkan Rin disaat Rin berubah menjadi melankolik. Sebenarnya aku masih kesal padaMu Tuhan, tapi untuk pertama kalinya setelah Kau mengambil semuanya dariku, aku ingin berterimakasih karena telah mengirimkan seorang malaikat terbaik untukku, Nisa. Itu adalah sepenggal kalimat yang ditulis Rin di buku saku yang selalu dibawanya kemana-mana.
“Kamu tahu Rin, aku merasa kehilangan dirimu yang sesungguhnya. Rin yang periang dan suka mengacau. Ayolah…semua yang kamu alami itu adalah konsekuensi hidup. Menyambut yang datang dan menerima kenyataan bahwa suatu saat akan ada yang pergi. Aku, kak Nindi, Niko, Nita, Ayah, dan Ibu selalu ada kock di samping kamu. Peristiwa itu sudah satu tahun yang lalu Rin”, bujuk Nisa sambil menatap nanar sahabatnya yang berdiri kaku di depan jendela yang buram karena percikan hujan.
            Rin membalikkan badannya ke arah Nisa yang terduduk di atas ranjangnya. Seperti mencerna baik-baik perkataan Nisa dan mencoba menyergahnya, “Kalau gitu gue lebih milih nggak hidup Nis, February is bad month for me!”.
            “Tapi kenyataan yang kamu hadapi sekarang adalah kamu hidup Rin. Ini bukan transaksi tawar menawar dengan Tuhan. Bahwa kamu hidup dan merasakan sakit atau kamu mati dan semuanya selesai. Try to be realist Rin, Tuhan benci jika keputusanNya terus disesali. Sekarang adalah bagaimana cara bertahan dan maju ke depan. Semuanya belum berhenti ataupun berakhir”. Nisa bangun dari posisi duduknya dan mendekat ke arah Rin.
            Rin menatap Nisa dengan mata yang berkaca-kaca namun air mata yang seperti menyumbat bola mata itu tak kunjung menetes turun. Seperti tertahan dan sangat menyakitkan. “Lu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan semua yang menjadi sendi-sendi kehidupan lu, sebelum lu mengalaminya sendiri Nis. Tapi gue berharap itu nggak akan pernah lu rasain, karena rasanya lebih sakit daripada lu ditusuk belati”.
Nisa dengan pelan mendekap Rin dan berbisik, “Kamu tahu Rin, Tuhan pasti sengaja tetap membuatmu bernafas sampai detik ini. Karena Ia tahu, aku akan kesepian tanpa dirimu. I love you my best friend”.
            Rin tenggelam dalam dekapan sahabatnya yang lembut itu. Menyandarkan sebahagian beban di pundak Nisa. Berharap akan lebih terasa ringan dan akan cepat pulih kembali, seperti di bulan-bulan sebelum dan setelah Februari di tahun-tahun sebelumnya.
            Rintik hujan di luar jendela tempat mereka berdua saling mendekap  perlahan mereda. Seolah mengerti ketegangan dan pilu di kamar itu sudah berkurang dan lebih baik. Dekapan itu terlepas dan Rin tersenyum seolah memberi isyarat pada sahabatnya bahwa ia sudah mulai membaik. Rin kemudian meninggalkan tatapan lembut sahabatnya itu dan memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela. Ia menggoreskan telunjuk kecilnya pada kaca itu dan menghasilkan sebuah tulisan bermakna untuk mereka berdua. We are friendship forever and ever. Rin and Nisa.
 “Of course Rin”, bisik Nisa dengan semburat keyakinan yang terpancar dari senyumannya. Bahwa persahabatannya dengan Rin memang akan ada selamanya. Tidak peduli dalam keadaan apapun, sedih, susah, dan senang.

Tokyo, Februari 2007

Jarum jam di pergelangan tangan kiri Kai sudah menunjukkan pukul 5:15 pm. Ia harus segera melaju dari rumah tempat Ayahnya menetap menuju bandara. Waktu penerbangan di tiketnya jelas sekali tertera pukul 6:00 pm. Dengan tergesa ia menenteng koper yang berisi baju-baju sambil menggendong ransel merek Export di punggungnya. Sejenak ia berhenti di depan gerbang rumah itu, berdiri tegap, dan menarik nafasnya dalam-dalam sambil memejamkan mata sipitnya. Ada momen yang seperti tidak rela ditinggalkannya, bunga Sakura sedang indahnya berguguran dan sebetulnya sayang bila ditinggalkan. Beberapa mahkota Sakura yang berwarna merah jambu sempat membelai lengannya yang telanjang sebagai tanda perpisahan. Jepang adalah negara yang indah, namun hidup di Indonesia bersama Ibunya adalah pilihan yang harus ia penuhi sebab Ibunya lah yang memenangkan hak asuhnya.
Kai adalah anak dengan gen campuran antara Ayahnya yang berdarah Jepang dan Ibunya yang berdarah Indonesia asli. Sejak mereka menikah, Tokyo adalah kota yang dipilihnya untuk menetap. Sampai akhirnya bercerai pertengahan tahun 2006 dan Ibu Kai memilih pulang dan menetap di tanah kelahirannya, Jakarta.
Tersadar detakan jam, detik demi detik semakin mengantar jarum pendeknya tepat di angka enam, ia berlari-lari kecil menuju mobil yang sedari tadi terparkir di hadapannya. Kai pun masuk, duduk di sebelah Ayahnya di jok depan dan menghela nafas panjang. Pertanda sudah ikhlas meninggalkan rumah dan pohon Sakura yang sedang bersuka ria menggugurkan bunganya yang indah itu.
Mobil itu melaju kencang. Jendelanya dibiarkan terbuka untuk merasakan udara yang mungkin akan lama tidak dihirupnya. Pikirannya melayang berbalik ke hari-hari saat semuanya masih normal tanpa ada perselisihan antara Ibu dan Ayahnya. Hari-hari dimana lentera hati masih hidup dan nyanyian angin masih syahdu dimusim gugur, mengiringi canda dan langkah kaki yang bebas bergerak tanpa beban. Bersama Ayah, ibu, sahabatnya Takuma, Lu han, Kioko. Dan kekasihnya Yui yang terpaksa ditinggalkannya diam-diam. Ada rasa sesak yang dibawanya dan entah kapan akan hilang.
Pesawat yang akan ditumpanginya sebentar lagi akan terbang, ditatapnya lekat-lekat sang Ayah yang seperti tak rela anak semata wayangnya pergi meninggalkannya. Hidup sebatang kara di Tokyo bukanlah hal yang mudah. Sendiri, dan kosong. Ada air mata yang seperti siap meloncat turun dari dua bola mata itu. Suasana seketika menjadi hening, hanya ada saling tatap yang menjadi isyarat bagi mereka berdua betapa perihnya perpisahan itu.
Kai luruh di dekapan Ayahnya yang tinggal hitungan menit lagi akan ditinggalkannya seorang diri. “Be carefull Kai, I believe that U are my strong boy!”, bisik Ayah Kai dengan nada tegas yang dipaksakan, ada isak tangis yang tertahan di tenggorokannya. Ia hanya tidak ingin nampak menyedihkan di hadapan anak lelakinya itu. Kai buru-buru meyakinkan Ayahnya diikuti dengan tetesan air mata yang sudah tak dapat ditahannya lagi, “I will always back to you, I promise dad !”
Pesawat itupun terbang melesat, semakin menjauh, mengecil, dan hilang tertutupi awan. Tokyo hanya akan menjadi kota kenangan untuk Kai yang mungkin akan dikunjunginya sesekali jika ada hari libur dan atas seizin Ibunya. Di sepanjang perjalanan hanya ada wajah Ayahnya seorang yang sudah mulai menua. Ia benar-benar sendiri sekarang, kecuali jika ia berani melangkah lebih maju untuk meninggalkan masa lalu dengan jalan menikah lagi. Tentu saja dengan wanita yang bisa membuka hatinya kembali.

                                                     *TO BE CONTINUE*

7 komentar:

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com