Jumat, 24 Februari 2012

LOSE (3) *cerita bersambung*


          
           Aula itu tampak penuh dengan mahasiswa berseragam hitam putih. Rin memasuki aula dengan langkah kaki yang canggung. Semua orang di aula itu menusuknya dengan tatapan sinis dan aneh. Seperti seorang pencuri yang baru saja tertangkap basah. Tangan kanannya diangkat seperti ingin hormat tapi tidak, ia mengangkatnya untuk menutupi mukanya yang mulai memerah.
            Bagus…,kesan buruk dihari pertama kuliah. Keningnya mengernyit dan alis tebalnya bersambung.
            Rin memilih berdiri di sudut paling belakang. Dari sana ia bisa menangkap berbagai macam raut muka mahasiswa baru lainnya, sebab semakin ke belakang, tempat pijakan itu semakin tinggi. Persis anak tangga. Seperti psikiater handal, ia terus membaca gelagat orang-orang yang sempat dilihatnya, namun semuanya tampak hampir sama, tegang.

            “Kepada Alfian Alamsyah, ketua himpunan jurusan, dipersilahkan untuk menyampaikan sepatah, dua kata, kepada mahasiswa baru”. Fian pun sedikit maju ke depan, berdiri tegap, dan berdehem sebelum memulai pembicaraannya. Rin tersentak, ia mengenali lelaki tinggi kurus itu. Sial…ternyata dia ketua himpunan, syitt !
            Fian kemudian memulainya, “Selamat pagi adik-adikku calon arsitek handal. Hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi kalian. Hari dimana kalian akan benar-benar sadar bahwa dunia kalian sekarang telah berbeda, dari dunia putih abu-abu ke dunia yang lebih membutuhkan sebuah konsistensi besar. Tidak peduli apa alasan kalian memasuki jurusan ini, yang pastinya ini adalah sebuah pilihan yang harus kalian jalani. Teknik adalah fakultas yang menjunjung tinggi solidaritas, maka kalian mulai hari ini adalah bagian dari keluarga teknik. Selamat atas keberhasilan kalian karena melangkah lebih maju lagi hari ini. Selamat sekali lagi untuk kalian calon arsitek handal !”.
            Rasa kaget Rin seketika mencair dan berganti dengan rasa bangga yang membuncah dari hatinya. Kalimat yang diucapkan Fian benar-benar menghipnotis seisi ruangan, singkat namun bermakna. Kalimat-kalimat itu seakan membangunkannya dari mimpi indah ditidur pulasnya, mimpi yang benar-benar menjadi real, kenyataan yang tak terelakkan lagi. Aku adalah seorang calon arsitek handal Ayah, Ibu…, bisiknya dalam hati sambil mengembangkan senyuman manis dari bibir tipisnya yang melengkung indah. Rasa haru yang tidak bisa terbendung lagi.
*****
            Sekumpulan mahasiswa baru di aula itu bubar dan diarahkan ke halaman samping fakultas . Rin teringat dengan wanti-wanti Fian sebelum masuk aula. Ia semakin gelisah, otaknya berpikir keras tentang cara yang bisa dipakainya menghindar dari ancaman singa buas yang bernama Fian. Ia menengok ke pintu aula, tampak lelaki tinggi kurus itu sedang berbincang-bincang. Rin memilih menyusup ke dalam gerombolan mahasiswa baru yang keluar dan sangat hati-hati melewati pintu.
            Langkah kakinya tiba-tiba tertahan, lengannya tergenggam keras oleh seseorang yang menariknya keluar dari gerombolan itu. Rin memilih memejamkan matanya, berniat menghindari tatapan yang bisa menangkap sosok yang sedari tadi dihindarinya. Mampus..., gumamnya dalam hati.
            “Eh poni, mau lari ya?” Rin mengenal suara serak itu, perlahan ia membuka matanya dan mendongak. Bener kan, gue bilang juga apa. Pasti dia…
            “Karena kamu coba melarikan diri atas kesalahan yang sudah kamu perbuat tadi, kamu mesti dapat hukuman yang bisa bikin kamu kapok. Ayo ikut saya!” Genggaman Fian di lengan Rin semakin erat dan kembali menariknya menjauh dari aula itu. Kali ini Fian membawa gadis kurus itu ke halaman tempat mahasiswa baru lainnya berkumpul. Tepat di hadapan seluruh mahasiswa baru Teknik Arsitektur yang telah berbaris rapi.
            “Semuanya, perhatikan baik-baik ! Menurut kalian orang yang mengabaikan kedisiplinan waktu pantas disebut sebagai seorang calon arsitek?” tanya Fian sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rin. Tidak bisa lari dari apa pun lagi, Rin terpaksa rela menjadi pusat perhatian kala itu. Pundaknya kelihatan lemah, tidak tampak tegap penuh semangat seperti biasanya.
            “Tidak !” jawab mahasiswa-mahasiswa berseragam putih hitam yang ada di hadapannya dengan serempak.
            “Menurut kalian orang yang enggan bertanggung jawab atas kesalahannya dan hendak melarikan diri itu pantas disebut sebagai seorang calon arsitek?”
            “Tidak !”
            “Oke, menurut kalian, apa hukuman yang pantas untuk orang seperti ini ?” Pertanyaan yang satu ini tidak dijawab serempak lagi. Semuanya diam dan suasana hening sejenak. Rin pun berkeringat dingin menunggu vonis dari senior yang sedari tadi mempermalukannya.
            “Kalau begitu, saya yang akan memberi hukuman. Sekarang juga cari orang yang namanya Ratih di gedung ini, ambil fotonya, dan bawa ke sini dalam waktu 20 menit. Rambutnya berombak dan di hidung sisi kirinya ada tahi lalat. Kalau tidak berhasil…, siap-siap untuk lari naik turun dari lantai paling atas ke lantai satu sebanyak sepuluh kali”. Tanpa menunggu komentar apapun dari Rin, Fian bergegas memberi aba-aba, “Mulai!”
            Rin spontan menggerakkan sepasang kakinya yang hari itu tidak diberi jeda sama sekali untuk beristirahat. Otaknya berputar mencari cara cepat untuk menemukan orang yang bernama Ratih dengan tahi lalat di hidung sisi kirinya. Orang di gedung itu sangat banyak dan entah bagaimana caranya untuk mencari satu dari sekian banyak orang. Rin menanyai setiap orang yang di dapatinya sambil berlari-lari kecil, tapi hasilnya nihil.
Sebuah kantin, langkahnya terhenti karena godaan minuman dingin yang terpajang di kulkas khusus minuman. Tenggorokannya yang kering seperti meronta-ronta meminta jatah pemulihnya. Liurnya ditelan tanda kemauan yang tak bisa ditahan lagi. Rin memasuki kantin itu, membuka kulkas, dan menjangkau minuman rasa jambu yang tampak menyegarkan.
“Bayar di sana non !” Kata Ibu kantin sambil menunjuk seorang perempuan yang kelihatan sangat sibuk mengurusi para pembeli yang ingin membayar makanan yang telah mereka pesan. Wah..hebat, ni kantin nggak kalah juga dari restoran, pake kasir segala pula..
“Oya bu, kenal orang yang namanya Ratih nggak? Dia punya tahi lalat di hidungnya”, tanya Rin dengan nada dan raut muka yang penuh selidik.
“Kenal lah non, tiap hari ketemu kok”, jawab ibu itu penuh keyakinan.
“Waduh bu, jangan bercanda donk..serius nih!” Kali ini Rin benar-benar memelas dan tampak hampir putus asa.
“Ya serius kok non, itu di sana Ratih nya!” telunjuk ibu itu mengarahkan Rin menuju sosok Ratih yang punya tahi lalat di hidungnya. Rin tersentak, ternyata Ratih adalah kasir yang sedari tadi sibuk mengurusi pembeli itu. Anjrit..,kirain mahasiswi, ternyata kasir. Emang niat ngerjain gue abis-abisan tuh si Fian. Tanpa banyak tanya lagi, ia merogoh kantongnya untuk mengambil handphone dan menyalakan fitur kameranya.
“Mbak Ratih…!” teriaknya sambil mengarahkan kameranya sejajar dengan wajah wanita itu. Jepret…, Rin berhasil menangkap gambar sesuai dengan perintah Fian tadi.
Rin lari tergesa, poninya jadi tidak rapi lagi. Raut mukanya benar-benar menunjukkan kelelahan yang tidak bisa ditolerir lagi. Keringatnya pun telah membasahi keningnya. Caci-makian sejak tadi berhamburan di relung hatinya seperti siap meledak sebentar lagi. Jika tidak dapat dikendalikannya sedikit saja, bibir tipisnya akan meledakkan semuanya dan habislah riwayatnya, ia akan dikenai hukuman yang mungkin akan lebih melelahkan lagi.
Ia tiba di hadapan Fian dan beberapa orang seniornya yang lain. Sambil menunduk dan memegangi dadanya yang sesak karena berlari tanpa jeda, ia menyodorkan handphone  yang berisi gambar perempuan seperti yang diperintahkan Fian.
“Hwahahahahahaha….., jago juga lu ya! Tau darimana kalau ini yang namanya Ratih?”
“Dari orang lah kak!” Jawab Rin dengan wajah sinis. Rasa jengkelnya sudah mencapai puncak.
Sadar dengan rasa lelah Rin yang terlihat dari mukanya yang sudah mulai pucat dan di sana ada keringat yang tak kunjung berhenti membasahi keningnya. Fian tidak melanjutkan pertanyaannya lagi dan memilih memerintahkan Rin beristirahat.
                                                                                *****
Arrgghh...sial, sial, sial !!! pokoknya gue bakalan jadi Anti Fian forever ! Rin terus menggerutu. Sesekali ia tersenyum sendiri mengingat betapa bodohnya dirinya   gara-gara hukuman itu. Selain karena itu, sebenarnya ia sedikit simpati pada Fian. Sebenarnya dia keren juga sihh, lumayan manis..., pikirnya. Ahhh...tapi tetep aja kurang ajar...

                                          *to be continue*


2 komentar:

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com