Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar,
dari namanya maka dapat ditebak bahwa UIN adalah sebuah kampus yang di dalamnya
penuh dengan nuansa Islam, mahasiswa yang berperilaku seperti layaknya seorang
muslim dan mata kuliah yang sarat dengan nilai-nilai Islam.
Saat pertama saya menginjakkan kaki di
kampus hijau ini dalam rangka pendaftaran ulang mahasiswa baru, saya menjumpai
sebuah gerbang besar dengan cat warna krem yang di atasnya terpampang besar
tulisan “Universitas Islam Negeri”. Kampus ini adalah kampus II, kampus baru
yang konon baru digunakan ditahun masukku, tahun 2010. Letaknya jauh dari
keramaian kota, sepi dan sunyi lantaran tak ada sedikitpun kebisingan yang
datang dari kendaraan-kendaraan bermotor. Namun, itu justru membuatku cukup
nyaman, kutarik nafasku pelan dan relung hatiku berbisik, Tuhan memang selalu
tau yang terbaik bagi umatnya dan menghadiahkanku sebuah kampus yang indah.
Memasuki gerbang kampus, aku melihat
gedung-gedung yang cukup mewah. Dari arsitektur bangunannya, saya yakin arsitek
yang merancangnya mengadopsi gaya bangunan Timur Tengah yang identik dengan
warna krem dan bertekstur seperti masjid. Sejujurnya aku sangat mengagumi semua
yang baru saja saya lihat, sebuah kampus dengan bangunan terbaik di daerah
Makassar.
Setelah pendaftaran ulang, sebuah
kegiatan penyambutan mahasiswa baru pun di mulai. Jika biasanya mahasiswa baru
di hadapkan pada suatu masalah besar yang disuguhkan oleh seniornya dengan
sebutan Ospek, maka kali ini digantikan dengan sebutan Opak. Cukup mengecoh,
membuat bayangan-bayangan penyiksaan seperti yang diceritakan orang-orang
tentang resiko berstatus mahasiswa baru menjadi lebih ringan di benakku.
Pendaftaran Opak ini diadakan oleh
senior-senior yang lebih suka kupanggil dengan sebutan “Mata” atau Mahasiswa
Tua di kampus I yang bertempat di jalan Alauddin Makassar. Cukup tersentak
dengan apa yang saya saksikan kala itu, pemuda-pemuda berstatus sebagai
mahasiswa tapi bergaya layaknya anak jalanan. Beberapa di antaranya berambut
gonrong dengan celana jeans yang sobek di mana-mana. Salah satu di antaranya
berambut gimbal tidak karuan yang sejenak membuatku tergelitik. Ternyata Mbah
Surip, penyanyi legendaris yang terkenal dengan lagunya tak gendong, punya pengikut
juga di kampus yang berlambangkan Islam ini. Mereka tampak begitu angkuh dengan
status kesenioran mereka.
Formulir-formulir Opak seharga sepuluh
ribu rupiah pun mulai dibagikan. Saya mengisinya dengan rasa muak, jengah, dan
kecewa lantaran anggapanku yang mengagung-agungkan kampus dengan lambang Islam
itu perlahan dilunturkan oleh mahasiswanya sendiri, mahasiswa yang menyebut
diri mereka sebagai “Senior”. Tidak cukup sampai di situ, sebuah pertengkaran
hebat antara para senior yang berebut jatah mahasiswa baru menghentakku.
Mahasiswa yang berambut gimbal itu datang membawa balok besar dan memaki-maki
mahasiswa baru yang bergerombolan di depan gedung yang baru saya tahu adalah
sekertariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
(FTK). Sungguh ironis, sebuah Universitas yang belambangkan Islam malah di huni
oleh orang-orang yang menganggap mereka mahasiswa namun tak menunjukkan
refleksi dari kata mahasiswa (Maha;paling tinggi) itu sendiri. Pemikiran
memvonisku spontan keluar, “Apa bedanya mahasiswa Universitas Islam dengan
mahasiswa Universitas Negeri lain ? Apa kata Islam hanya berwujud sebuah
lambang untuk menunjukkan pada banyak orang bahwa di dalamnya ada sebuah
Peradaban Islam yang Maha Mulia ?”.
Perhelatan penyambutan mahasiswa baru
pun diadakan dua hari berikutnya. Bertempat di gedung auditorium kampus II,
gedung dengan arsitektur yang membuatku kagum untuk kedua kalinya ini sedikit
membuatku lupa tentang apa yang telah aku saksikan di kampus I dihari
sebelumnya. Saya mengenakan seragam wajib bagi mahasiswa baru, begitu pula
dengan yang lainnya. Baju putih yang dipasangkan dengan rok dan jilbab hitam.
Saya memilih duduk di lantai dua. Di depan ada Rektor dan orang-orang birokrasi
kampus lainnya. Hari itu adalah hari yang benar-benar membuatku takjub pada
diriku sendiri, status mahasiswa telah ada di tanganku dan sekali lagi saya
berhasil melangkah lebih maju lagi untuk meraih impian walaupun jurusan yang
berhasil saya masuki bukanlah jurusan yang telah lama saya idam-idamkan. Namun
saya percaya, Tuhan tahu yang mana yang lebih pantas untukku.
Acara dimulai, semua mahasiswa tampak
serius mengikutinya. Hingga sekitar kurang lebih satu jam kemudian, sebuah
pecahan kaca mengagetkan seisi gedung, lalu teriakan-teriakan dari mahasiswa
yang duduk di lantai satu semakin riuh. Saya dan mahasiswa lainnya yang duduk
di lantai dua berusaha menyaksikan apa yang terjadi di bawah. Semua mahasiswa
di sana terlihat bergerombolan ke depan tempat orang-orang birokrasi kampus
berkumpul. Rasa takutku mulai berkecamuk dan semakin tak tertahan ketika saya
menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang menganggap dirinya adalah senior namun tak
beretika menyerbu masuk ke dalam gedung dengan membawa patahan-patahan kayu
besar. Tampak orang-orang birokrasi kampus berusaha menghentikan kebrutalan
orang-orang yang lebih tepat di sebut sebagai orang gila itu. Pak Rektor
terdengar terus meneriakkan kata “Allahu Akbar” secara berulang kali. Otakku
dipenuhi dengan tanda tanya tentang apa yang sebenarnya tengah tejadi, apa
permasalahannya dan apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya.
Setelah kebrutalan itu berhasil
dihentikan, semua mahasiswa diperintahkan pulang dan jadwal perkuliahan yang
semula dijadwalkan lebih awal kemudian diundur. Saya lalu tahu, masalahnya
adalah sebuah perebutan mahasiswa baru untuk kegiatan yang disebut Opak antara
BEM Fakultas dan BEM Universitas. Ketakutan-ketakutan yang menggelayuti kami
sebagai mahasiswa baru menjadi sebuah kesan pertama yang buruk dan tidak layak
untuk disimpan di memori kami untuk kemudian kami kenang kelak. Kekaguman-kekaguman terhadap kampus hijau itu
seketika terganti menjadi sebuah vonis buruk, kampus yang awalnya saya kira
sebagai kampus peradaban Islam terganti menjadi kampus biadab. Sungguh miris
dan memalukan. Sebagai ganti untuk kekecewaan itu, Rektor memutuskan men-drop out mahasiswa-mahasiswa yang telah
mengacaukan acara itu sekaligus merusak fasilitas kampus. Sebuah keputusan
bijak namun tidak cukup bagiku untuk begitu saja menghapus moment buruk di hari
itu. Teringat olehku pernyataan seorang demonstran sekaligus penulis handal di
era enam puluh-an, Soek hoe gie, “Masih
terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi
dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka
akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam
tadi”.
Hingga kini ingatan itu masih lekat tersimpan di
memoriku, susah terhapus dengan apapun. Sekarang saya sudah menginjak semester
tiga, banyak hal yang membuatku masih jengah, beberapa dosen yang malas
mengajar dan tidak disiplin, format bimbingan praktikum yang terkesan gagap
teknologi, sampai persaingan tidak sehat di dunia politik kampus yang secara
nyata saya saksikan, tindak suap menyuap yang menandakan sebuah dunia hedonisme
di kampus peradaban Islam. Walaupun juga tak sedikit hal yang mulai membangun
kepercayaanku terhadap kampusku sendiri sedikit demi sedikit, bertemu dengan
orang-orang cerdas dan berpikiran luas. Beberapa waktu lalu sebuah Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) menerimaku menjadi bagian di dalamnya, yang membuatku
belajar tentang arti sebuah proses dan banyak hal lagi.
Saya lagi-lagi teringat sebuah impian
dari Soek hoek gie, “Mimpi saya yang
terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia
berkembang menjadi manusia-manusia yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai
seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang
mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. Saya ingin
melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang
mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas
prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai
kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas
dasar agama, ormas, atau golongan apapun”.
Semoga kelak itu akan terwujud. Entah
kapan…, saya juga menantikan saat-saat itu.
yah.. ego telah membentuk karakter mereka, melambungkan rasa keangkuhan, merasa paling benar tanpa mengindahkan sapaan akrab penegurnya, mungkin mereka adalah generasi yang takut akan masa depannya, sehingga phobia itu menjadikan mereka brutal.. aku tak tau jalan pikiran mereka, walau aku pun pernah berstatus seperti mereka.. yang saya takutkan adalah mereka generasi yang katanya cerdas malah ditunggangi oleh para munafik yang hanya berani berkoar dari balik mejanya..
BalasHapusdogmatis terhadap sebuah asumsi kebenaran merupakan sebuah kesalahan berfikir, merasa angkuh pun tak dapat dipungkiri oleh oleh kaum yang merasa dirinya benar namun, sebaiknya kecerdasan mereka digunakan sebagai tameng tuk menjalankan tugasnyua sebagai mahasiswa yang berpihak kepada rakyat yang lebih membutuhkannya bukan malah menghancurkan fasilitas kampusnya sendiriiiiiiii...
HapusSenioritas semacam itu seperti udh menjadi budaya yang akan selalu ada dikampus2..
BalasHapusSenior bukan Dewa...dan junior bukan kerbau :-/
Hapusbelajarlah dari sebuah tragedi namun jangan sampai kita jatuh, ubalah sistem dengan cara pendang berfikir yang logis tapi bukan anarkis. mereka anarkis krn cara pandang yang masih jauh kebelakang, mereka yang mempertahnkan sistem kekakuan dalam praktikum dan format yang masih awam adalah mereka yang belum pernah berfikir tentang masa depan.
BalasHapussetuju skali k'.. :)
Hapusformat laporn seakn2 mmperlihatkn btapa tdk realistisnya pmikiran yg tdk mngikut pd prkembangan teknologi yg makin pesat skrng...
pdhl zaman sdh smkin memburu qt untk mngerjakn sswtu secepat dn setepat mgkn,, sdikit sj qt mmbuang2 wktu dgn format yg brbelit2 i2, maka wktu seakn brkata pd qt "Selamat tgl bodoh"..