Kamis, 16 Februari 2012

Utuh Mencintaimu




Aku menyusuri gang sempit di kawasan kumuh, sepatuku hampir ditutupi oleh lumpur yang dengan senang hati melompati kakiku tiap aku melangkah. Setelah sampai di ujung gang, terlihat banyak rumah yang terbuat dari kardus, aku juga seperti disambut oleh kebisingan yang tidak biasa di terima oleh telingaku, ada banyak tangisan bayi, ibu-ibu yang berteriak seperti orang kesurupan, preman dengan suaranya yang menggelegar membentak anak-anak yang bajunya lusuh dan sobek di mana-mana sambil melemparinya sandal kotor, “Apa ini, sudah setengah hari mengamen hanya dapat tujuh ribu rupiah, dasar anak setan !!!!”. Preman-preman itu lalu pergi berlalu, mengambil lembaran-lembaran uang seribuan berjumlah tujuh ribu rupiah yang tadinya dikeluhkan, sedangkan anak-anak tadi hanya terdiam sejenak kemudian berlari kencang membawa kerincinya sambil mengenakan topi lusuhnya. Entah sampai kapan aku bisa bertahan di tempat ini, sudah dua hari aku bolak-balik rumah ke kawasan kumuh yang letaknya tidak jauh dari Universitas Muslim Indonesia untuk penelitian skripsiku mengenai pendidikan masyarakat kalangan bawah, mau tidak mau aku harus tetap melanjutkannya agar aku bisa cepat menyelesaikan tugas akhirku sebelum di wisuda dan bergelar Sarjana Pendidikan.

Aku berjalan menuju suatu gubuk yang paling tidak lebih bagus daripada rumah-rumah kardus di kawasan itu, gubuk itu dipakai sebagai tempat belajar anak-anak yang masih memiliki minat belajar namun tidak sanggup bersekolah dengan kendala biaya, kemarin aku tercengang melihat dan merasakan kobaran semangat yang seperti menjalar sampai ke ubun-ubunku dari anak-anak jalanan yang berbaju lusuh belajar berhitung dengan guru suka relanya yang masih peduli dengan pendidikan anak-anak kalangan bawah di kawasan itu, aku seperti mendapatkan sindiran bahwa betapa bermasa bodohnya diriku selama ini dalam belajar padahal aku punya semua fasilitas belajar dan orang tuaku masih mampu membiayaiku sampai titik ini , sedangkan  mereka begitu  semangat belajar meski makanpun susah. Mereka tidak punya apa-apa, tidak memiliki rumah yang layak sebagai tempat belajar, tidak punya sekolah, mereka hanya punya rumah kardus yang jika diterpa angin kencang bisa roboh, gubuk reyot yang mereka sebut sebagai sekolah, sebuah pulpen dan buku tulis pemberian dari guru sukarela mereka, dan semangat yang seperti tidak pernah padam.
Aku melihat hal yang sama dengan yang kemarin di tempat itu, kumpulan anak-anak sedang belajar, namun kali ini bukan berhitung, tapi belajar bahasa inggris. Mereka mengeja abjad dengan logat bahasa Inggris yang masih kaku, mereka lalu mengeja kata-kata sederhana dalam bahasa Inggris.. “I-You-They-She-he”,, secara bersama-sama dan berulang..
Di balik rasa kagumku dengan sekumpulan anak yang kelihatan tergila-gila dengan bahasa inggris itu…,aku juga penasaran dengan sosok yang ada di depan papan tulis yang sedaritadi hanya melemparkan suaranya dan tidak menoleh sama sekali, guru suka rela hari ini bukan lagi gadis yang kemarin, hari ini ada guru pria yg dilihat dari belakang dia seperti artis Fedi  Nuril, tinggi, tidak gemuk, dan sedikit membungkuk. Rambutnya agak bergelombang namun kelihatan rapi..,
“kak, bahasa inggrisnya tangan apa?” teriak seorang anak perempuan sambil mengacungkan tangannya.
“Tangan itu bahasa Inggrisnya hand !” pria itu menoleh sambil mengembangkan senyum bijaknya..
            Hatiku seperti diguyur kelopak-kelopak bunga mawar yang berjatuhan mengenai hatiku dari langit...,,karena rasanya begitu indah. Entah karena apa, namun hatiku berdegup kencang, ada rasa yang tidak bisa kudefenisikan walaupun aku baru bertemu dan melihatnya. Jujur ku katakan, dia mirip artis Fedi Nuril namun dia lebih manis, ada lesung di pipi kirinya ketika ia tersenyum..,manis sekali…dari tutur kata dan bahasa tubuhnya aku tau dia pasti orang yang bijaksana, entah umurnya berapa tapi  sepertinya aku tidak jauh beda dengannya ataukah mungkin sama denganku..beranjak 22 tahun.
“Kenapa kak..,,hhehhe…namanya kak Dimas..dia pintar sekali loh kak…!” tegur seorang anak yang berada tepat di sampingku di barisan paling belakang.
“oh…,namanya Dimas yah..” jawabku sambil tersenyum malu..
“Maaf, seseorang yang duduk di sana namanya siapa?” tanya seseorang yang notabene bernama Dimas itu, spontan aku kaget, yang ditanyai itu aku..
“e..e…aku Gina, aku sudah dua hari kesini, ingin meneliti untuk skripsiku, kemarin sudah minta izin sama yang mengajar di sini sebelum Anda, Kak Yani” jawabku dengan terbata-bata sambil menebak-nebak apakah dia marah karena aku mengganggu sedari tadi.
“tidak apa-apa Gina, iya memang benar hari ini bukan Yani yang mengajar, tapi aku, namaku Dimas” dia tersenyum lebar…, jadi aku membalasnya dengan memasang senyuman termanisku. Aku yakin mukaku jadi merah sekali.
Ia selesai mengajar, anak-anak yang belajarpun berlarian saling kejar-kejaran meninggalkan gubuk tua yang disebut mereka sebagai sekolah itu.  Aku masih duduk kaku, tidak tau harus apa, ingin menyapanya tapi malu, ingin pergi dari tempat itu tapi seperti tidak ingin cepat meninggalkan moment berharga untuk lebih mengenalnya. Terlalu cepat jika kusimpulkan aku jatuh cinta, kalau begitu aku buat kesimpulan sejauh ini aku hanya kagum… aku tau diriku, selama ini aku mudah sekali kagum dengan seseorang, beberapa bulan yang lalu aku ingat aku kira aku menyukai Hilman tapi ternyata itu tidak lebih dari sekedar kagum maka kuputuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya…
Sadar akan itu, aku tidak ingin membiarkan diriku membuat kesalahan yang sama, aku beranjak dari tempat dudukku…
“Hey Gina..,kenapa cepat sekali pergi?”
Langkahku spontan terhenti, Dimas bertanya padaku…, aku membalikkan badanku ke arahnya,
“yahh…?? Emm…aku mau ke kampus, temanku bilang, aku harus bertemu dosen pembimbingku sekarang”
aku menjawabnya dengan nada gugup, ada rasa yang tidak tau kenapa serasa ingin membuncah mendengarnya menyebut namaku…
            “ouh…kamu kuliah dimana? Mungkin kita searah, aku juga sudah ingin pulang sekarang!”
“Aku kuliah di UIN Alauddin”
“Kalau begitu kita sama-sama saja, aku tinggal di Pettarani, kita searah”
Aku tidak berkata apa-apa, Dimas tersenyum padaku, lekukan kelopak matanya seperti mengikuti lekukan bibirnya ketika tersenyum, dan lesung di pipi kirinya itu benar-benar menyita perhatianku. Ia lalu meraih helm berwarna biru dan meyodorkannya padaku, itu warna favoriteku, sapphire blue. Aku jadi pulang bersama Dimas di hari itu. Tidak ada pembicaraan apa-apa di sepanjang jalan, Dimas tidak menanyaiku apa-apa jadi aku juga diam.
***
            Sejak berkenalan dengan Dimas aku jadi semakin semangat ke kawasan kumuh itu, sebenarnya penelitianku sudah selesai tapi aku enggan berhenti mengunjungi rumah-rumah kardus untuk mengantarkan mereka makanan atau hanya sekedar melihat keadaan mereka, tentu saja itu semua kulakukan bersama Dimas setiap hari. Dimas adalah seorang tamatan Universitas Muslim Indonesia jurusan Tekhnik Sipil, waktu aku tanya kenapa dia mau mengajar suka rela di kawasan kumuh seperti itu, ia hanya tersenyum dan menjawab kalau dia suka melihat semangat anak-anak di sana, ia juga ingin menikmati detik-detik hidupnya dengan hal-hal positif agar ia bisa bermanfaat bagi orang banyak. Jawaban itu membuatku semakin mengaguminya…, entahlah…sepertinya ini sudah lebih dari sekedar kagum, sudah lebih dari sebulan aku mengenalnya dan aku merasa aku sudah melewati batas kagum dan beranjak ke titik rasa suka dan mungkin cinta…
            Dimas…..aku jatuh cinta padamu……, begitulah kalimat yang selalu dilontarkan hatiku saat melihat Dimas, ingin segera di lemparkan oleh bibirku tapi aku berusaha menahannya untuk melindungi harga diriku sebagai seorang wanita, yang aku tau Dimas cukup perhatian padaku, tiap hari ia mengantarku pulang, ketika aku turun dari motornya, ia akan selalu bilang aku harus jaga diri baik-baik sambil memperlihatkan senyum manisnya.  Aku hanya tinggal menunggu Dimas katakan tentang perasaannya padaku.
***
            Seperti biasanya, aku menunggu Dimas di gubuk tempat belajar anak-anak di kawasan itu. Untuk mengisi kekosongan, untuk sementara aku menggantikan Dimas mengajar bahasa Inggris. Waktu belajar hari itu selesai, Dimas tidak juga datang, aku terus mencoba menghubunginya tapi tidak ada yang menjawab, aku gelisah, batinku berkecamuk, aku takut terjadi apa-apa dengan Dimas. Dimas bukan tipe orang yang senang melanggar janji, ia janji akan datang dan menemaniku mengantarkan ibu Anto ke rumah sakit, ibu salah satu dari anak-anak yang belajar di gubuk itu, ia sudah demam dan batuk tanpa henti selama 2 bulan lebih, selain itu aku juga ingin memberinya sebuah undangan, itu undangan acara wisuda ku besok lusa, kebetulan aku punya dua undangan, temanku kasi aku undangannya karena orang tuanya tidak sempat hadir, aku ingin Dimas liat aku memakai toga dan membuatnya bangga padaku.  Aku berhenti menunggu Dimas dan bergegas membawa ibu itu ke rumah sakit lalu pulang ke rumah, undangan itu aku berikan ke Windi temanku.
            Keesokan harinya Dimas datang, tapi aku merasa marah, marah karena di hari sebelumnya ia telah melanggar janjinya. Aku hanya diam tanpa bicara apa-apa, aku juga tidak berniat menanyakan kenapa kemarin ia tidak datang, aku tau dengan diam dia akan tau bahwa aku marah padanya. Dimas juga banyak diam hari ini, ia hanya bicara seadanya jika ada anak yang bertanya, senyumnya juga seperti dipaksa, aku mulai berpikir, Dimas mungkin sedang mengahadapi masalah yang berat, terlalu egois jika marah padanya padahal mungkin ia sedang dililit masalah yang membuatnya melanggar janji, aku lalu menyapanya setelah kegiatan mengajarnya selesai, ia hanya tersenyum dan meminta maaf. Dimas tetap mengantarku pulang, tapi ketika aku turun dari motor, aku menahan taksi dan mengikutinya, itu karena aku benar-benar penasaran dengan perubahannya, seperti bukan Dimas yang aku kenal. Motornya masuk ke dalam sebuah tempat, tapi aku tersentak saat menyadari ia telah memasuki rumah sakit Wahidin Sudiro husodo, ia lalu turun dari motornya, aku terus mengikutinya sampai ia masuk di sebuah kamar perawatan, aku makin penasaran siapa yang sedang dirawat di ruangan itu. Pelan-pelan aku mendekati kamar itu, di pintu kamar itu ada kaca mini yang memungkinkanku melihat siapa yang ada di kamar itu, aku sedikit jinjit karena aku tidak cukup tinggi untuk mencapainya.
Aliran darahku seperti terhenti seketika, sekujur tubuhku kaku, aku lihat Dimas menggenggam tangan seorang wanita di kamar itu, aku lalu sadar itu Kak Yani, pengajar wanita yang pertama kali kutemui sebelum Dimas. Kak Yani sosok wanita yang baik, selain cerdas, ia juga cukup ramah dan anggun. Walaupun begitu aku merasa hancur, air mataku menetes membasahi pipi dan bibirku, aku baru menyadari Dimas tidak punya perasaan yang lebih dari teman padaku selama ini, itu karena ia sudah punya kak Yani dan kak Yani memang pantas untuknya, tidak sepertiku yang kekanak-kanakan dan manja. Kak Yani kelihatan cukup parah, ada tabung oksigen di sampingnya, mulut dan hidungnya ditutupi alat bantu pernafasan, Dimas tampak hancur duduk di samping kanannya dan menggenggam erat tangan kak Yani seperti takut kehilangan.
Seorang suster mengagetkanku, ia ingin masuk di kamar itu untuk mengecek kondisi kak Yani, aku mencegatnya dan bertanya tentang penyakit yang diderita kak Yani , suster hanya bilang satu kalimat dan segera masuk ke ruangan itu. Suster bilang kak Yani menderita kanker otak stadium akhir. Aku jadi bingung, aku ingin marah pada kak Yani karena ia lebih berharga di mata Dimas dibanding diriku tapi ada rasa ibah yang mendalam setelah tau ia mengidap penyakit mematikan.
Malam itu aku benar-benar merasa sangat menyedihkan, bintang-bintang jadi tidak indah seperti biasanya, angin malam seperti tidak bersahabat. Baru kali ini aku benar-benar mencintai seorang pria secara utuh tapi ternyata ia telah memiliki cinta yang lain. Besok aku akan wisuda dan memakai toga kebanggaanku tapi semangatku seperti hilang, ada rasa kecewa yang tak terbendung, aku ingin melupakan perasaan yang benar-benar salah terhadap Dimas tapi aku sudah terlambat.
***
            Hari ini aku wisuda, teman-temanku tampak cantik dengan kebaya, aku sendiri mengenakan kebaya berwarna Coklat muda, lengkap dengan toga yang bertengger di atas kepalaku. Aku akan benar-benar jadi sarjana hari ini, aku lihat ibu dan ayahku sangat bahagia jadi rasa sakit dan kecewaku aku telan dalam-dalam agar tak Nampak di hari bahagia ku ini.
            Tiba giliranku naik ke atas podium, pembawa acara menyebut namaku dengan lantang,
“Gina Raudhatul Jannah, wisudawan terbaik prodi Pendidikan Biologi dengan IP 4,00”
Ada rasa bangga yang membuncah, aku yakin ibu dan ayahku sangat bangga mendengar itu. Andai saja ada Dimas dan dia bukan milik siapa-siapa, aku yakin dia juga akan bangga mendengar itu. Aku menengadah ke lantai dua, melihat orang-orang bertepuk tangan untukku, lalu mataku terhenti di ujung kanan, ada sosok yang tidak asing bagiku, iya benar, itu Dimas. Aku tidak berpikir apa-apa, aku lupakan rasa kecewa itu, yang pastinya, walaupun Dimas tidak punya perasaan padaku, dia telah bersedia datang untukku. Entah siapa yang memberitahunya tapi aku menebak-nebak, pasti ini kerjaan sahabatku Windi. Kak Yani? Entah bagaimana keadaannya hari ini sampai Dimas rela meninggalkannya sejenak untuk melihatku di wisuda.
            Acara wisuda selesai, aku mencari-cari Dimas, tapi aku tidak melihatnya. “Mungkinkah ada apa-apa dengan kak Yani lalu Dimas segera meninggalkan acara wisuda dan kembali ke rumah sakit??” gumamku dalam hati. Aku minta Ayah mengantarku ke rumah sakit, aku ingin liat kak Yani, mungkin dia semakin parah, aku merasa begitu terdorong untuk menjenguknya.
            Belum sampai di kamar tempat kak Yani terbaring lemah, aku dengar jeritan, aku semakin bergegas ke kamar itu dan terhenti di depan pintu kamar, aku liat seorang ibu yang mengerang, kak Yani yang kemarin dibantu bernafas menggunakan pompa oksigen sekarang ditutupi kain. Aku liat Dimas di sudut kamar, berlutut pasrah, air matanya jatuh tapi ia tidak menjerit, pasti sangat sakit. Aku ingin mendekatinya dan menguatkannya tapi aku takut itu akan semakin mengganggunya. Aku rasa aku bersalah, sepertinya aku telah membuat Dimas tidak bisa liat kak Yani di detik-detik terakhirnya.
            Aku mengikuti prosesi pemakamannya, aku sungguh merasa bersalah namun tidak tau dengan apa bisa kutebus semuanya. Dimas tidak pernah menghubungiku lagi sejak itu selama lima hari, aku tau ia masih berduka selepas kepergian kak Yani. Aku jadi sakit, jatuh pingsan di gubuk tempatku dan Dimas pertama kali bertemu saat aku mengajari anak-anak matematika, itu karena aku tidak peduli dengan kesehatanku lagi, aku merasa kehilangan yang membuatku semakin terpuruk. Aku terbangun di sebuah ruangan, itu rumah sakit, ada tangan yang menggenggamku erat, terasa begitu hangat, aku coba melihat sosok itu, entah aku bermimpi atau tidak tapi aku liat itu Dimas. Dimas segera menyadarkanku bahwa itu nyata dengan menanyaiku tentang keadaanku.
“Gina, bagaimana? Apa kau merasa sakit? Ini aku Dimas…”
            “Aku tidak apa-apa, aku hanya kelelahan”
“Baguslah, istirahatlah..aku tidak ingin kalau Gina sampai kenapa-napa”
            “Maaf yah..,,gara-gara acara wisuda ku hari itu, Dimas jadi tidak bisa liat kak Yani di detik-detik terakhirnya, aku tau Dimas sangat mencintainya”
“bukan karena Gina, aku memang mencintai kak Yani karena dia adalah kakak terbaik untukku dan Tuhan yang merencanakan semuanya”
“kakak? Aku pikir….”
“Gina, mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi aku mencintaimu dengan utuh, kanker otak telah membunuh kakakku, dan aku tidak ingin penyakit apapun membunuhmu, jadi tolong jaga dirimu baik-baik…”
Aku sungguh bahagia saat itu, Dimas bilang ia mencintaiku dengan utuh… aku jadi merasa bersalah pada almarhum kak Yani yang tadinya aku kira kekasih Dimas sampai aku iri padanya, ternyata aku harusnya berterima kasih pada kak Yani karena ia memiliki adik yang begitu baik dan sempurna di mataku.
“Aku juga mencintaimu dengan utuh Dimas…,,”
Sekarang aku jadi kekasihnya Dimas, ia melindungiku setiap saat, ia selalu ada saat kubutuh. Terima kasih Tuhan…telah mengirimkan malaikat sesempurna Dimas untukku…..
Dimas sangat mencintai kakaknya, itu aku sadari karena aku pernah mendapati sebuah tulisan di catatan facebook nya…
Pembunuh
Terlentang…
Tak ada suara…
Tak ada kedipan…
Kaku…
Dingin…
sekitarku mengerang..
Sekitarku bilang itu karena kanker…
Siapa kanker???
Mungkinkah ia pembunuh???
Kenapa tidak ada yang mencegah???
Kenapa tidak ada yang melawan???
Aku murka pada kanker…
Kanker buat dia lumpuh…
Kanker buat dia bisu…
Kanker buat O2 menolak masuk..
Kanker buat CO2 tertahan…
Tak ada hembusan…
Aku lalu tau..
Kanker membuatnya mati…
Aku semakin murka…
Tapi sekitarku bilang,,
Hanya satu hal yang tidak bisa kanker bunuh…
Itu cinta…
Aku lalu percaya..
Cintaku..
Cinta orang-orang sekitarku..
Akan mengiringi jiwanya yang terbang jauh ke sisi Tuhan…

Dimas juga selalu bercerita tentang kak Yani, aku jadi seperti sangat dekat dengan kakak tersayang Dimas yang meninggal karena penyakit mematikan itu. Dimas bilang kak Yani adalah sosok wanita idealnya, aku selalu merasa iri jika Dimas berkata seperti itu, tapi Dimas selalu tersenyum memamerkan lesung pipinya dan menawar rasa iri ku dengan kalimat…
“Tapi aku mencintai Gina tanpa syarat apa pun, Gina tidak perlu merasa iri, karena aku suka semua yang ada di diri Gina, jadilah wanita idealku dengan cara Gina sendiri… Aku mencintaimu secara utuh Gina….”

(puisi di atas di dedikasikan untuk seseorang yang kini telah jauh pergi karena kanker payudara…, mungkin ia telah dikalahkan oleh kanker, tapi aku bangga padanya.., ia telah menjadi petarung kanker sejati…,26 November 2011)




4 komentar:

  1. aku mencintai seseorag yng menulis denga air mata, dan kuhargai dengan air mata pula. good luck

    BalasHapus
  2. waw.....asyek euy .... okelah... boleh kaga nih belajar nulis?

    BalasHapus
    Balasan
    1. aq dah buka blognya kamu....,, tulisannnya kere kock,,, :)

      Hapus

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com