Aku
menyusuri gang sempit di kawasan kumuh, sepatuku hampir ditutupi oleh lumpur
yang dengan senang hati melompati kakiku tiap aku melangkah. Setelah sampai di
ujung gang, terlihat banyak rumah yang terbuat dari kardus, aku juga seperti
disambut oleh kebisingan yang tidak biasa di terima oleh telingaku, ada banyak
tangisan bayi, ibu-ibu yang berteriak seperti orang kesurupan, preman dengan
suaranya yang menggelegar membentak anak-anak yang bajunya lusuh dan sobek di
mana-mana sambil melemparinya sandal kotor, “Apa ini, sudah setengah hari
mengamen hanya dapat tujuh ribu rupiah, dasar anak setan !!!!”. Preman-preman
itu lalu pergi berlalu, mengambil lembaran-lembaran uang seribuan berjumlah
tujuh ribu rupiah yang tadinya dikeluhkan, sedangkan anak-anak tadi hanya
terdiam sejenak kemudian berlari kencang membawa kerincinya sambil mengenakan
topi lusuhnya. Entah sampai kapan aku bisa bertahan di tempat ini, sudah dua
hari aku bolak-balik rumah ke kawasan kumuh yang letaknya tidak jauh dari
Universitas Muslim Indonesia untuk penelitian skripsiku mengenai pendidikan
masyarakat kalangan bawah, mau tidak mau aku harus tetap melanjutkannya agar
aku bisa cepat menyelesaikan tugas akhirku sebelum di wisuda dan bergelar
Sarjana Pendidikan.
Aku
berjalan menuju suatu gubuk yang paling tidak lebih bagus daripada rumah-rumah
kardus di kawasan itu, gubuk itu dipakai sebagai tempat belajar anak-anak yang
masih memiliki minat belajar namun tidak sanggup bersekolah dengan kendala
biaya, kemarin aku tercengang melihat dan merasakan kobaran semangat yang
seperti menjalar sampai ke ubun-ubunku dari anak-anak jalanan yang berbaju
lusuh belajar berhitung dengan guru suka relanya yang masih peduli dengan
pendidikan anak-anak kalangan bawah di kawasan itu, aku seperti mendapatkan
sindiran bahwa betapa bermasa bodohnya diriku selama ini dalam belajar padahal
aku punya semua fasilitas belajar dan orang tuaku masih mampu membiayaiku
sampai titik ini , sedangkan mereka
begitu semangat belajar meski makanpun
susah. Mereka tidak punya apa-apa, tidak memiliki rumah yang layak sebagai
tempat belajar, tidak punya sekolah, mereka hanya punya rumah kardus yang jika
diterpa angin kencang bisa roboh, gubuk reyot yang mereka sebut sebagai
sekolah, sebuah pulpen dan buku tulis pemberian dari guru sukarela mereka, dan
semangat yang seperti tidak pernah padam.
Aku
melihat hal yang sama dengan yang kemarin di tempat itu, kumpulan anak-anak sedang
belajar, namun kali ini bukan berhitung, tapi belajar bahasa inggris. Mereka
mengeja abjad dengan logat bahasa Inggris yang masih kaku, mereka lalu mengeja
kata-kata sederhana dalam bahasa Inggris.. “I-You-They-She-he”,, secara
bersama-sama dan berulang..
Di
balik rasa kagumku dengan sekumpulan anak yang kelihatan tergila-gila dengan
bahasa inggris itu…,aku juga penasaran dengan sosok yang ada di depan papan
tulis yang sedaritadi hanya melemparkan suaranya dan tidak menoleh sama sekali,
guru suka rela hari ini bukan lagi gadis yang kemarin, hari ini ada guru pria
yg dilihat dari belakang dia seperti artis Fedi
Nuril, tinggi, tidak gemuk, dan sedikit membungkuk. Rambutnya agak bergelombang
namun kelihatan rapi..,
“kak,
bahasa inggrisnya tangan apa?” teriak seorang anak perempuan sambil
mengacungkan tangannya.
“Tangan
itu bahasa Inggrisnya hand !” pria itu menoleh sambil mengembangkan senyum
bijaknya..
Hatiku seperti diguyur
kelopak-kelopak bunga mawar yang berjatuhan mengenai hatiku dari langit...,,karena
rasanya begitu indah. Entah karena apa, namun hatiku berdegup kencang, ada rasa
yang tidak bisa kudefenisikan walaupun aku baru bertemu dan melihatnya. Jujur
ku katakan, dia mirip artis Fedi Nuril namun dia lebih manis, ada lesung di
pipi kirinya ketika ia tersenyum..,manis sekali…dari tutur kata dan bahasa
tubuhnya aku tau dia pasti orang yang bijaksana, entah umurnya berapa tapi sepertinya aku tidak jauh beda dengannya
ataukah mungkin sama denganku..beranjak 22 tahun.
“Kenapa
kak..,,hhehhe…namanya kak Dimas..dia pintar sekali loh kak…!” tegur seorang
anak yang berada tepat di sampingku di barisan paling belakang.
“oh…,namanya
Dimas yah..” jawabku sambil tersenyum malu..
“Maaf,
seseorang yang duduk di sana namanya siapa?” tanya seseorang yang notabene
bernama Dimas itu, spontan aku kaget, yang ditanyai itu aku..
“e..e…aku
Gina, aku sudah dua hari kesini, ingin meneliti untuk skripsiku, kemarin sudah
minta izin sama yang mengajar di sini sebelum Anda, Kak Yani” jawabku dengan
terbata-bata sambil menebak-nebak apakah dia marah karena aku mengganggu sedari
tadi.
“tidak
apa-apa Gina, iya memang benar hari ini bukan Yani yang mengajar, tapi aku,
namaku Dimas” dia tersenyum lebar…, jadi aku membalasnya dengan memasang
senyuman termanisku. Aku yakin mukaku jadi merah sekali.
Ia
selesai mengajar, anak-anak yang belajarpun berlarian saling kejar-kejaran
meninggalkan gubuk tua yang disebut mereka sebagai sekolah itu. Aku masih duduk kaku, tidak tau harus apa,
ingin menyapanya tapi malu, ingin pergi dari tempat itu tapi seperti tidak
ingin cepat meninggalkan moment berharga untuk lebih mengenalnya. Terlalu cepat
jika kusimpulkan aku jatuh cinta, kalau begitu aku buat kesimpulan sejauh ini
aku hanya kagum… aku tau diriku, selama ini aku mudah sekali kagum dengan
seseorang, beberapa bulan yang lalu aku ingat aku kira aku menyukai Hilman tapi
ternyata itu tidak lebih dari sekedar kagum maka kuputuskan untuk mengakhiri
hubunganku dengannya…
Sadar
akan itu, aku tidak ingin membiarkan diriku membuat kesalahan yang sama, aku
beranjak dari tempat dudukku…
“Hey
Gina..,kenapa cepat sekali pergi?”
Langkahku
spontan terhenti, Dimas bertanya padaku…, aku membalikkan badanku ke arahnya,
“yahh…??
Emm…aku mau ke kampus, temanku bilang, aku harus bertemu dosen pembimbingku
sekarang”
aku
menjawabnya dengan nada gugup, ada rasa yang tidak tau kenapa serasa ingin
membuncah mendengarnya menyebut namaku…
“ouh…kamu
kuliah dimana? Mungkin kita searah, aku juga sudah ingin pulang sekarang!”
“Aku kuliah di UIN Alauddin”
“Kalau
begitu kita sama-sama saja, aku tinggal di Pettarani, kita searah”
Aku
tidak berkata apa-apa, Dimas tersenyum padaku, lekukan kelopak matanya seperti
mengikuti lekukan bibirnya ketika tersenyum, dan lesung di pipi kirinya itu
benar-benar menyita perhatianku. Ia lalu meraih helm berwarna biru dan
meyodorkannya padaku, itu warna favoriteku, sapphire blue. Aku jadi pulang
bersama Dimas di hari itu. Tidak ada pembicaraan apa-apa di sepanjang jalan,
Dimas tidak menanyaiku apa-apa jadi aku juga diam.
***
Sejak berkenalan dengan Dimas aku
jadi semakin semangat ke kawasan kumuh itu, sebenarnya penelitianku sudah
selesai tapi aku enggan berhenti mengunjungi rumah-rumah kardus untuk mengantarkan
mereka makanan atau hanya sekedar melihat keadaan mereka, tentu saja itu semua
kulakukan bersama Dimas setiap hari. Dimas adalah seorang tamatan Universitas
Muslim Indonesia jurusan Tekhnik Sipil, waktu aku tanya kenapa dia mau mengajar
suka rela di kawasan kumuh seperti itu, ia hanya tersenyum dan menjawab kalau
dia suka melihat semangat anak-anak di sana, ia juga ingin menikmati
detik-detik hidupnya dengan hal-hal positif agar ia bisa bermanfaat bagi orang
banyak. Jawaban itu membuatku semakin mengaguminya…, entahlah…sepertinya ini
sudah lebih dari sekedar kagum, sudah lebih dari sebulan aku mengenalnya dan
aku merasa aku sudah melewati batas kagum dan beranjak ke titik rasa suka dan
mungkin cinta…
Dimas…..aku jatuh cinta padamu……,
begitulah kalimat yang selalu dilontarkan hatiku saat melihat Dimas, ingin
segera di lemparkan oleh bibirku tapi aku berusaha menahannya untuk melindungi
harga diriku sebagai seorang wanita, yang aku tau Dimas cukup perhatian padaku,
tiap hari ia mengantarku pulang, ketika aku turun dari motornya, ia akan selalu
bilang aku harus jaga diri baik-baik sambil memperlihatkan senyum
manisnya. Aku hanya tinggal menunggu
Dimas katakan tentang perasaannya padaku.
***
Seperti biasanya, aku menunggu Dimas
di gubuk tempat belajar anak-anak di kawasan itu. Untuk mengisi kekosongan,
untuk sementara aku menggantikan Dimas mengajar bahasa Inggris. Waktu belajar
hari itu selesai, Dimas tidak juga datang, aku terus mencoba menghubunginya
tapi tidak ada yang menjawab, aku gelisah, batinku berkecamuk, aku takut
terjadi apa-apa dengan Dimas. Dimas bukan tipe orang yang senang melanggar
janji, ia janji akan datang dan menemaniku mengantarkan ibu Anto ke rumah
sakit, ibu salah satu dari anak-anak yang belajar di gubuk itu, ia sudah demam
dan batuk tanpa henti selama 2 bulan lebih, selain itu aku juga ingin
memberinya sebuah undangan, itu undangan acara wisuda ku besok lusa, kebetulan
aku punya dua undangan, temanku kasi aku undangannya karena orang tuanya tidak
sempat hadir, aku ingin Dimas liat aku memakai toga dan membuatnya bangga
padaku. Aku berhenti menunggu Dimas dan
bergegas membawa ibu itu ke rumah sakit lalu pulang ke rumah, undangan itu aku
berikan ke Windi temanku.
Keesokan harinya Dimas datang, tapi
aku merasa marah, marah karena di hari sebelumnya ia telah melanggar janjinya.
Aku hanya diam tanpa bicara apa-apa, aku juga tidak berniat menanyakan kenapa
kemarin ia tidak datang, aku tau dengan diam dia akan tau bahwa aku marah
padanya. Dimas juga banyak diam hari ini, ia hanya bicara seadanya jika ada
anak yang bertanya, senyumnya juga seperti dipaksa, aku mulai berpikir, Dimas
mungkin sedang mengahadapi masalah yang berat, terlalu egois jika marah padanya
padahal mungkin ia sedang dililit masalah yang membuatnya melanggar janji, aku
lalu menyapanya setelah kegiatan mengajarnya selesai, ia hanya tersenyum dan
meminta maaf. Dimas tetap mengantarku pulang, tapi ketika aku turun dari motor,
aku menahan taksi dan mengikutinya, itu karena aku benar-benar penasaran dengan
perubahannya, seperti bukan Dimas yang aku kenal. Motornya masuk ke dalam
sebuah tempat, tapi aku tersentak saat menyadari ia telah memasuki rumah sakit
Wahidin Sudiro husodo, ia lalu turun dari motornya, aku terus mengikutinya
sampai ia masuk di sebuah kamar perawatan, aku makin penasaran siapa yang
sedang dirawat di ruangan itu. Pelan-pelan aku mendekati kamar itu, di pintu
kamar itu ada kaca mini yang memungkinkanku melihat siapa yang ada di kamar
itu, aku sedikit jinjit karena aku tidak cukup tinggi untuk mencapainya.
Aliran
darahku seperti terhenti seketika, sekujur tubuhku kaku, aku lihat Dimas
menggenggam tangan seorang wanita di kamar itu, aku lalu sadar itu Kak Yani,
pengajar wanita yang pertama kali kutemui sebelum Dimas. Kak Yani sosok wanita
yang baik, selain cerdas, ia juga cukup ramah dan anggun. Walaupun begitu aku
merasa hancur, air mataku menetes membasahi pipi dan bibirku, aku baru
menyadari Dimas tidak punya perasaan yang lebih dari teman padaku selama ini,
itu karena ia sudah punya kak Yani dan kak Yani memang pantas untuknya, tidak
sepertiku yang kekanak-kanakan dan manja. Kak Yani kelihatan cukup parah, ada
tabung oksigen di sampingnya, mulut dan hidungnya ditutupi alat bantu
pernafasan, Dimas tampak hancur duduk di samping kanannya dan menggenggam erat
tangan kak Yani seperti takut kehilangan.
Seorang
suster mengagetkanku, ia ingin masuk di kamar itu untuk mengecek kondisi kak
Yani, aku mencegatnya dan bertanya tentang penyakit yang diderita kak Yani ,
suster hanya bilang satu kalimat dan segera masuk ke ruangan itu. Suster bilang
kak Yani menderita kanker otak stadium akhir. Aku jadi bingung, aku ingin marah
pada kak Yani karena ia lebih berharga di mata Dimas dibanding diriku tapi ada
rasa ibah yang mendalam setelah tau ia mengidap penyakit mematikan.
Malam
itu aku benar-benar merasa sangat menyedihkan, bintang-bintang jadi tidak indah
seperti biasanya, angin malam seperti tidak bersahabat. Baru kali ini aku
benar-benar mencintai seorang pria secara utuh tapi ternyata ia telah memiliki
cinta yang lain. Besok aku akan wisuda dan memakai toga kebanggaanku tapi
semangatku seperti hilang, ada rasa kecewa yang tak terbendung, aku ingin
melupakan perasaan yang benar-benar salah terhadap Dimas tapi aku sudah
terlambat.
***
Hari ini aku wisuda, teman-temanku
tampak cantik dengan kebaya, aku sendiri mengenakan kebaya berwarna Coklat
muda, lengkap dengan toga yang bertengger di atas kepalaku. Aku akan
benar-benar jadi sarjana hari ini, aku lihat ibu dan ayahku sangat bahagia jadi
rasa sakit dan kecewaku aku telan dalam-dalam agar tak Nampak di hari bahagia
ku ini.
Tiba giliranku naik ke atas podium,
pembawa acara menyebut namaku dengan lantang,
“Gina
Raudhatul Jannah, wisudawan terbaik prodi Pendidikan Biologi dengan IP 4,00”
Ada
rasa bangga yang membuncah, aku yakin ibu dan ayahku sangat bangga mendengar
itu. Andai saja ada Dimas dan dia bukan milik siapa-siapa, aku yakin dia juga
akan bangga mendengar itu. Aku menengadah ke lantai dua, melihat orang-orang
bertepuk tangan untukku, lalu mataku terhenti di ujung kanan, ada sosok yang
tidak asing bagiku, iya benar, itu Dimas. Aku tidak berpikir apa-apa, aku
lupakan rasa kecewa itu, yang pastinya, walaupun Dimas tidak punya perasaan
padaku, dia telah bersedia datang untukku. Entah siapa yang memberitahunya tapi
aku menebak-nebak, pasti ini kerjaan sahabatku Windi. Kak Yani? Entah bagaimana
keadaannya hari ini sampai Dimas rela meninggalkannya sejenak untuk melihatku
di wisuda.
Acara wisuda selesai, aku
mencari-cari Dimas, tapi aku tidak melihatnya. “Mungkinkah ada apa-apa dengan
kak Yani lalu Dimas segera meninggalkan acara wisuda dan kembali ke rumah
sakit??” gumamku dalam hati. Aku minta Ayah mengantarku ke rumah sakit, aku
ingin liat kak Yani, mungkin dia semakin parah, aku merasa begitu terdorong
untuk menjenguknya.
Belum sampai di kamar tempat kak
Yani terbaring lemah, aku dengar jeritan, aku semakin bergegas ke kamar itu dan
terhenti di depan pintu kamar, aku liat seorang ibu yang mengerang, kak Yani
yang kemarin dibantu bernafas menggunakan pompa oksigen sekarang ditutupi kain.
Aku liat Dimas di sudut kamar, berlutut pasrah, air matanya jatuh tapi ia tidak
menjerit, pasti sangat sakit. Aku ingin mendekatinya dan menguatkannya tapi aku
takut itu akan semakin mengganggunya. Aku rasa aku bersalah, sepertinya aku
telah membuat Dimas tidak bisa liat kak Yani di detik-detik terakhirnya.
Aku mengikuti prosesi pemakamannya,
aku sungguh merasa bersalah namun tidak tau dengan apa bisa kutebus semuanya.
Dimas tidak pernah menghubungiku lagi sejak itu selama lima hari, aku tau ia
masih berduka selepas kepergian kak Yani. Aku jadi sakit, jatuh pingsan di
gubuk tempatku dan Dimas pertama kali bertemu saat aku mengajari anak-anak
matematika, itu karena aku tidak peduli dengan kesehatanku lagi, aku merasa kehilangan
yang membuatku semakin terpuruk. Aku terbangun di sebuah ruangan, itu rumah
sakit, ada tangan yang menggenggamku erat, terasa begitu hangat, aku coba
melihat sosok itu, entah aku bermimpi atau tidak tapi aku liat itu Dimas. Dimas
segera menyadarkanku bahwa itu nyata dengan menanyaiku tentang keadaanku.
“Gina,
bagaimana? Apa kau merasa sakit? Ini aku Dimas…”
“Aku tidak apa-apa, aku hanya
kelelahan”
“Baguslah,
istirahatlah..aku tidak ingin kalau Gina sampai kenapa-napa”
“Maaf
yah..,,gara-gara acara wisuda ku hari itu, Dimas jadi tidak bisa liat kak Yani
di detik-detik terakhirnya, aku tau Dimas sangat mencintainya”
“bukan
karena Gina, aku memang mencintai kak Yani karena dia adalah kakak terbaik
untukku dan Tuhan yang merencanakan semuanya”
“kakak?
Aku pikir….”
“Gina,
mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi aku mencintaimu dengan utuh, kanker
otak telah membunuh kakakku, dan aku tidak ingin penyakit apapun membunuhmu,
jadi tolong jaga dirimu baik-baik…”
Aku
sungguh bahagia saat itu, Dimas bilang ia mencintaiku dengan utuh… aku jadi
merasa bersalah pada almarhum kak Yani yang tadinya aku kira kekasih Dimas
sampai aku iri padanya, ternyata aku harusnya berterima kasih pada kak Yani
karena ia memiliki adik yang begitu baik dan sempurna di mataku.
“Aku
juga mencintaimu dengan utuh Dimas…,,”
Sekarang
aku jadi kekasihnya Dimas, ia melindungiku setiap saat, ia selalu ada saat
kubutuh. Terima kasih Tuhan…telah mengirimkan malaikat sesempurna Dimas untukku…..
Dimas
sangat mencintai kakaknya, itu aku sadari karena aku pernah mendapati sebuah
tulisan di catatan facebook nya…
Pembunuh
Terlentang…
Tak ada suara…
Tak ada kedipan…
Kaku…
Dingin…
sekitarku mengerang..
Sekitarku bilang itu karena kanker…
Siapa kanker???
Mungkinkah ia pembunuh???
Kenapa tidak ada yang mencegah???
Kenapa tidak ada yang melawan???
Aku murka pada kanker…
Kanker buat dia lumpuh…
Kanker buat dia bisu…
Kanker buat O2 menolak masuk..
Kanker buat CO2 tertahan…
Tak ada hembusan…
Aku lalu tau..
Kanker membuatnya mati…
Aku semakin murka…
Tapi sekitarku bilang,,
Hanya satu hal yang tidak bisa kanker bunuh…
Itu cinta…
Aku lalu percaya..
Cintaku..
Cinta orang-orang sekitarku..
Akan mengiringi jiwanya yang terbang jauh ke
sisi Tuhan…
Dimas
juga selalu bercerita tentang kak Yani, aku jadi seperti sangat dekat dengan
kakak tersayang Dimas yang meninggal karena penyakit mematikan itu. Dimas
bilang kak Yani adalah sosok wanita idealnya, aku selalu merasa iri jika Dimas
berkata seperti itu, tapi Dimas selalu tersenyum memamerkan lesung pipinya dan
menawar rasa iri ku dengan kalimat…
“Tapi
aku mencintai Gina tanpa syarat apa pun, Gina tidak perlu merasa iri, karena
aku suka semua yang ada di diri Gina, jadilah wanita idealku dengan cara Gina
sendiri… Aku mencintaimu secara utuh Gina….”
(puisi di atas di dedikasikan untuk seseorang
yang kini telah jauh pergi karena kanker payudara…, mungkin ia telah dikalahkan
oleh kanker, tapi aku bangga padanya.., ia telah menjadi petarung kanker
sejati…,26 November 2011)
aku mencintai seseorag yng menulis denga air mata, dan kuhargai dengan air mata pula. good luck
BalasHapusmakasi atas motivasinya k'...:)
Hapuswaw.....asyek euy .... okelah... boleh kaga nih belajar nulis?
BalasHapusaq dah buka blognya kamu....,, tulisannnya kere kock,,, :)
Hapus