*Cerita di bawah ini adalah episode ke tiga
dari cerita berseriku I LOVE U CUEK*
Awal tahun 2011, hal pertama yang ingin
kulakukan adalah menyibukkan diri. Menjadi seorang pengajar tidak cukup untuk
membuatku melupakan rasa rindu dan rasa ragu yang terus menghantuiku jika tak
bisa kutahan. Aku memutuskan untuk bergabung di sebuah komunitas penulis
“Identity” yang aku tahu dari temanku Nhamy. Komunitas bagi orang-orang yang
suka menulis. Aku tidak perlu waktu lama di komunitas itu untuk beradaptasi dan
akrab dengan anggota-anggotanya. Perkumpulannya memang tidak tiap hari, cukup
seminggu dua kali di kafe-kafe atau di rumah pengurusnya. Rasanya semua bebanku
tertuang di sana dan impian yang menjauh dulu seperti mendekat kembali, cukup
berusaha keras untuk akhirnya bisa aku jangkau. Impianku sejak dulu memang
menjadi seorang penulis novel handal.
Banyak orang-orang dengan kepribadian yang berbeda-beda kukenal di
komunitas itu. Namun ada beberapa orang yang tiba-tiba menjadi dekat denganku,
seperti mendapatkan sahabat baru. Ada Reni, karyawan di salah satu perusahaan
swasta, yang style nya kurang lebih sama denganku, tomboy dan sembarangan,
namun terlihat anggun jika dihadapkan oleh aturan kantor. Dan ada Stefy yang
usianya lebih muda dari kami berdua, ia masih semester enam di jenjang kuliah
S1 nya. Kami bertiga begitu cepat akrab, menghabiskan waktu bersama di
tempat-tempat yang menyatukan perbedaan profesi kami. Entah itu nonton bareng
ataupun hunting novel favorit kami
masing-masing.
Aku mulai menulis lagi, aku bertekad menyelesaikannya secepat yang aku
bisa. Menulis bab-bab novelku seperti melukis sosok Dira di atas kanvas, hanya
saja nama tokohnya aku ubah menjadi Adjie. Itu karena Dira lah inspirator
terbesarku. Untuk itu…, aku ingin Dira lah orang pertama yang membaca novel
pertamaku ini nantinya jika telah selesai.
Bicara soal Dira…, aku belakangan mulai terbiasa jauh darinya. Walaupun
rasa rindu itu masih tetap ada. Aku tetap suka si cuek itu dan tetap masih
mencintainya sepenuh hatiku. Penantian akan datangnya hari itu, hari dimana
Dira benar-benar bisa menjadi pendamping hidupku selamanya, masih tetap dan
akan selalu berlanjut sampai aku sebagai si bodoh dan dia sebagai si cuek
disatukan oleh ikatan pernikahan. Aku tidak berlebihan sebab Dira sendirilah
yang membuatku dan menginginkanku bermimpi setinggi itu.
Bandung, April 2011
Setelah kurang lebih enam bulan sejak kepulangan Dira ke
Yogyakarta, aku mendapatkan kabar baik darinya. Kemarin ia menelfonku dengan video call, aku bersyukur karena dia
tampak sehat-sehat saja, bahkan ia terlihat semakin tampan dan lebih dewasa.
Membuatku tidak sabar bertemu dengannya lagi. Ia bilang, ia akan ke Bandung
sekitar pertengahan bulan Juli tepatnya pada liburan semester siswanya. Rasanya
ingin melompati bulan Mei dan Juni ke bulan Juli nanti, ingin cepat memutar
waktu dan bertemu dengan lovely cuek “Dira”.
Novel yang kutulispun telah selesai setelah empat bulan lebih
menghabiskan waktuku dimeja kerja kamarku setiap pulang dari mengajar. Bahkan
seringkali membuatku merasa bersalah pada murid-muridku di sekolah lantaran
tidak begitu bersemangat mengajarkan materi-materi pelajaran biologi yang
harusnya bisa kujelaskan lebih mendetail jika tidak mengantuk dan menguap
beberapa kali lantaran pikiran dan tenagaku terkuras habis di depan laptop
untuk penulisan novel pertamaku ini sampai dini hari. Ada nama Dira yang
kujadikan pembuka novelku. Novel ini
lahir dari inspirator terbesarku “Aldira
Alamsyah”, untuknya…kuucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.. “Aku
mencintaimu selalu cuek, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, dan
tak henti mencintaimu..” Seperti itulah kalimat yang kutuliskan di halaman
terdepan novelku itu.
Peluang untukku pun terbuka lebar setelah novelku yang berjudul “Karena
Aku Bodoh” itu selesai. Sebuah perlombaan penulisan romantic novel skala
nasional diadakan oleh sebuah penerbit dan dengan semangat membara aku
mendaftarkan diri dan mengirimkan naskahku ke alamat yang dicantumkan di inbox
emailku. Mimpi itu serasa semakin nyaris menjadi kenyataan, cuma butuh beberapa
langkah dan usaha lagi. Pengumumannya bisa aku terima bulan Juli mendatang. Entahlah,
aku mulai menerka-nerka takdir yang akan diberikan Tuhan dibulan Juli
mendatang, mungkinkah Juli menjadi bulan terbaik bagiku? Dira akan datang dan
novelku akan menjadi juara di ajang itu. Mungkin terlalu yakin, tapi bukankah
itu tidak berlebihan? Aku hanya ingin semuanya membaik di bulan Juli,
hubunganku dengan Dira dan begitu juga dengan impianku karena…..aku berulang
tahun dibulan itu dan kuharap kedua hal itu adalah kado terbaikku.
*****
Hari ini aku menghadiri talk show sekaligus promosi novel Dimas
Anggara di salah satu pusat perbelanjaan Bandung. Aku dijemput Reni dengan
motor Vega-zr putihnya. Langit Bandung tampak mendung, awan-awan terlihat
berubah dari putih menjadi abu-abu. Nampaknya hujan akan turun sebentar lagi.
Reni menancap gas motornya lebih kencang, seperti memburu cerah sebelum hujan.
Tetesan hujan sudah mulai terasa, aku dan Reni bergegas masuk ke
mall tersebut sebelum hujan semakin deras dan sebelum acara talk show itu dimulai.
Dimas Anggara sudah duduk di depan semua orang, dia tidak setampan Dira tapi ia
kelihatan berkharisma dan berwibawa persis seperti foto yang terpampang di
halaman belakang bukunya. Dia lulusan Sastra UI. Walaupun ini adalah novel
pertamanya, tapi sudah menjadi best
seller.
Talk show itu berjalan lancar dan aku berhasil dapat tanda
tangannya di bukunya yang sudah aku beli beberapa hari yang lalu. Excited, aku seperti bermimpi bertemu
langsung dengan novelis favoritku. Rasanya ingin lebih lama lagi, tapi acaranya
sudah bubar walaupun aku tidak bisa langsung pulang ke kos akibat hujan yang
semakin deras di luar sana. Aku dan Reni memilih membaca buku di gramedia
sambil menunggu hujan berhenti.
“Eh Mit, liat deh ke arah sana!” perintah Reni sambil menunjuk
sesosok laki-laki yang rasanya tidak asing bagi kami berdua. “Itu bukannya
Dimas Anggara yang tadi kan?’
“Bener Ren, waahhh….aku nggak percaya bakalan ketemu dia dua
kali berturut-turut hari ini!”
“Kita minta foto yuk”
“Ah, norak akh! Gak deh, kamu aja sana, aku nggak pede!”
“Ya udah, nggak usah, aku juga nggak pede kalo nyapa dia sendiri
trus minta foto”.
Entahlah, sepertinya dia hanya berjalan-jalan sejenak sebelum
pulang. Dia mungkin sedang mengecek stok bukunya di gramedia mall ini. Bukunya
masih berada di jejeran buku best seller
terbaru di bagian depan pintu masuk. Dia memang hebat. Aku dan Reni terus memperhatikan
tingkah lakunya. Aku memperhatikan setiap inci sosoknya yang sangat
mencerminkan kecerdasannya. Aku mengaguminya, entah kapan novelku bisa
diterbitkan seperti novelnya, hmmm….semoga
bulan Juli adalah bulan keberuntunganku, gumamku dalam hati sambil
memperhatikan lelaki bertubuh tegap itu.
*****
Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan
wajahku, cuaca hari ini benar-benar panas tidak seperti di hari kemarin. Tapi
cukup baik untuk melangsungkan aktifitasku hari ini, walaupun hari minggu tapi
aku sangat bersemangat untuk bertemu dengan anggota-anggota Identity di
festival Jepang, gedung ITTC. Bisa bicara lebih banyak dengan mereka tentang
perkembangan kemampuan menulis mereka atau sekedar berfoto-foto bersama.
“Hey
Mit, kamu datang juga rupanya”, sapa kak Tio di balik punggungku yang sedikit
membuatku kaget.
“Hehehe…iya
dong kak, aku bareng Nhamy kok tadi tapi dia ngilang tadi, katanya mau
liat-liat”
“Kamu
gak mau nanya aku bareng siapa hari ini?”
“Aku
tau kok, pasti pacarnya yang dibawa ke kopdaran beberapa minggu yang lalu kan”,
jawabku cuek namun bermaksud mengejek.
“O,
o, o, o….bukanlah…hari ini aku bareng Dimas Anggara, penulis novel itu tuh yang
kemarin abis talk show”
“Bo’ong
niiiihh…, lagipula darimana juga kakak kenal sama dia, Dimas itu kan orang
Jakarta”
“Bisa
lah, orang Dimas itu sepupuan sama aku, dia malah nginapnya di rumahku selama
di Bandung”
“Selamat
datang di dunia khayal…!!!!!”, kataku tidak percaya.
Tiba-tiba
seorang laki-laki tegap menepuk pundak kak Tio, “Eh Yo, pacar lo yah”
Aku
mengenal sosok itu, setelah mengucek mataku berkali-kali dan menepuk-nepuk
pipiku, aku baru sadar bahwa laki-laki yang ada di hadapanku sekarang adalah
benar-benar Dimas Anggara. Penulis novel yang baru kemarin kulihat di talk show nya dan di gramedia. Aku
tercekat, mulutku tertutup rapat dan hanya bisa menelan ludah pertanda ketakjuban
luar biasa. Mana mungkin kak Tio punya sepupu seorang penulis novel best seller dan selama ini aku tidak
tahu?
“Bukanlah,
dia temenku, kenalin nih, Mita”
“Hai
Mit, aku Dimas”
“ha’..,hai…Mita”,
jawabku gugup.
Sementara
anggota lain sibuk berfoto-foto di stan-stan festival itu, aku bertiga
memutuskan menikmati kopi hangat di kedai kopi dekat ITTC. Aku mengamati setiap
inci wajahnya yang begitu bersemangat menceritakan pengalaman-pengalamannya
sebelum dan setelah novel pertamanya terbit. Dia cukup manis dengan lesung di
pipi kirinya.
“Kamu
harus tahu loh mas, Mita ini lagi nunggu pengumuman pemenang lomba penulisan
romantic novel berskala nasional”
“Beneran
Mit, wahh…semoga bisa menang yah..paling tidak bisa masuk tiga besar, supaya
novelnya bisa diterbitin”, kata Dimas menyemangati.
Wajahku
tiba-tiba memerah, sebenarnya aku malu Dimas tahu itu, aku takut akan kalah dan
merasa malu padanya. Tapi Tio terlanjur mengatakannya, dan aku sudah tertangkap
tanpa bisa melarikan diri lagi.
“Iya,
tapi aku belum yakin bisa dapat juara”
“Ah,
kamu harus yakin sama diri kamu sendiri, bagaimana bisa orang-orang yakin
padamu, kalau kamu sendiri gak bisa”
“Biasa
mas, dia emang sering gitu, terlalu merendahkan diri”, sergah Tio.
“Oya,
emangnya judul novelnya apa?”
“Karena
aku bodoh”, jawabku semangat.
“Hemm…,
judulnya menarik, aku jadi penasaran baca naskah kamu, sepenuhnya fiksi yah?”
Aku
tersenyum dan segera menimpali, “Sebenarnya…, di dalamnya itu aku bercerita
tentang kisah cintaku sendiri, tentang bodoh dan cuek”
“Bodoh?
Cuek?”
“Iya…”
“Ya
sudahlah, kita liat saja nanti di bulan Juli, semoga kamu bisa berhasil di novel
pertamamu”
Pertemuan
dengan Dimas hari itu seperti bonus atas kerja kerasku dari Tuhan, aku bisa
mengenalnya dan belajar banyak darinya. Aku harap itu bukan pertemuan pertama
dan terakhir, aku masih ingin berbicara banyak tentang tulisan-tulisan
dengannya. Dia cukup ramah dan menyenangkan diajak berdiskusi.
*TO BE CONTINUE*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar