Sabtu, 24 Maret 2012

LOSE (7) *cerita bersambung*


           Nisa terpaku di depan meja belajarnya, menatap kotak berwarna merah jambu yang tergeletak pasrah di sana. Tenaganya tiba-tiba habis seketika, dadanya serasa kosong, ia bahkan tak bisa merasakan detakan jantungnya sendiri. Berbagai alasan berhamburan di benaknya untuk menjawab pertanyaan kenapa kotak yang tempo hari ia kirim ke alamat Kai sekarang justru ada di depan matanya, utuh, tidak ada perubahan sama sekali.
            Tas sederhana yang terselempang di pundaknya jatuh begitu saja, kakinya maju selangkah dan menggapai kotak itu. Usahanya untuk menunjukkan rasa perhatiannya pada Kai terpatahkan saat itu juga. Padahal selama liburan di Bali ia telah membayangkan tanggapan laki-laki yang begitu memesonanya, tentang Kai yang terkejut lalu tersenyum melihat isi kotak itu atau tentang jantung Kai yang akan berdegup kencang saat melihat ukiran namanya di miniatur itu. Segalanya tiba-tiba kosong, harapan tentang semua itu kosong, sepertinya ia salah.
            Rin sampai di rumah, ia melihat Niko sedang sibuk mengeluarkan barang dari bagasi mobil. Rin tersenyum ceria, ia tahu keluarga itu telah selesai liburan dan sekarang berkumpul kembali dengannya di rumah itu. Ia bergegas masuk, mempercepat langkahnya lalu berhenti di ruang TV,
“Tante..!”, teriaknya ke arah ibu Nisa yang masih sibuk membongkar barang-barang hasil perburuannya di Bali selama lima hari.
“Hey..Rin, sini deh, tante bawain sesuatu buat kamu”
“Apaan tan?” ia bergegas duduk di sebelah Ibu Nisa dan menatap kagum barang-barang unik yang dihambur begitu saja di ruangan itu.
“Tunggu yah, tante cari dulu”. Tangan kanan wanita itu kelihatan sibuk merogoh tas besar yang ada di hadapannya. “Nah..ini dia nih…, kamu suka kan?” Sebuah patung pahat yang ukurannya kira-kira 20 cm, jika diperhatikan patung itu adalah refleksi dari Rin sendiri, seorang gadis yang sedang memetik senar gitar yang ada di pangkuannya, gitarnya memang tidak terlalu tangkas tapi cukup indah.

Rin terus memandangi patung pahat itu dengan air muka yang memancarkan luapan kegembiraannya. Ia takjub setengah mati dengan patung itu. Tidak hanya itu, ia memang merasa sangat bahagia jika diberi hadiah ataupun perhatian dari keluarga itu, sekecil apapun itu. Sebab baginya, tak ada yang lebih patut ia syukuri selain keberadaannya di tengah-tengah keluarga yang menyayanginya tulus selepas kepergian orang tua dan saudara-saudara untuk selamanya.
“Wah…makasih banget yah tante, aku suka banget!”
“Tante ingat kamu waktu liat patung pahat itu, kamu kan suka sekali main gitar”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rin langsung merangkul wanita itu. Air matanya sedikit lagi akan jatuh. Ibu Nisa tampaknya terkejut dengan rangkulan tiba-tiba dari Rin, namun akhirnya mencair lalu balas mendekapnya dengan jiwa keibuannya. Membelai rambutnya pelan dan suasana ruangan itu berganti dari riuh menjadi haru.
“Tante sayang sama Rin, kamu pasti tau itu. Jadi kamu jangan pernah berpikir kalo kamu itu sendirian”
“Tante…”, rangkulan itu terlepas, Rin menatap wanita itu seperti mendapatkan kasih sayang ibunya kembali. Walaupun tentu saja berbeda, ia tetap merasa bahagia.
Air mata yang tumpah di wajah gadis itu di usap pelan dengan ibu jarinya, “Jangan menangis lagi sayang”, bujuknya halus.
“Yang lain mana tante?” tanya Rin sambil menjelajahkan pandangannya ke sekeliling rumah.
“Udah pada tepar di kamar, mereka cape’ abis keliling nonstop selama 5 hari di Bali”
“Ya udah tante, aku ke kamar Nisa dulu deh” Ia bergegas berdiri sambil mengusap habis air mata yang masih bersisa di pipinya. “Aku ke atas dulu yah tante”.
            Wanita yang sudah dianggap ibu oleh Rin itu pun membiarkannya berlari ke lantai atas menuju kamar Nisa. Menatapnya dengan perasaan bahagia melihat gadis itu tampak sangat riang. Jangan membiarkannya terluka lagi Tuhan…, pintanya dalam hati.
            Rin memang sangat merindukan sahabatnya itu, tidak melihatnya lima hari saja hidup Rin seperti kosong. Pintu kamar Nisa disambar begitu saja dan dibukanya dengan serta merta. Rin tidak langsung menyapa, ia harus membuat normal detakan jantungnya terlebih dahulu setelah berlari kencang menaiki tangga menuju kamar itu. Ia pun mengatur nafasnya, ditarik, kemudian dihembuskan pelan. Tidak ada reaksi dari Nisa yang terduduk loyo di depan meja belajarnya, tidak terjekut ataupun terlihat senang dengan kedatangan Rin. Ia masih digelayuti oleh perasaan kecewa terhadap harapannya sendiri yang ternyata kosong.
“Eh Nis, jutek amat sih. Mentang-mentang dari liburan ya lu. Gak liat sohib lu yang paling manis ini berdiri di samping lu apa?”, goda Rin berharap Nisa merubah air muka loyonya itu.“Lu denger gue gak sih Nis!”, bentaknya sekali lagi.
Nisa tidak berubah, ia tetap mempertahankan sikap diamnya. Ia masih terpaku menatap kotak itu. Masih tetap dengan seribu tanda tanya yang berhamburan di benaknya. Rin pun ikut diam, ada yang aneh dengan Nisa, ia pun memperhatikan jurusan tatapan sahabatnya dan ia mendapati sebuah kotak merah jambu yang tempo hari ia letakkan di sana setelah menerimanya dari Kai. Tangannya terasa kaku, tatapannya tiba-tiba mencerminkan kegelihasan hatinya. Entah dengan kata apa ia bisa meyakinkan gadis itu bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tiba-tiba merasa sangat mengerti sekarang semua yang tersirat dari kotak itu, tentang Kai yang tiba-tiba datang mengembalikannya dan tentang sikap Nisa yang sekarang tiba-tiba dingin. Sepertinya sahabatnya telah ditolak secara halus oleh Kai, itulah yang bisa ia tangkap.
“Emmm…gue udah liat yang namanya Kai Nis, orangnya keren banget yah!” pancing Rin. “Dia datang ke sini hari minggu kemarin, dia ngasi gue itu, katanya mau dikembaliin ke elo”
“Itu kado dari aku”, jawab Nisa pasrah
“Trus kenapa dia kembaliin Nis?” tanyanya penasaran, itu adalah pertanyaan yang sudah dipendamnya selama beberapa hari ini.
“Dia gak suka sama aku Rin, ternyata aku selama ini nyimpan harapan kosong”
“Jangan berpikiran negatif dulu deh Nis, siapa tau dia punya alasan lain kenapa dia mesti kembaliin kado dari lu itu. Iya gak?”
“Entahlah…”
“Oyah, gue udah buka tuh, isinya keren abis. Lu mah jahat Nis, masa sih lu ngasi dia miniatur gitar sekeren itu, sedangkan gue enggak!”, Rin mencoba memasang muka manyun berharap sahabatnya itu bergeming dan membujuknya.
Nisa pun tersadar mendengar keluhan dari Rin kemudian benar-benar berbalik, “Enggak gitu lah Rin, kalo buat kamu pastinya lebih special daripada miniatur itu. Hhehhehhe..”
“Kalo gitu, daripada tu miniatur gitar nganggur dan bikin lu bete, mending lu kasi ke gue aja! Gimana? Hhohhohho…”
“Kamu tu yah…, hemmm…ya udah, ambil aja gih!” jawabnya mengalah.
“Makasiiiiihhh…., ya udah deh..sekarang lu berhenti pasang muka manyun dan tunjukin ke gue apa aja hasil perburuan lu selama lima hari di Bali”.
            Rasa kecewa Nisa pada Kai perlahan di telannya dalam-dalam. Meladeni ajakan sahabatnya yang selalu berhasil membuatnya tersenyum itu dan tertawa sambil menunjukkan barang-barang unik yang dibawanya. Dua gadis itu terlihat sangat kompak walaupun dari luar mereka tampak begitu berbeda. Seperti dua kutub magnet yang saling berbeda tapi justru saling tarik menarik.
“Oya, tadi sebelum ke kamarku, aku nyariin kamu di kamar kamu, aku liat kamera Cannon di atas ranjang. Kamera baru yah? Gak nyangka baru lima hari aku tinggalin, sekarang kamu punya hobi baru, fotografi”
“Ah, bukan ! Itu kamera Fian, senior gue di kampus. Abis nyoba tu kamera aja semalem trus gue lupa balikin ke dalam tasnya” jelasnya tegas sambil mematutkan dirinya depan cermin, mencoba kalung-kalung unik yang dibeli Nisa di Bali.
“Kenapa bisa ada sama kamu?”
“Dia nitip, katanya kosnya gak aman trus dia mesti naik gunung bareng anak OI yang laen”
“Kock nitipnya sama elo?” tanya Nisa dengan nada curiga.
“Gak tau, tu orang aneh banget tau gak sih Nis. Bikin gue parno!”
“Aneh gimana maksud kamu!”
“Ya aneh, tiba-tiba nelfon gue, tiba-tiba dia bilang ada depan rumah trus tiba-tiba juga nitipin tu kamera! Padahal gue sama skali gak pernah bilang alamat rumah ini sama dia. Dia bilang cuma tiga hari nitipnya, ini udah ampir satu minggu gak diambil-ambil juga, udah mati kali tu orang di atas gunung sono”
“Dia suka tuh sama kamu…”
Rin tersentak mendengar dugaan dari sahabatnya itu. Ia beralih dari depan cermin dan menghempaskan tubuhnya di samping Nisa yang sudah terbaring lebih dulu di atas ranjang. “Lu jangan sembarangan yah Nis, orang dulu dia yang paling nyiksa aku waktu ospek!”
“Dia nyiksa karena dia suka sama kamu. Istilahnya…love at the first sight gitu dehh…hhehhe…”
“Ah, gak mungkin lahhh…” Rin tetap menimpalinya tak percaya.
Lagu Back to December dari Taylor Swift tiba-tiba menghentak kedua gadis itu. Itu adalah nada dering handphone Rin. Ia segera merogoh kantong jeansnya yang belum sempat diganti sepulang dari toko buku tadi. Beberapa detik menatap layar HP nya, Rin memalingkan wajahnya ke Nisa. “Nis.., dia panjang umur”
“Fian?” Nisa bertanya penasaran.
Rin mengangguk dan kembali menatap layar itu penuh ragu, diangkat atau diabaikannya.
“Diangkat aja Rin, dia mau ngambil kameranya kaliii..”
Tombol berwarna hijau pun di tekannya, “Halo?”
“Poni, lu kedepan sekarang, gue mau ngambil kamera gue”
Rin baru akan menyerbunya dengan ocehan tidak rela diperintah dengan serta merta seperti itu, tapi nada putus di handphone nya sudah jelas terdengar di telinganya. Tut..tut..tut…
“Kenapa sih dia mesti ganggu sore-sore gini, pake merintah-merintah gue semena-mena gitu lagi !!! Argghh…”, ocehnya sendiri yang langsung ditimpali oleh Nisa, “Jangan terlalu benci Rin…entar juga kamu jatuh cinta sama dia”
“Idihh…ogah gue jatuh cinta sama sodaranya pangeran Suko!”
Rin lalu beranjak dari ranjang, bergegas mengambil kamera di kamarnya dan menuruni tangga dengan berlari-lari kecil. Tanpa disadarinya, Nisa mengikutinya dari belakang karena penasaran seperti apa sosok Fian yang selalu disebut Rin sebagai saudara pangeran Suko itu.
Haduuuhhh…tu orang gak sopan banget sih, kalo dateng gak pernah ngetuk pintu baik-baik, pasti selalu depan gerbang aja abis itu merintah-merintah gue kayak pembokatnya…, Rin terus mendengus hingga ia sampai depan gerbang. Seperti biasanya, Fian tidak menunggu di depan gerbang jadi Rin harus keluar di pinggir jalan dan dikejutkan dengan gemuruh suara motor cowok berambut gonrong itu.
            Fian kali ini memakai jaket dengan bahan jeans berwarna biru yang sudah mulai memudar sepadan dengan celananya yang juga berbahan dan berwarna hampir sama dengan jaketnya. Di tengok ke bawah, ia hanya mengenakan sendal bergalang hitam yang dikenakannya dengan sembarangan saja. Laki-laki yang ada di hadapan Rin sekarang benar-benar bergaya tidak keruan membuat Rin tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya menelengkan kepalanya. Ckckckckck….ni cowok bener-bener yah..
“Woiii poni…, ngapain lu ngelamun, sini tas gue !!!” bentak Fian mengagetkan Rin yang sedari tadi memperhatikan cara berpakaian seniornya yang satu itu.
“Ishhhh…..” dengus Rin sambil menyodorkan tas yang sedari tadi dipenganginya.
“Gue mau periksa dulu, siapa tau aja lu udah ngerecokin kamera gue”
Ni cowok nyebelin banget sihh…kalo bukan gara-gara dia itu senior gue, udah gue timpukin batu ke kepalanya…, biar mati skalian ! Celotehnya dalam hati.
“Anak pinter…, lu bertanggung jawab juga yah dititipin barang! Hhahha..”
“Ni terakhir kalinya ya kak, gak mau lagi gue setelah ini!”
“Kalo gue mau gimana?”
“Ya pokoknya gue gak nerima titipan lagi, emangnya rumah gue tempat penitipan barang apa!”
“Membantah sama senior hukumya haram tau!”
Rin hanya mengernyitkan dahi dan tidak berniat lagi berdebat dengan Fian.
“Ya udah, gue pulang dulu yah! Lu masuk aja sekarang. Lu kan cewe’___”
“Jadi bahaya di luar sendirian” sergah Rin memotong perkataan Fian yang sudah Rin tau betul apa yang akan dikatakan Fian selanjutnya.
“Pinter lu, masuk gih!”
Rin hanya melongos kencang dan membuat Fian tersenyum diam-diam, ia terlampau gemas dengan gadis yang bermuka polos dengan poni yang membuatnya terlihat sangat manis itu. Kemudian menyalakan mesin motor ninjanya dan dengan cepat hilang dari pandangan Rin. Dasar freak !
            Rin berbalik dan bergegas masuk.
“Heiii….” Nisa keluar dari tempatnya mengamati sedari tadi, dibalik pos satpam rumahnya, membuat Rin terkejut setengah mati.
“Wah..parah,, lu ngintip yah dari tadi!”
“Fian keren lagi Rin ! manis kock !”
“Buat lu aja kalo gitu, ntar gue salamin!” timpalnya cuek sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
“Masa buat aku, dia itu naksirnya sama Arini Puspita !”, kata Nisa berusaha menggoda Rin.
Rin tidak menanggapi godaan sahabatnya itu dan memilih mengambil headset yang selalu dikantonginya, disambungkan ke mp3 player dan menikmati lagu-lagu favoritenya hingga ia kembali ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang membuatnya nyaman dan melupakan keanehan dalam hidupnya sejak mengenal Fian. Nisa hanya tertawa geli melihat tanggapan sahabatnya yang selama ini memang selalu bermasa bodoh dengan urusan percintaan.

*TO BE CONTINUE*
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com