Nisa
terpaku di depan meja belajarnya, menatap kotak berwarna merah jambu yang
tergeletak pasrah di sana. Tenaganya tiba-tiba habis seketika, dadanya serasa
kosong, ia bahkan tak bisa merasakan detakan jantungnya sendiri. Berbagai
alasan berhamburan di benaknya untuk menjawab pertanyaan kenapa kotak yang
tempo hari ia kirim ke alamat Kai sekarang justru ada di depan matanya, utuh,
tidak ada perubahan sama sekali.
Tas sederhana yang terselempang di
pundaknya jatuh begitu saja, kakinya maju selangkah dan menggapai kotak itu.
Usahanya untuk menunjukkan rasa perhatiannya pada Kai terpatahkan saat itu
juga. Padahal selama liburan di Bali ia telah membayangkan tanggapan laki-laki
yang begitu memesonanya, tentang Kai yang terkejut lalu tersenyum melihat isi
kotak itu atau tentang jantung Kai yang akan berdegup kencang saat melihat
ukiran namanya di miniatur itu. Segalanya tiba-tiba kosong, harapan tentang
semua itu kosong, sepertinya ia salah.
Rin sampai di rumah, ia melihat Niko
sedang sibuk mengeluarkan barang dari bagasi mobil. Rin tersenyum ceria, ia
tahu keluarga itu telah selesai liburan dan sekarang berkumpul kembali
dengannya di rumah itu. Ia bergegas masuk, mempercepat langkahnya lalu berhenti
di ruang TV,
“Tante..!”,
teriaknya ke arah ibu Nisa yang masih sibuk membongkar barang-barang hasil
perburuannya di Bali selama lima hari.
“Hey..Rin,
sini deh, tante bawain sesuatu buat kamu”
“Apaan
tan?” ia bergegas duduk di sebelah Ibu Nisa dan menatap kagum barang-barang
unik yang dihambur begitu saja di ruangan itu.
“Tunggu
yah, tante cari dulu”. Tangan kanan wanita itu kelihatan sibuk merogoh tas
besar yang ada di hadapannya. “Nah..ini dia nih…, kamu suka kan?” Sebuah patung
pahat yang ukurannya kira-kira 20 cm, jika diperhatikan patung itu adalah
refleksi dari Rin sendiri, seorang gadis yang sedang memetik senar gitar yang
ada di pangkuannya, gitarnya memang tidak terlalu tangkas tapi cukup indah.
Rin
terus memandangi patung pahat itu dengan air muka yang memancarkan luapan
kegembiraannya. Ia takjub setengah mati dengan patung itu. Tidak hanya itu, ia
memang merasa sangat bahagia jika diberi hadiah ataupun perhatian dari keluarga
itu, sekecil apapun itu. Sebab baginya, tak ada yang lebih patut ia syukuri
selain keberadaannya di tengah-tengah keluarga yang menyayanginya tulus selepas
kepergian orang tua dan saudara-saudara untuk selamanya.
“Wah…makasih
banget yah tante, aku suka banget!”
“Tante
ingat kamu waktu liat patung pahat itu, kamu kan suka sekali main gitar”
Tanpa
berkata apa-apa lagi, Rin langsung merangkul wanita itu. Air matanya sedikit
lagi akan jatuh. Ibu Nisa tampaknya terkejut dengan rangkulan tiba-tiba dari
Rin, namun akhirnya mencair lalu balas mendekapnya dengan jiwa keibuannya.
Membelai rambutnya pelan dan suasana ruangan itu berganti dari riuh menjadi
haru.
“Tante
sayang sama Rin, kamu pasti tau itu. Jadi kamu jangan pernah berpikir kalo kamu
itu sendirian”
“Tante…”,
rangkulan itu terlepas, Rin menatap wanita itu seperti mendapatkan kasih sayang
ibunya kembali. Walaupun tentu saja berbeda, ia tetap merasa bahagia.
Air
mata yang tumpah di wajah gadis itu di usap pelan dengan ibu jarinya, “Jangan
menangis lagi sayang”, bujuknya halus.
“Yang
lain mana tante?” tanya Rin sambil menjelajahkan pandangannya ke sekeliling
rumah.
“Udah
pada tepar di kamar, mereka cape’ abis keliling nonstop selama 5 hari di Bali”
“Ya
udah tante, aku ke kamar Nisa dulu deh” Ia bergegas berdiri sambil mengusap
habis air mata yang masih bersisa di pipinya. “Aku ke atas dulu yah tante”.
Wanita yang sudah dianggap ibu oleh
Rin itu pun membiarkannya berlari ke lantai atas menuju kamar Nisa. Menatapnya
dengan perasaan bahagia melihat gadis itu tampak sangat riang. Jangan membiarkannya terluka lagi Tuhan…, pintanya
dalam hati.
Rin memang sangat merindukan
sahabatnya itu, tidak melihatnya lima hari saja hidup Rin seperti kosong. Pintu
kamar Nisa disambar begitu saja dan dibukanya dengan serta merta. Rin tidak
langsung menyapa, ia harus membuat normal detakan jantungnya terlebih dahulu
setelah berlari kencang menaiki tangga menuju kamar itu. Ia pun mengatur
nafasnya, ditarik, kemudian dihembuskan pelan. Tidak ada reaksi dari Nisa yang
terduduk loyo di depan meja belajarnya, tidak terjekut ataupun terlihat senang
dengan kedatangan Rin. Ia masih digelayuti oleh perasaan kecewa terhadap
harapannya sendiri yang ternyata kosong.
“Eh
Nis, jutek amat sih. Mentang-mentang dari liburan ya lu. Gak liat sohib lu yang
paling manis ini berdiri di samping lu apa?”, goda Rin berharap Nisa merubah air
muka loyonya itu.“Lu denger gue gak sih Nis!”, bentaknya sekali lagi.
Nisa
tidak berubah, ia tetap mempertahankan sikap diamnya. Ia masih terpaku menatap
kotak itu. Masih tetap dengan seribu tanda tanya yang berhamburan di benaknya.
Rin pun ikut diam, ada yang aneh dengan Nisa, ia pun memperhatikan jurusan
tatapan sahabatnya dan ia mendapati sebuah kotak merah jambu yang tempo hari ia
letakkan di sana setelah menerimanya dari Kai. Tangannya terasa kaku, tatapannya
tiba-tiba mencerminkan kegelihasan hatinya. Entah dengan kata apa ia bisa
meyakinkan gadis itu bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tiba-tiba merasa sangat
mengerti sekarang semua yang tersirat dari kotak itu, tentang Kai yang
tiba-tiba datang mengembalikannya dan tentang sikap Nisa yang sekarang
tiba-tiba dingin. Sepertinya sahabatnya telah ditolak secara halus oleh Kai,
itulah yang bisa ia tangkap.
“Emmm…gue
udah liat yang namanya Kai Nis, orangnya keren banget yah!” pancing Rin. “Dia
datang ke sini hari minggu kemarin, dia ngasi gue itu, katanya mau dikembaliin
ke elo”
“Itu
kado dari aku”, jawab Nisa pasrah
“Trus
kenapa dia kembaliin Nis?” tanyanya penasaran, itu adalah pertanyaan yang sudah
dipendamnya selama beberapa hari ini.
“Dia
gak suka sama aku Rin, ternyata aku selama ini nyimpan harapan kosong”
“Jangan
berpikiran negatif dulu deh Nis, siapa tau dia punya alasan lain kenapa dia
mesti kembaliin kado dari lu itu. Iya gak?”
“Entahlah…”
“Oyah,
gue udah buka tuh, isinya keren abis. Lu mah jahat Nis, masa sih lu ngasi dia miniatur
gitar sekeren itu, sedangkan gue enggak!”, Rin mencoba memasang muka manyun
berharap sahabatnya itu bergeming dan membujuknya.
Nisa
pun tersadar mendengar keluhan dari Rin kemudian benar-benar berbalik, “Enggak
gitu lah Rin, kalo buat kamu pastinya lebih special daripada miniatur itu.
Hhehhehhe..”
“Kalo
gitu, daripada tu miniatur gitar nganggur dan bikin lu bete, mending lu kasi ke
gue aja! Gimana? Hhohhohho…”
“Kamu
tu yah…, hemmm…ya udah, ambil aja gih!” jawabnya mengalah.
“Makasiiiiihhh….,
ya udah deh..sekarang lu berhenti pasang muka manyun dan tunjukin ke gue apa
aja hasil perburuan lu selama lima hari di Bali”.
Rasa kecewa Nisa pada Kai perlahan
di telannya dalam-dalam. Meladeni ajakan sahabatnya yang selalu berhasil
membuatnya tersenyum itu dan tertawa sambil menunjukkan barang-barang unik yang
dibawanya. Dua gadis itu terlihat sangat kompak walaupun dari luar mereka
tampak begitu berbeda. Seperti dua kutub magnet yang saling berbeda tapi justru
saling tarik menarik.
“Oya,
tadi sebelum ke kamarku, aku nyariin kamu di kamar kamu, aku liat kamera Cannon di atas ranjang. Kamera baru yah?
Gak nyangka baru lima hari aku tinggalin, sekarang kamu punya hobi baru,
fotografi”
“Ah,
bukan ! Itu kamera Fian, senior gue di kampus. Abis nyoba tu kamera aja semalem
trus gue lupa balikin ke dalam tasnya” jelasnya tegas sambil mematutkan dirinya
depan cermin, mencoba kalung-kalung unik yang dibeli Nisa di Bali.
“Kenapa
bisa ada sama kamu?”
“Dia
nitip, katanya kosnya gak aman trus dia mesti naik gunung bareng anak OI yang
laen”
“Kock
nitipnya sama elo?” tanya Nisa dengan nada curiga.
“Gak
tau, tu orang aneh banget tau gak sih Nis. Bikin gue parno!”
“Aneh
gimana maksud kamu!”
“Ya
aneh, tiba-tiba nelfon gue, tiba-tiba dia bilang ada depan rumah trus tiba-tiba
juga nitipin tu kamera! Padahal gue sama skali gak pernah bilang alamat rumah
ini sama dia. Dia bilang cuma tiga hari nitipnya, ini udah ampir satu minggu
gak diambil-ambil juga, udah mati kali tu orang di atas gunung sono”
“Dia
suka tuh sama kamu…”
Rin
tersentak mendengar dugaan dari sahabatnya itu. Ia beralih dari depan cermin
dan menghempaskan tubuhnya di samping Nisa yang sudah terbaring lebih dulu di
atas ranjang. “Lu jangan sembarangan yah Nis, orang dulu dia yang paling nyiksa
aku waktu ospek!”
“Dia
nyiksa karena dia suka sama kamu. Istilahnya…love at the first sight gitu dehh…hhehhe…”
“Ah,
gak mungkin lahhh…” Rin tetap menimpalinya tak percaya.
Lagu
Back to December dari Taylor Swift
tiba-tiba menghentak kedua gadis itu. Itu adalah nada dering handphone Rin. Ia segera merogoh kantong
jeansnya yang belum sempat diganti
sepulang dari toko buku tadi. Beberapa detik menatap layar HP nya, Rin
memalingkan wajahnya ke Nisa. “Nis.., dia panjang umur”
“Fian?”
Nisa bertanya penasaran.
Rin
mengangguk dan kembali menatap layar itu penuh ragu, diangkat atau
diabaikannya.
“Diangkat
aja Rin, dia mau ngambil kameranya kaliii..”
Tombol
berwarna hijau pun di tekannya, “Halo?”
“Poni,
lu kedepan sekarang, gue mau ngambil kamera gue”
Rin
baru akan menyerbunya dengan ocehan tidak rela diperintah dengan serta merta
seperti itu, tapi nada putus di handphone nya sudah jelas terdengar di
telinganya. Tut..tut..tut…
“Kenapa
sih dia mesti ganggu sore-sore gini, pake merintah-merintah gue semena-mena
gitu lagi !!! Argghh…”, ocehnya sendiri yang langsung ditimpali oleh Nisa,
“Jangan terlalu benci Rin…entar juga kamu jatuh cinta sama dia”
“Idihh…ogah
gue jatuh cinta sama sodaranya pangeran Suko!”
Rin
lalu beranjak dari ranjang, bergegas mengambil kamera di kamarnya dan menuruni
tangga dengan berlari-lari kecil. Tanpa disadarinya, Nisa mengikutinya dari
belakang karena penasaran seperti apa sosok Fian yang selalu disebut Rin
sebagai saudara pangeran Suko itu.
Haduuuhhh…tu orang gak sopan banget
sih, kalo dateng gak pernah ngetuk pintu baik-baik, pasti selalu depan gerbang
aja abis itu merintah-merintah gue kayak pembokatnya…,
Rin terus mendengus hingga ia sampai depan gerbang. Seperti biasanya, Fian
tidak menunggu di depan gerbang jadi Rin harus keluar di pinggir jalan dan
dikejutkan dengan gemuruh suara motor cowok berambut gonrong itu.
Fian kali ini memakai jaket dengan
bahan jeans berwarna biru yang sudah mulai memudar sepadan dengan celananya
yang juga berbahan dan berwarna hampir sama dengan jaketnya. Di tengok ke
bawah, ia hanya mengenakan sendal bergalang hitam yang dikenakannya dengan
sembarangan saja. Laki-laki yang ada di hadapan Rin sekarang benar-benar
bergaya tidak keruan membuat Rin tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya menelengkan
kepalanya. Ckckckckck….ni cowok
bener-bener yah..
“Woiii
poni…, ngapain lu ngelamun, sini tas gue !!!” bentak Fian mengagetkan Rin yang
sedari tadi memperhatikan cara berpakaian seniornya yang satu itu.
“Ishhhh…..”
dengus Rin sambil menyodorkan tas yang sedari tadi dipenganginya.
“Gue
mau periksa dulu, siapa tau aja lu udah ngerecokin kamera gue”
Ni cowok nyebelin banget sihh…kalo
bukan gara-gara dia itu senior gue, udah gue timpukin batu ke kepalanya…, biar
mati skalian ! Celotehnya dalam hati.
“Anak
pinter…, lu bertanggung jawab juga yah dititipin barang! Hhahha..”
“Ni
terakhir kalinya ya kak, gak mau lagi gue setelah ini!”
“Kalo
gue mau gimana?”
“Ya
pokoknya gue gak nerima titipan lagi, emangnya rumah gue tempat penitipan
barang apa!”
“Membantah
sama senior hukumya haram tau!”
Rin
hanya mengernyitkan dahi dan tidak berniat lagi berdebat dengan Fian.
“Ya
udah, gue pulang dulu yah! Lu masuk aja sekarang. Lu kan cewe’___”
“Jadi
bahaya di luar sendirian” sergah Rin memotong perkataan Fian yang sudah Rin tau
betul apa yang akan dikatakan Fian selanjutnya.
“Pinter
lu, masuk gih!”
Rin
hanya melongos kencang dan membuat Fian tersenyum diam-diam, ia terlampau gemas
dengan gadis yang bermuka polos dengan poni yang membuatnya terlihat sangat
manis itu. Kemudian menyalakan mesin motor ninjanya dan dengan cepat hilang
dari pandangan Rin. Dasar freak !
Rin berbalik dan bergegas masuk.
“Heiii….”
Nisa keluar dari tempatnya mengamati sedari tadi, dibalik pos satpam rumahnya, membuat
Rin terkejut setengah mati.
“Wah..parah,,
lu ngintip yah dari tadi!”
“Fian
keren lagi Rin ! manis kock !”
“Buat
lu aja kalo gitu, ntar gue salamin!” timpalnya cuek sambil melangkah masuk ke
dalam rumah.
“Masa
buat aku, dia itu naksirnya sama Arini Puspita !”, kata Nisa berusaha menggoda
Rin.
Rin
tidak menanggapi godaan sahabatnya itu dan memilih mengambil headset yang
selalu dikantonginya, disambungkan ke mp3 player dan menikmati lagu-lagu
favoritenya hingga ia kembali ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur
empuk yang membuatnya nyaman dan melupakan keanehan dalam hidupnya sejak
mengenal Fian. Nisa hanya tertawa geli melihat tanggapan sahabatnya yang selama
ini memang selalu bermasa bodoh dengan urusan percintaan.
*TO BE CONTINUE*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar