Jumat, 09 Maret 2012

LOSE (5) *cerita bersambung*



Awan-awan tampak berlomba mengambil posisi di depan bulan di langit yang gelap tanpa bintang-bintang yang biasanya berhamburan. Bulan menjadi nyaris tidak nampak, sinarnya mengintip di sela-sela awan. Angin mulai tertiup kencang dan menjatuhkan daun-daun yang memang sudah mulai kering dan rapuh. Pasti sebentar lagi hujan…,pikir Rin yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik benda-benda alam dari jendela kamarnya sambil berkontemplasi dalam kesendiriannya dimalam minggu itu. Nisa malam ini keluar dengan Wira, teman baru di kampusnya. Wajarlah, Nisa memang sosok wanita idaman yang komplit, pintar, cerdas, feminine, dan tentu saja strata sosialnya level A. Sudah lazim bagi Rin untuk mendengar cerita Nisa hampir setiap hari tentang cowok yang mengaku suka dengannya sampai pernah suatu ketika ada satu sekolahnya yang ditolak mentah-mentah oleh Nisa di depan matanya. Rin tidak tahu setampan apakah Wira atau sekeren apakah potongannya, yang pastinya Rin sangat yakin Wira pasti akan menyatakan perasaannya malam ini pada Nisa dan Nisa akan menjawab tidak. Itu karena Rin tahu betul sahabatnya sekarang sedang jatuh cinta pada teman sekelas barunya yang notabene bernama Kai.

So this is me swolling my pride,
Standing in front of you saying I’m sorry for that night,
And I go back to December all the time..
Turns out freedom ain’t nothing but missing you,
Wishing that I realized what I had when you were mind.
I’d go back to December,, turn around and make it all right..
I go back to December all the time..

Lagu dari Taylor Swift yang berjudul Back to December membuatnya tersentak. Itu adalah dering handphone nya yang tergeletak begitu saja sedari tadi di atas ranjangnya. Namun Rin merasa malas dan tidak tega meninggalkan posisi nyamannya sedari tadi di jendela kamar yang lumayan lebar itu. Sekali lagi handphone nya kembali berdering. Ia pun dengan terpaksa bangkit dari posisi malasnya, berhenti sejenak memandangi daun-daun yang bergesekan karena angin dan meraihnya. O85299812137, nomor yang tidak dikenalinya dan sama sekali tidak tersimpan di phonebook nya.
“Halo !”, sapa Rin ketus.
“Halo.., lagi ngapain lo poni !”
Poni??? Rin merasa akrab dengan sapaan itu.
“Ini siapa sih?”
“Fian!”
“Fian???” Rin berpikir sejenak dan segera mendapatkan jawabannya, “Oh…kak Fian ya?”
“Lo ketus banget sih! Iya bener”
“Abisnya gue kaget sih, lagi pula darimana kakak dapat nomorku?”
“Di absen dodol, kan kemaren waktu ngabsen semua mahasiswa baru tulis nomor hp nya”
“Oh..hhehhe, iya juga yah”
“Lo lagi dimana sekarang? Gue lagi di depan rumah lo nih, gue mau nitip kamera gue, abisnya besok gue mau naik gunung ama anak-anak OI dan gue pikir lo orang yang tepat jadi tempat nyimpen titipan, kos gue nggak aman”
Rin jadi bertambah bingung. Bingung tentang Fian yang tiba-tiba nelfon dia dan ditambah lagi tiba-tiba ada di depan rumah dan bermaksud nitipin kamera. Semuanya serasa samar dan tidak jelas. Rin mulai mengutak-atik isi kepalanya, darimana Fian tahu dia tinggal di sini? Apa mungkin Fian se horror itu?
“Woi…, lo tidur yah poni? Lo napa diam?”
Khayalan Rin tiba-tiba buyar dan segera kembali ke alam nyatanya.
“Ya? Oh.. iya kak, gue ke depan rumah sekarang”
Tit..tit..tit… telepon itu serta merta ditutupnya tanpa izin dari Fian. Ia berlari keluar kamar dan menuruni tangga seperti akan membuktikan hal paling misterius di luar sana. Membuktikan apakah Fian memang ada di depan rumah atau hanya sebuah lelucon untuk mengerjainya untuk kesekian kalinya sejak penerimaan mahasiswa baru kemarin.
            Rin sudah sampai depan pagar besi yang menghalangi siapapun masuk dalam lingkungan rumah yang benar-benar seperti istana itu. Ia menelan ludahnya sejenak dan menarik nafasnya dalam-dalam dan melemparkan pandangannya keluar pagar. Tidak ada siapa-siapa di sana selain kendaraan yang masih lalu lalang. Ia mulai merasa dikerjai dan menggerutu sambil mengepal kedua tangannya.
            Handphone nya kembali berdering dan masih dengan nomor yang dipakai Fian tadi. Ia segera mengangkatnya..
“Eh dodol, lo buka dulu pagarnya trus lo keluar ke depan gerbang”
“Tapi___”
Tiiiitttttttttt….telepon itu telah dimatikan Fian, padahal sebuah omelan keras siap diledakkan oleh Rin.
“Pak, bukain dong”, teriak Rin yang berencana membangunkan satpam rumah yang terduduk tapi dengan mata yang terpejam di posko dekat gerbang.
Satpam itu seperti setengah sadar bangun dan mendorong gerbang itu dengan sekuat tenaganya hingga setengah terbuka.
            Rin terbata-bata melangkahkan kakinya keluar gerbang dan tiba-tiba tanpa basa-basi Fian dengan ninja hijau muncul dihadapannya, membuka kaca helm yang menghalangi Rin melihat jelas wajahnya dan sebuah senyuman yang berbeda dari lekukan bibirnya membuat Rin terpaku. Fian memang keren…, tapi sayang freak, hhahhahha…. Pikir Rin. Ia segera bertanya untuk menghilangkan segala rasa penasarannya,
“Tau rumah ini darimana sih kak?”
“Akh, nggak penting. Yang penting sekarang lo ambil ni ransel gue yang isinya kamera!” jawab Fian sambil menyodorkan ransel hitam besar di depan mata Rin.
“Ya penting lah kak, horror banget tau kak, tau-tau nelfon dan bilang ada di depan rumah. Apa jangan-jangan kakak selalu ngikutin gue ampe kesini yah...hhahhay…ayo ngaku !”
“GR banget lo.., ni ambil ransel gue, palingan tiga hari lagi gue kesini ngambil !”
“Huh…!” desah Rin sambil mengambil ransel yang sedari tadi disodorkan di depannya.
“Nah gitu donk poni, jadi junior itu mesti patuh. Sekarang lo masuk deh, nggak aman cewek diluar malem-malem”
“Yeee…siapa juga yang bikin gue keluar ke depan sini!”
“Hahahah…, ya udah, gue balik dulu !”
Fian lalu mulai membunyikan mesin motornya yang terdengar bergemuruh. Senyumnya yang manis sempat dipamerkan lagi sebelum menutup kaca helmnya dan ia segera berlalu. Rin masih mematung di depan gerbang, memperhatikan Fian dengan ninja hijaunya hingga menjauh dan kemudian tidak nampak lagi di pelupuk matanya. Ia lalu mulai melangkahkan kakinya memasuki gerbang rumah dan menuju kamar tempat merenung dan terlelapnya di setiap malam.
*****
            Fian merebahkan tubuhnya di atas kasur yang digelar begitu saja di kamar yang berukuran 4 x 5 meter, cukup luas untuk dirinya sendiri. Di sana ada sebuah lemari kecil yang berdiri di sudut kamarnya dan tepat di samping lemari itu, sebuah rak buku dengan berbagai macam bahan bacaan tersusun tidak begitu rapi. Ia pelan memejamkan matanya, namun ada sesosok gadis yang semakin terus terbayang di pikirannya. Semakin ia mencoba memejamkan matanya, semakin gadis itu bergentayangan di alam pikirnya. Gadis itu adalah Rin, gadis berponi dan agak kurus yang kelihatan sangat polos tanpa ada sentuhan make up di wajah manisnya, kulitnya khas Indonesia, berwarna kuning langsat.
            Sejak pertemuan pertamanya dipenerimaan mahasiswa baru itu, Rin cukup menyita perhatiannya. Ia tiba-tiba merasa bodoh dan aneh, tidak biasanya ia bertingkah laku seperti yang sudah dilakukannya malam ini. Mencari-cari alasan tepat agar bisa lebih akrab dengan junior yang sedikit kurang ajar itu, hingga ditemukanlah sebuah alasan yang begitu aneh dan sebenarnya tidak penting, yaitu menitipkan kameranya yang ber merk Cannon itu.
            Sesekali ia tersenyum ketika slide ingatannya tentang bermacam-macam ekspresi wajah Rin muncul secara bergantian. Dia memang sangat manis.., pikirnya. Diraihnya handphone yang ada disaku celananya, ia membuka phonebook nya, menekan tombol geser ke bawah, berbagai nama dan nomor nampak di layar itu. Ibu jarinya berhenti menekan tombol ketika sebuah nama yang sedari tadi dipikirkannya tertera jelas di sana. Ada rasa ragu yang tertambat di hatinya, ingin mengirimkan ucapan selamat malam atau apalah yang bisa diucapkannya untuk Rin sebelum ia bergegas tidur, tapi juga enggan. Fian masih ingin menjaga image nya sebagai ketua himpunan jurusan. Betapa bodohnya kau Fian…, bisiknya dalam hati.
            Akh, sudahlah..lebih baik gue tidur sebelum besok dan dua hari berikutnya harus mengerahkan seluruh tenaga buat naik gunung. Ia meletakkan Handphone nya dan benar-benar memejamkan matanya tanpa ragu lagi, walaupun sosok Rin masih tetap ada di sana, di alam pikirnya. Donna Donna, lagu classic favoritnya pun mengiring tidur lelapnya
How the winds are laughing
They laughing with all their might
Laugh and laugh the whole day trough,
And half the summers night.
Donna, Donna, Donna, Donna,
Donna, Donna, Donna, Don..
Donna, Donna, Donna, Donna,
Donna, Donna, Donna, Don..

*TO BE CONTINUE*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

design by Nur Mustaqimah Copyright© All Rights Reserved coretankeciliemha.blogspot.com