Awan-awan tampak
berlomba mengambil posisi di depan bulan di langit yang gelap tanpa
bintang-bintang yang biasanya berhamburan. Bulan menjadi nyaris tidak nampak,
sinarnya mengintip di sela-sela awan. Angin mulai tertiup kencang dan
menjatuhkan daun-daun yang memang sudah mulai kering dan rapuh. Pasti sebentar lagi hujan…,pikir Rin
yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik benda-benda alam dari jendela
kamarnya sambil berkontemplasi dalam kesendiriannya dimalam minggu itu. Nisa
malam ini keluar dengan Wira, teman baru di kampusnya. Wajarlah, Nisa memang
sosok wanita idaman yang komplit, pintar, cerdas, feminine, dan tentu saja strata
sosialnya level A. Sudah lazim bagi Rin untuk mendengar cerita Nisa hampir
setiap hari tentang cowok yang mengaku suka dengannya sampai pernah suatu
ketika ada satu sekolahnya yang ditolak mentah-mentah oleh Nisa di depan
matanya. Rin tidak tahu setampan apakah Wira atau sekeren apakah potongannya,
yang pastinya Rin sangat yakin Wira pasti akan menyatakan perasaannya malam ini
pada Nisa dan Nisa akan menjawab tidak. Itu karena Rin tahu betul sahabatnya
sekarang sedang jatuh cinta pada teman sekelas barunya yang notabene bernama
Kai.
So this is
me swolling my pride,
Standing
in front of you saying I’m sorry for that night,
And I go
back to December all the time..
Turns out
freedom ain’t nothing but missing you,
Wishing
that I realized what I had when you were mind.
I’d go
back to December,, turn around and make it all right..
I go back
to December all the time..
Lagu dari Taylor Swift yang berjudul Back to December membuatnya tersentak.
Itu adalah dering handphone nya yang tergeletak begitu saja sedari tadi di atas
ranjangnya. Namun Rin merasa malas dan tidak tega meninggalkan posisi nyamannya
sedari tadi di jendela kamar yang lumayan lebar itu. Sekali lagi handphone nya kembali berdering. Ia pun
dengan terpaksa bangkit dari posisi malasnya, berhenti sejenak memandangi
daun-daun yang bergesekan karena angin dan meraihnya. O85299812137, nomor yang
tidak dikenalinya dan sama sekali tidak tersimpan di phonebook nya.
“Halo !”, sapa Rin ketus.
“Halo.., lagi ngapain lo poni !”
Poni??? Rin merasa akrab dengan sapaan
itu.
“Ini siapa sih?”
“Fian!”
“Fian???” Rin berpikir sejenak dan
segera mendapatkan jawabannya, “Oh…kak Fian ya?”
“Lo ketus banget sih! Iya bener”
“Abisnya gue kaget sih, lagi pula
darimana kakak dapat nomorku?”
“Di absen dodol, kan kemaren waktu
ngabsen semua mahasiswa baru tulis nomor hp nya”
“Oh..hhehhe, iya juga yah”
“Lo lagi dimana sekarang? Gue lagi di
depan rumah lo nih, gue mau nitip kamera gue, abisnya besok gue mau naik gunung
ama anak-anak OI dan gue pikir lo orang yang tepat jadi tempat nyimpen titipan,
kos gue nggak aman”
Rin jadi bertambah bingung. Bingung
tentang Fian yang tiba-tiba nelfon dia dan ditambah lagi tiba-tiba ada di depan
rumah dan bermaksud nitipin kamera. Semuanya serasa samar dan tidak jelas. Rin
mulai mengutak-atik isi kepalanya, darimana Fian tahu dia tinggal di sini? Apa
mungkin Fian se horror itu?
“Woi…, lo tidur yah poni? Lo napa diam?”
“Woi…, lo tidur yah poni? Lo napa diam?”
Khayalan Rin tiba-tiba buyar dan segera
kembali ke alam nyatanya.
“Ya? Oh.. iya kak, gue ke depan rumah
sekarang”
Tit..tit..tit… telepon itu serta merta
ditutupnya tanpa izin dari Fian. Ia berlari keluar kamar dan menuruni tangga
seperti akan membuktikan hal paling misterius di luar sana. Membuktikan apakah
Fian memang ada di depan rumah atau hanya sebuah lelucon untuk mengerjainya
untuk kesekian kalinya sejak penerimaan mahasiswa baru kemarin.
Rin
sudah sampai depan pagar besi yang menghalangi siapapun masuk dalam lingkungan
rumah yang benar-benar seperti istana itu. Ia menelan ludahnya sejenak dan
menarik nafasnya dalam-dalam dan melemparkan pandangannya keluar pagar. Tidak
ada siapa-siapa di sana selain kendaraan yang masih lalu lalang. Ia mulai
merasa dikerjai dan menggerutu sambil mengepal kedua tangannya.
Handphone
nya kembali berdering dan masih dengan nomor yang dipakai Fian tadi. Ia segera
mengangkatnya..
“Eh dodol, lo buka dulu pagarnya trus lo
keluar ke depan gerbang”
“Tapi___”
Tiiiitttttttttt….telepon itu telah
dimatikan Fian, padahal sebuah omelan keras siap diledakkan oleh Rin.
“Pak, bukain dong”, teriak Rin yang
berencana membangunkan satpam rumah yang terduduk tapi dengan mata yang
terpejam di posko dekat gerbang.
Satpam itu seperti setengah sadar bangun
dan mendorong gerbang itu dengan sekuat tenaganya hingga setengah terbuka.
Rin
terbata-bata melangkahkan kakinya keluar gerbang dan tiba-tiba tanpa basa-basi
Fian dengan ninja hijau muncul dihadapannya, membuka kaca helm yang menghalangi
Rin melihat jelas wajahnya dan sebuah senyuman yang berbeda dari lekukan
bibirnya membuat Rin terpaku. Fian memang
keren…, tapi sayang freak, hhahhahha…. Pikir Rin. Ia segera bertanya untuk
menghilangkan segala rasa penasarannya,
“Tau rumah ini darimana sih kak?”
“Akh, nggak penting. Yang penting
sekarang lo ambil ni ransel gue yang isinya kamera!” jawab Fian sambil
menyodorkan ransel hitam besar di depan mata Rin.
“Ya penting lah kak, horror banget tau
kak, tau-tau nelfon dan bilang ada di depan rumah. Apa jangan-jangan kakak
selalu ngikutin gue ampe kesini yah...hhahhay…ayo ngaku !”
“GR banget lo.., ni ambil ransel gue,
palingan tiga hari lagi gue kesini ngambil !”
“Huh…!” desah Rin sambil mengambil
ransel yang sedari tadi disodorkan di depannya.
“Nah gitu donk poni, jadi junior itu
mesti patuh. Sekarang lo masuk deh, nggak aman cewek diluar malem-malem”
“Yeee…siapa juga yang bikin gue keluar
ke depan sini!”
“Hahahah…, ya udah, gue balik dulu !”
Fian lalu mulai membunyikan mesin
motornya yang terdengar bergemuruh. Senyumnya yang manis sempat dipamerkan lagi
sebelum menutup kaca helmnya dan ia segera berlalu. Rin masih mematung di depan
gerbang, memperhatikan Fian dengan ninja hijaunya hingga menjauh dan kemudian
tidak nampak lagi di pelupuk matanya. Ia lalu mulai melangkahkan kakinya
memasuki gerbang rumah dan menuju kamar tempat merenung dan terlelapnya di
setiap malam.
*****
Fian
merebahkan tubuhnya di atas kasur yang digelar begitu saja di kamar yang
berukuran 4 x 5 meter, cukup luas untuk dirinya sendiri. Di sana ada sebuah lemari
kecil yang berdiri di sudut kamarnya dan tepat di samping lemari itu, sebuah rak
buku dengan berbagai macam bahan bacaan tersusun tidak begitu rapi. Ia pelan
memejamkan matanya, namun ada sesosok gadis yang semakin terus terbayang di
pikirannya. Semakin ia mencoba memejamkan matanya, semakin gadis itu
bergentayangan di alam pikirnya. Gadis itu adalah Rin, gadis berponi dan agak
kurus yang kelihatan sangat polos tanpa ada sentuhan make up di wajah manisnya, kulitnya khas Indonesia, berwarna kuning
langsat.
Sejak
pertemuan pertamanya dipenerimaan mahasiswa baru itu, Rin cukup menyita
perhatiannya. Ia tiba-tiba merasa bodoh dan aneh, tidak biasanya ia bertingkah
laku seperti yang sudah dilakukannya malam ini. Mencari-cari alasan tepat agar
bisa lebih akrab dengan junior yang sedikit kurang ajar itu, hingga ditemukanlah
sebuah alasan yang begitu aneh dan sebenarnya tidak penting, yaitu menitipkan
kameranya yang ber merk Cannon itu.
Sesekali
ia tersenyum ketika slide ingatannya
tentang bermacam-macam ekspresi wajah Rin muncul secara bergantian. Dia memang sangat manis.., pikirnya.
Diraihnya handphone yang ada disaku
celananya, ia membuka phonebook nya,
menekan tombol geser ke bawah, berbagai nama dan nomor nampak di layar itu. Ibu
jarinya berhenti menekan tombol ketika sebuah nama yang sedari tadi
dipikirkannya tertera jelas di sana. Ada rasa ragu yang tertambat di hatinya,
ingin mengirimkan ucapan selamat malam atau apalah yang bisa diucapkannya untuk
Rin sebelum ia bergegas tidur, tapi juga enggan. Fian masih ingin menjaga image nya sebagai ketua himpunan
jurusan. Betapa bodohnya kau Fian…,
bisiknya dalam hati.
Akh, sudahlah..lebih baik gue tidur sebelum
besok dan dua hari berikutnya harus mengerahkan seluruh tenaga buat naik
gunung. Ia meletakkan Handphone
nya dan benar-benar memejamkan matanya tanpa ragu lagi, walaupun sosok Rin
masih tetap ada di sana, di alam pikirnya. Donna Donna, lagu classic favoritnya pun mengiring tidur lelapnya
How the winds
are laughing
They laughing
with all their might
Laugh and laugh
the whole day trough,
And half the
summers night.
Donna, Donna,
Donna, Donna,
Donna, Donna,
Donna, Don..
Donna, Donna,
Donna, Donna,
Donna, Donna,
Donna, Don..
*TO BE CONTINUE*
*TO BE CONTINUE*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar